Sabtu, 30 Juni 2007

Anak-Anak Datang dan Pergi, Ibu Guru Tetap Menyayangi

Kemarin –Sabtu, 30 Juni 2007- adalah acara perpisahan di TK nya Abe. Di akhir acara, semua anak satu angkatan (75 anak dari 3 kelas) bersama-sama naik panggung, berdiri ala paduan suara. Bersama-sama mereka menyanyikan sebuah lagu perpisahan yang meskipun tidak jelas liriknya, tapi sangat terasa syahdunya.

 

Melihat anak2 tak terasa air mata langsung mengalir haru. Beberapa teman walimurid sempat mengejek aku yang memang –seperti biasa- gampang sekali mewek terharu. Eh, tak berapa lama ditengah2 lagu, kulihat satu per satu mereka kok ikutan nangis juga, hiks...gimana sih (he he).

 

Di samping panggung berjajar semua ibu guru. Beberapa guru kelas terlihat melakukan beberapa isyarat untuk memberi instruksi anak2 dalam menyanyi. Tak perlu waktu lama kulihat banyak yang sudah sesenggukan juga. Ah! Suasana waktu itu memang syahdu banget..!! Percaya atau tidak, anak2 yang biasanya kalo dipanggung adaaaa aja yang berulah, kali ini sama sekali tidak!! Mereka tekun menyanyi dengan syahdunya. Aduuhhh....

Melihat para guru yang beberapa sampai sesenggukan itu, aku jadi berpikir. Salah satu hal yang pasti menjadi moment yang sangat berat buat para guru, mungkin adalah moment seperti ini. Ketika mereka harus melepaskan anak-anak yang lulus. (Mikir itu waktu itu, air mata jadi tambah deras deh T_T). Tak terbayangkan rasanya...

 

Dari awal masuk TK, sehari-hari dunia mereka penuh dengan anak-anak didik. Waktu banyak dihabiskan di kelas dengan anak-anak (apalagi kaya sekolahnya Abe yg fullday gitu). Di rumahku, hanya dengan 2 anak-anak saja sudah tak terhitung kelucuan, kekonyolan dan kejadian2 spesial yang terjadi (dari kecelakaan2 kecil sampai kebandelan2 yang menguji emosi) . Apalagi di kelas!! Ada 25 anak-anak dengan kelucuan dan kebandelan sendiri2. Kesannya pasti sangat dalam buat Bu Guru yang rata-rata memang modelnya penyayang anak itu (maklum guru TK).

 

Waktu melihat Bu Guru mulai sesenggukan demi melihat anak-anak menyanyi di panggung kemarin, aku jadi mengira-ngira apa yang ada dipikiran mereka. Harus merelakan anak-anak yang sudah sangat dekat di hati itu untuk meneruskan sekolah ke SD, meneruskan perjuangan mereka mencapai cita-cita. Membayangkan hari-hari kemarin berada ditengah-tengah hangatnya anak2 dan hari2 selanjutnya yang hanya tersisa kenangan. Pantas saja kalo sangat mengharukan, pasti terbayang satu2 wajah anak2 dan terbayang segala kejadian berkesan yang dialami selama bersama anak-anak.

 

Aku sendiri termasuk walimurid yang sangat sering ‘berkeliaran’ di sekolah. Maklum ibu rumah tangga, tak ada pekerjaan lain selain ngurusin anak-anak. Secara pribadi, aku sangat dekat mengenal para guru, bukan hanya yang kebetulan mengajar Abe.

Karena tugas dari Komite Sekolah, kalo ada guru yang sakit, seringkali aku datang menjenguk. Begitupun kalo ada yang melahirkan, tertimpa musibah (misal lumpur lapindo atau kematian anggota keluarga), aku seringkali datang kerumah mereka, berinteraksi dengan keluarga mereka dan lain sebagainya. Aku jadi tahu betapa dekatnya para guru dengan anak2. Ketika mereka berkumpul pun, topik yang dibcarakan adalah juga anak2. Tentang si Pasya yang susah dilarang kalo sudah mengejar pingin peluk si Amel, tentang si Ghofur yang suka menyusup ke kelas lain, tentang Chalita yang dorong2an bertengkar dengan Ofi di kolam renang. Everything! Kalau dipikir2, waktu yang dihabiskan ibu guru disekolah dengan anak2, bisa-bisa sama intensitasnya dengan waktu yang mereka habiskan dirumah bersama anak2 kandung mereka sendiri.

 

Rasa sayang dan kedekatan mereka kepada anak2 kita, bukan mustahil sama dengan rasa sayang kita yang orangtua kandung ini...

 

Jangan bayangkan guru TK akan sama dengan guru SD, SMP atau SMA lho!! Guru-guru TK ini, mereka bukan hanya mengajar, mereka juga mengasuh dan menjaga. Mereka menenangkan ketika anak2 kita rewel. Mereka membelai rambut anak-anak kita ketika bersalaman. Mereka merawat luka anak-anak kita ketika terjatuh. Mereka memberikan pelukan ketika anak-anak kita membutuhkannya. Mereka menyayangi dengan sepenuh hati...

 

Dalam sesengukan Ibu Guru kemarin, aku melihat semua...

Mereka melepas anak-anak pergi....

Mereka menyiapkan hati untuk siap menyayangi lagi, murid2 angkatan baru yang nantinya akan menghiasi hari-hari mereka lagi...selama 2 tahun....untuk kemudian melepas mereka lagi ketika lulus nanti...

Tak terbayang banyaknya rasa sayang yang ditebarkan para guru untuk anak-anak selama bertahun2 mereka mengajar ya...

 

Aku jadi rindu dengan guru TK ku dulu....

Namanya Bu Sangadah. Terakhir aku melihatnya sekitar 2 tahun lalu di Tulungagung, beliau sudah renta (maklum waktu dulu aku TK, dia adalah guru senior yang sudah setengah umur). The point is, dalam memoriku masih jelas tergambar sosoknya ketika mengajarku 26 tahun yang lalu. Masih jelas tergambar gaya sanggul rambutnya, tahi lalat besar di pipi kirinya, senyum teduhnya tiap kali menyambut di pagi hari, badannya yang agak membungkuk (mungkin karena terlalu banyak merendahkan wajah untuk bicara dengan anak-anak), sepatu hitam ala minnie mouse yang kuingat tak pernah berganti selama aku TK dan suara ketak-ketok yang ditimbulkan ketika beliau berjalan, aku masih bisa mengingatnya lho!! Suara seraknya yang tiba-tiba bisa menjadi tegas kalo menghadapi anak yang bandel, rasanya masih bisa kudengar dengan jelas terngiang di telingaku sekarang!! (aduh Ibu...doaku untukmu...)

 

Tak terbayang, berapa banyak para murid yang sampai sekarang masih mengenang beliau seperti aku. Seluruh hidupnya, yang beliau lakukan hanya mengajar dan mengajar. Kubayangkan hatinya sekarang pasti sudah berkemilau selaksa batu berlian karena terasah dan tersepuh untuk mencintai anak-anak didiknya silih berganti. Menerima mereka dalam asuhan kasih sayangnya dan melepas dengan doa dan haru airmata ketika anak-anak itu lulus sekolah. Subhanalloh...

 

Benar-benar pahlawan tanpa tanda jasa. Seperti sebuah puisi yang pernah kubaca, “Ibu Guruku...kau adalah bagian dari doa malamku...”

 

(nostalgia tentang Bu Guru kita yuuk...)

Senin, 25 Juni 2007

Abe vs Konsekuensi

24 Juni 2007. Alhamdulillah, barusan kemarin selesai bikin album alumni buat TK Al-Hikmah 2007. What a week! Proyeknya mendadak banget, cuma ada waktu seminggu dari nyusun konsep, desain, kumpulin data 75 siswa dan 22 guru (including those hectic photo sessions in classes that i was enjoooyyying sooo much :-D) sampe hari2 editing yg melolo (4 hari full depan komputer mak!!). By the time I finished, I could hear those fuzzy annoying sound inside my head, like there’s an old and disfunctioning fan was stuck inside my brain or something worse.

The thing is, I must love it! ‘Cos even though the timeline wasn’t very much tight, I always tend to be like that in every project I had....I, AM THE ULTIMATE HOPELESS N CURELESS PROCRASTINATOR EVER! :-D

Suami sering banget komplain tentang kebiasaan menunda-nunda pekerjaanku ini. Everything always goes hectic in the very last minute.

 

Anyway...

Tidak seperti album alumni biasanya, dari awal konsep aku sudah bertekad untuk mendapatkan testimoni para guru tentang semua murid, satu per satu. Dan subhanalloh, the Principle dan semua Bu Guru disekolah menunjukkan antusiasme yang sama, padahal di akhir tahun ajaran gini biasanya banyak sekali yang beliau2 ini harus kerjakan, dari review buku raport sampai nyiapin anak2 untuk pentas di panggung perpisahan. I have really to give them a very big credit for this.

 

Kalo ditanya bagian apa yang paling menyenangkan selama pembuatan album ini, definitely THE PHOTO SESSION...!! Semua foto2 anak-anak kuambil di sekolah. Di hari itu, aku yang biasanya ngedrop Abe sekolah di last minute (surprise surprise huh?? Hehe) pagi itu dengan tekad bulat, menjadi yang pertama datang ke sekolah. Jangan ditanya wajah dan sapaan keheranan dari para guru. Tapi setelah tahu tujuanku adalah untuk nongkrong di gerbang sekolah dan njepret semua anak2 kelompok TK B yang datang, Ibu Guru malah ketularan excitementnya. Murid pertama yang datang (setelah Abe yang once in his lifetime pagi itu mendapat kehormatan memakai rompi “Datang Pertama”) adalah Maya, temen Abe sekelas. As soon as she was photographed, Maya malah jadi asistenku, dia yang jadi penata gaya buat teman berikutnya yang datang. Dan teman berikutnya yang ternyata datang adalah Lia (Lia ini sangat2 camera freak!!). Jadilah, asistenku ada 2, Maya dan Lia. Abe yang sudah dipeseni dari rumah untuk membantu, malah ndak tahu sudah hilang kemana. The amazing thing happens afterward. Setiap anak yang sudah selesai dipotret hampir semua jadi asisten.

 

Kalo kita harus memotret anak2 TK dengan 1 atau 2 asisten, that would be neat. Tapi kalo memotret dengan 10-15 asisten yang semuanya anak2 juga, thats what I call CHAOS!!!

 

Hehe. Tiap kali ada yang datang, pasti langsung terkejut karena ke-15 asisten itu akan serta merta meneriakkan namanya “ADEELLL!!! STOOP!!! FOTO DULUUUU!!!”. And the next minute, si Adel ini sudah bergabung juga dengan teman2 yang meneriakinya tadi, ikutan jadi asisten dan meneriaki teman lain yang baru datang. Begitu seterusnya. Aku dan Ibu Guru piket yang menyambut anak2 di gerbang) sampai keringetan semua, bukan karena mengatur anak yang difoto, tetapi karena ribut mengatur para asisten cilik yang bersemangat 45 itu..!! Ohhh.what a day!!! :-D (dan Abe jadi semakin cuek krn dilihatnya sudah banyak teman2 ceweknya yang dengan senang hati menggantikan tugasnya hihihi)

OK.

Gambar kedua ini adalah salah satu halaman buku alumni itu yang memuat Abe. Inilah testimoni yang diberikan Ibu Ina, salah satu guru di kelasnya Abe, tentang Abe :

“Abe vs konsekuensi. Suatu hari Abe dan Iqbal harus menerima konsekuensi yaitu ikut belajar di kelas adik2 TK A (dibawah). Karena mereka tidak mau, mereka pun merayu-rayu Bu Guru berkali-kali. Tapi akhirnya Abe menyadari kesalahannya dan berkata pada Iqbal ‘Sudahlah Bal, kita menurut saja sama Bu Guru... Bu Guru kan orangtua. Kita harus menurut pada orangtua...Sudahlan Bal, ayo kita pindah ke kelas A...”

Di hari lain, sepulang sekolah Abe bikin heboh karena keluar kelas senyum-senyum dengan mulut diplekster lakban hitam! Itu adalah konsekuensi yang dipilihnya sendiri karena waktu berdoa tidak tertib dan bicara sendiri.”

 

Figure it out!!

Kayanya kalimatnya memang sudah cukup menggambarkan tentang Abe deh (-sigh-). Pernah Bu Ina cerita, selesai pelajaran berenang di sekolah, semua anak sudah keluar dari kolam renang, sedangkan Abe masih saja didalam dan menolak untuk keluar kolam. “Belum puas” katanya waktu itu. Bu Ina pun beri ultimatum, bahwa kalo Abe ndak mau mentas juga, konsekuensinya Abe harus mandi bilas dan pake baju sendiri tanpa bantuan dari Bu Guru. Dengan serta merta waktu itu Abe bilang “Iya kok Bu, nanti Abe mandi sendiri, Gak papa kok” sambil cuek meneruskan kegiatan berenang sendiriannya. Bu Guru pun kembali ke kelas dengan anak2 lain dan meneruskan kegiatan makan di kelas. Selang setengah jam, Abe belum kembali ke kelas juga. Ketika Bu Guru kembali ke kolam renang untuk mencari Abe, apa yang dilihatnya waktu itu sungguh bikin geli. What a mess. Wajah Abe frustasi ditengah kegiatan mandi, pake baju sendiri, dan beres2 peralatan berenang. Dilihatnya wajah Abe hampir meledak dalam tangis karena kesulitan melakukan semuanya sendiri.

 

Dibanding orang dewasa, anak-anak memang dibekali kemampuan untuk berbuat impulsif. Mereka cenderung melakukan apa yang mereka mau. Itulah kenapa orangtua menciptakan yang namanya konsekuensi. Agar orangtua bisa membantu anak-anak untuk mengontrol perilakunya. Bahwa terkadang, ‘hal-hal sesuka hati’ yang mereka lakukan itu, tak akan bisa lepas dari konsekuensi yang harus mereka tanggung. Anak yang suka memukul, akan dijauhi teman-temannya. Anak yang suka membangkang akan menerima konsekuensi dari orangtua (misalnya berupa ‘time-out’ atau pengurangan fasilitas tertentu). Konsekuensi dimaksudkan agar ketika dewasa, anak-anak belajar tentang tanggungjawab. Bahwa di lingkungan sosial, kita tidak bisa berbuat ‘seenaknya’ tanpa lepas dari konsekuensinya.

 

Masih kata Bu Ina, salah satu yang khas dari Abe adalah bahwa dia cenderung menyerahkan diri kepada konsekuensi demi dorongan impulsifnya. Aku nggak bisa berkata lain kecuali menyetujui, karena dirumahpun, dia selalu begini. Gak papa deh resiko nanti batuk, yang penting sekarang aku sangat pengen makan ‘Marbels’. Gak papa deh mandi dan beres2 sendiri nanti, yang penting sekarang aku mau puas berenang dulu. Biasanya sih, pada akhirnya dia selalu kerepotan dalam menghadapi konsekuensinya. Yang buat kami (aku dan suami) bersyukur, Abe sudah terlatih untuk tetap menjalani konsekuensi itu. Konsekuensi yang suah dia ketahui harus diterima bahkan sebelum dia melakukan suatu perbuatan yang beresiko. Walaupun dengan ngomel2, walaupun dengan keluh kesah setengah menghiba. Kami seringkali merasa geli, kadang-kadang hampir-hampir tergoda untuk jatuh kasihan melihat bagaimana dia melalui konsekuensi ini.

 

Nah...

Now, can you tell the storyline here?? Coba deh dihubungkan dengan topik ‘procrastination’ di awal tulisan tadi. Ada satu kalimat yang seringkali terceplos dari mulut suamiku tiap kali Abe menyerah pada impulsifnya (dan memilih menelan bulat-bulat konsekuensinya) : “embuh nurun sopoooo iku...” (gak tau deh, siapa yang dicontohnya...) sambil melirikku dengan wajah ‘can’t do anything about it’ alias pasrah...

 

Jawaban self-defence ku selalu begini : “lhooo katanya mau anaknya jadi pengusaha, salah satu qualification nya katanya kan harus berani ambil resiko. People who take risk, they have to be wellknown about the consequences too..” (ngeles.com deh hi hi hi)

 

Ha ha ha...somehow memang benar ya...buah tak bakal jatuh jauh dari pohonnya...

 

 

Minggu, 10 Juni 2007

BEA : Benjooooollll


si "n-o-n-o-n-g" jadi tambah jenong deh

Minggu, 10.06.07. Tadi siang Bea by accident kepeleset, jatuh ke depan n kepalanya njedug pintu. Benjol deh... Pertamanya Bea nangis histeris, tapi ternyata Abe sudah pintar meniru Ibuk dalam menghadapi adik yang terjatuh ya sayang...
"Bea kayak Dodoooo...ha ha ha," kata Abe sambil ngakak
(Dodo adalah salah satu karakter dalam VCD cerita anak-anak Islam "Syamil" yang di salah satu episodenya pernah kejedhug sampe kepalanya benjol besar sekali) :D
Bea jadi ikutan ketawa deh...(sambil setengah nangis huehehhe)

Kamis, 07 Juni 2007

Berkembang Terlalu Cepat

Bertahun-tahun aku belajar tentang tahap-tahap perkembangan anak di bangku kuliah, hampir semua teori terpatahkan oleh Abe.

 

Paling tidak sampai saat ini. Waktu Abe berusia 6-7 bulan dan aku siap-siap menyambutnya merangkak, dia malah memilih minta berdiri dan merambat. Belum selesai kewalahan dengan ini, umur 10 bulan ternyata dia sudah menjejakkan langkah pertamanya dan berjalan. Itu baru bicara motorik. Umur 1,5 tahun, Abe sudah berbicara dengan sangat jelas dan banyak. Bukan hanya perbendaharaan kata, waktu itu aku sudah bisa mengajaknya diskusi atau negosiasi kalau misalkan dia meminta sesuatu yang tidak kuturuti. Dengan penjelasan yang masuk diakalnya, aku jarang sekali menemui kesulitan ketika harus melarangnya berbuat sesuatu. Ditambah lagi, aku memang jarang sekali mengatakan kata “jangan” sehingga sekalinya aku memakai kata itu, tahulah dia bahwa aku serius melarang.

 

Umur 2 tahun, tanpa belajar khusus dia sudah berhitung sampai 20 dan mengenal huruf (both dengan ejaan Indo dan English). Banyak ibu gurunya di sekolah yang keheranan ketika mereka bertanya apa resepnya sehingga Abe cepat sekali bisa membaca dan kujawab : tak ada resep. Aku memang mengajaknya bermain menempelkan huruf-huruf di tangga (sambil naik turun tangga karena memang dia tidak pernah betah duduk diam), tapi sungguh, tak ada program khusus apalagi kursus membaca buat dia. Berpikir untuk melakukannya pun aku tidak. Sudah lama aku merasa mulai menang melawan monster itu. Monster yang banyak menelan korban para orangtua jaman sekarang. Btw, tentang monster apakah yang kumaksud ini, silahkan klik tulisanku disini dan disini , semoga saja kita yang sudah menjadi orangtua benar-benar terhindar darinya.

 

Suatu hari di umurnya yang baru 4 tahun, dia pernah mengejutkan aku karena sudah bisa membedakan huruf Cina dan huruf kanji Jepang (padahal dia buta kedua jenis huruf itu). Dia suka sekali nonton Ultraman (penuh huruf Jepang) dan Power Ranger (beberapa versi Cina). Dari kesimpulan dan bahasanya sendiri dia cerita kalau “huruf Jepang itu kotak-kotak dan huruf Cina banyak garisnya”. Setengah keheranan, kucoba menunjukkan beberapa huruf Jepang dan Cina dan menyuruhnya untuk membedakan, dan dia berhasil tanpa cela.

Aku sendiri selalu berusaha untuk tidak memberi label apapun padanya. Banyak teman ataupun saudara yang berkomentar mungkin Abe salah satu jenis anak “berbakat”. Kubilang aku tidak percaya karena menurutku semua anak berbakat dengan cara mereka sendiri. Banyak juga yang menyarankan untuk memasukkan Abe ke program khusus anak-anak berbakat, dan kubilang tidak. Yang kuinginkan hanya satu, dia tumbuh apa adanya sebagai anak-anak, yang ceria dan bermain dengan bebasnya. Aku ingin dia tumbuh dengan alami, tidak terlalu cepat matang. Tanpa berbuat apapun saja aku sudah sering dibuat kewalahan karena dia cenderung cepat dewasa dari anak-anak seusianya, tak terbayangkan kalau aku harus mendorongnya untuk melakukan ‘pengayaan’ ini itu.

 

Anyway...

 

Menurut Teori Piaget, perkembangan moral anak terjadi dalam 2 tahapan yang jelas (“Perkembangan Anak” Jilid 2 hal.79 by Elizabeth Hurlock). Tahap pertama disebut “tahap realisme moral” atau “moralitas oleh pembatasan”. Perilaku anak ditentukan oleh ketaatan otomatis terhadap peraturan tanpa penalaran atau penilaian. Contoh : suatu tindakan dianggap “salah” oleh anak karena mengakibatkan hukuman dari orang lain misalnya orangtua. Tahap kedua disebut “tahap moralitas otonomi” atau “moralitas oleh kerjasama atau hubungan timbal balik”. Dalam tahap ini anak menilai perilaku atas dasar tujuan yang mendasarinya. Di usia itu, mereka juga akan mulai belajar bahwa di dunia ini bukan hanya ada perilaku benar atau salah, tetapi juga ada banyak hal yang berada diantaranya. Mereka mulai belajar tentang kontradiksi dalam hidup. Anak-anak akan mulai belajar bahwa kadang-kadang seseorang mencuri susu karena memang anaknya kelaparan dan dia tidak punya cara lagi untuk mencari uang. Atau belajar bahwa didunia ini manusia terkadang melakukan “bohong putih”, bohong dengan alasan baik. Dan lain sebagainya, perilaku bukan hanya perkara benar dan salah, tetapi juga tergantung background dari pelaku perbuatan tersebut.

 

Teori Piaget mengatakan tahap kedua ini akan dimulai umur 7-8 tahun dan berlangsung sampai umur 12 tahun.

 

But I guess, aku sudah harus mulai terbiasa kewalahan karena Abe cenderung mendahului setiap teori Psikologi Perkembangan yang dulu kupelajari. Sekarang Abe 5,5 tahun, dan tempo hari dia sudah tanya-tanya tentang kenapa orang baik bisa berubah menjadi jahat dan sebaliknya. Dia juga bertanya dengan tak habisnya kenapa tokoh Harry di Spiderman 3 bisa sangat membenci Peter Parker, padahal mereka bersahabat baik. Di sisi lain, dia sudah bisa merasa kasihan pada si Harry atau Sandman!! “Kasihan ya buk, biarpun jahat sebenarnya mereka itu tidak mau jadi jahat lho...”

 

Belum lagi urusan menjawab pertanyaan tentang mati. Kewalahan aku dibuatnya. Yang bikin melas, dia sudah seringkali merasa berbuat dosa (seringkali karena hal-hal sepele khas anak-anak seperti ngusilin adiknya) dan ujung-ujungnya merasa menjadi “anak yang banyak dosa dan tidak berguna” <== ini kata-katanya sendiri lho, ngeri kan?? Aku kan jadi langsung teringat berita anak-anak bunuh diri karena merasa dirinya tak berguna itu??? Naudzubillahi min dzalik Ya Allah...astaghfirullohaladziimm..!!! Untunglah kata ‘bertaubat’ akhirnya bisa kutanamkan padanya dan berkali-kali kuyakinkan bahwa orangtuanya pun juga sering berbuat dosa, seperti semua manusia lainnya di dunia ini tanpa terkecuali. Bahwa semua anak-anak PASTI akan sering berbuat nakal dan dosa, karena mereka belum tahu mana yang benar dan salah.

 

Jangan ditanya lagi urusan tentang surga dan neraka. Suatu hari dia sempat bilang “Surga kan untuk orang baik dan neraka untuk orang jahat ya buk, trus kalo kaya aku? Anak baik tapi sering berbuat dosa, -tapi anak baik lho buk-, dimana dong tempatnya?” ^_^

Akan pasti sangat tidak bersyukur kalau aku tidak merasa bangga dengannya. Aku sangat bangga. Cuman –namanya manusia pasti selalu ada cuman dan tapi ya he he- kadang-kadang keadaan seperti ini kinda frightening me. Ibukku dulu termasuk orangtua yang sempat kerepotan karena aku harus baligh di usia yang sangat muda (9 tahun) dan sudah cukup banyak cerita dari beliau tentang repotnya menghadapi anak yang cepat sekali matang mendahului anak-anak seusianya...

 

Ah sudahlah, bagaimanapun, ini karunia dan ujian dari Allah... :-) Semoga aku bisa berbuat yang terbaik dengan amanah-Nya ini...

Selasa, 05 Juni 2007

Match Made In Heaven

Rating:★★★★
Category:Books
Genre: Literature & Fiction
Author:Bob Mitchell
“Elliot Goodman, seorang profesor perbandingan sastra Harvard, tergesa-gesa dibawa ke ruang operasi karena serangan jantung gawat. Di sana, saat hidupnya tengah berada di ujung tanduk, Tuhan menghampirinya untuk memberinya kesempatan sekali lagi. Syaratnya, Elliot harus mampu mengalahkan Tuhan dalam pertandingan golf 18-holes. Agar adil, Tuhan mengirimkan kepada Elliot 18 orang ‘utusan-Nya’ – orang-orang hebat yang pernah tercatat dalam sejarah manusia, mulai dari Socrates, da Vinci, Joan of Arc, hingga Gandhi, Freud, Picasso, Beethoven, dan John Lennon, tak ketinggalan si cantik Marilyn Monroe. Mereka tidak hanya menantang kemahiran Elliot bermain golf, tetapi juga karakternya. Tiap lawannya itu memberi Elliot peristiwa dan pandangan baru yang mungkin menyelamatkan hidupnya.
Novel ini menyuguhi kita kisah klasik pencarian manusia akan hakikat hidupnya dan pemahamannya atas hikmah tersembunyi yang dianugerahkan Tuhan dibalik peristiwa-peristiwa kehidupan. Lewat tutur yang mengalir dan isi yang sarat makna meski sedikit nyleneh, kita akan terbawa begitu saja pada pemahaman baru tanpa merasa telah membaca sesuatu yang ‘berat’.”

Hari itu dalam keadaan bad mood yang super tinggi, aku akhirnya berakhir di tempat favorit, toko buku. Maklum karena bad mood, banyak buku2 yang biasanya terlihat menggiurkan, menjadi biasa-biasa saja.
Tetapi ketika menemukan buku ini dan membaca back-cover review diatas, firasatku langsung membawaku ke kasir dan membelinya. Di rumah ketika hari sudah berakhir dan anak-anak sudah terlelap (masih dalam keadaan bad mood luar biasa) aku tak bisa menahan penasaranku untuk langsung membacanya.
Setelah selesai membaca aku sama sekali tidak merasa menyesal telah membeli buku ini dengan amat impulsif. Ide ceritanya bener-bener nyleneh, jenaka sekaligus cerdas. Jangan diharapkan sesuatu yang otentik dalam buku ini. Be free with your imagination. Dont be too serious and you will get the best advantage from this book. And that bad mood, is already a history :D

Ada lagi yang jatuh 7 lantai di mall. Di mall yang sama lho!! :o

Berita di koran Jawa Pos 2 hari terakhir ini bener-bener unbelievable! Masih hangat berita kemarin tentang Lyvia, anak 6 tahun yang jatuh dari ketinggian 3 lantai di ITC Mega Grosir, hari ini kejadiannya terulang lagi! Juga di ITC Mega Grosir!! Lebih tragis lagi tempat jatuhnya dikabarkan tidak jauh dari si Lyvia kemarin. Dan kali ini jatuhnya setinggi 7 lantai!

 

Korban pelakunya dewasa. Wajar dong kalo kupakai istilahnya ‘korban pelaku’? Karena dicurigai kali ini sebagai sebuah aksi bunuh diri. Berita selengkapnya bisa dibaca disini .

 

What is up with that??

 

Apa karena dia sudah lama kepingin mengakhiri hidupnya, dan merasa ‘terinspirasi’ dengan kejadian Lyvia kemarin? Wah ini sih namanya inspirasi yang salah kaprah. Yang namanya inspirasi kan identik dengan passion untuk menjalani kehidupan, bukan kematian??

 

Hhhhhhh...the world has gone crazy, I know that, but the fact that it has gone THIS CRAZY, always hit me everyday...People keep shocked me with their story all the time...

 

Ya Allah...kepadaMu lah aku kembali...

Minggu, 03 Juni 2007

anak 6 tahun jatuh setinggi 3 lantai di mall..!!

Pagi-pagi badan masih setengah pegal karena perjalanan tadi malam dari Tulungagung. Karena si mas mbelani anak-anak BGFC yang tanding, kita akhirnya baru mulai meluncur ke Surabaya pukul 7.30 malam, alhasil tadi malam baru sampe rumah jam 11 malam.

 

Selesai ritual biasa bangun tidur, aku baca koran, lha kok headline nya bikin miris. Another tragedy. Ada anak 6 tahun yang jatuh setinggi 3 lantai di mall, dan (tentu saja tidak mengherankan) meninggal. Berita selengkapnya bisa dilihat disini dan percayalah, siapapun yang sudah jadi orangtua, pasti tak bisa menyembunyikan pertanyaan ini “Kok bisa sich??”

Mungkin baik juga dilihat kesaksian Chem Fuk , ayah Lyvia Mudita (nama anak itu). Tentu tak ada satu orangtua pun yang menginginkan hal ini terjadi (bahkan tidak di mimpi yang terburukpun). Aku percaya itu.

 

Tapi...

 

Kadang-kadang aku berpikir, memang berat jadi orangtua. Tak boleh sedetikpun kita lengah kalau itu menyangkut keamanan dan keselamatan anak-anak kita. Sudah tak terhitung banyaknya kita baca berita anak-anak yang celaka bahkan meninggal karena kecelakaan rumah tangga, misalnya aja kesiram air panas. Atau aku pernah baca seorang bayi meninggal karena terinjak kakaknya. Masyaalloh, nggak bisa bayangin gimana perasaan orangtuanya, that must be the worst feeling a parent (even a human) can feel. Naudzubillahimindzalik...

 

To be honest, sebagai orangtua, aku sangat jauh dari sempurna. Anak-anakku pun juga tak luput dari kecelakaan-kecelakaan kecil, macam jatuh dari tempat tidur, atau terpeleset di lantai rumah yang basah, atau kepala benjol karena kejedug dan lain-lain. Tapi membaca kisah si Lyvia ini aku sempat mengernyitkan dahi juga.

 

Mall, indeed, is a very dangerous place for kids. Not only it’s full of strangers, but also because there are lots of instruments there, which are actually not suitable for children (in fact, some are stuff that have to keep away from children). Aku pribadi, selalu agak paranoid ketika mengajak anak-anak ke mall. Otherwise, if I need to do something that is not for kids (misal belanja dalam arti membeli sesuatu) I prefer not to take them along with me. Kalo aku pergi ke mall dengan anak2, selalu kuusahakan bahwa itu memang bener2 waktuku bermain dan jalan-jalan dengan mereka. Thus, I can be actually keep them under my eyes all the time.

 

Atau kalopun bawa mbak pengasuh, ketika kutinggalkan mereka harus dalam keadaan bermain di tempat yang tertutup dan aman (dalam arti tidak keluyuran di lorong2 mall). Tempat seperti ini kan sudah banyak dan selalu tersedia di hampir setiap mall. Dan selalu akan kupastikan aku kembali untuk mereka jauh sebelum jam bermainnya habis. Tak ada tawar menawar dalam hal ini. Apalagi dengan anak-anak seperti Abe dan Bea yang bahkan berhenti bergerak untuk sekedar menghela napas saja mereka tidak pernah.

 

Pernah juga, di suatu hari yang kacau (mendekati lebaran, mbak pengasuh sudah pada mudik sementara kita harus ke mall untuk beli sepatu karena sepatu Abe yg satu-satunya barusan jebol) aku kehilangan Abe di mall!! Gara-gara umek sama Bea (yg masih belajar jalan), dan si mas urusin pembelian sepatu, sedetik aku kehilangan pandang dari Abe dan sudah berbuah dia menghilang. Masyaalloh paniknya masih tak terbayangkan sampai sekarang!! Waktu itu aku ingat di Matahari sedang rame-ramenya orang belanja menjelang lebaran. Aku sendiri kalo gak sangat amat terpaksa gak bakalan deh belanja di Matahari dekat2 lebaran kaya gitu.

 

At the end of that day, tak pernah aku bersyukur seperti malam itu karena Allah telah mengkaruniakan kepada kami anak secerdas Abe. Dia kami temukan duduk di belakang meja kasir, sedang bercanda dengan mbak2 karyawan kasir. Disampingnya ada seorang satpam nungguin. Tak terkira leganya begitu kami lihat dia, tak kurang suatu apa. Bahkan wajahnya pun tak ada tanda2 cemas sama sekali. Begitu ketemu aku, kalimat pertama yang diucapkan Abe waktu itu, “Pak Satpam, itu dia Ibukku yang kubilang hilang tadi!!” sambil dengan antusias menunjuk aku. :D

 

Kejadian itu sudah lebih dari cukup untuk memukul seluruh isi kepalaku. Membunyikan alarm di otakku tentang bagaimana pentingnya memastikan anak-anak selalu dalam pengawasan selama mereka di mall (tanpa sedetikpun terlalaikan). Dengan tegas juga kutanamkan ke mbak pengasuh tentang bahayanya melepaskan anak-anak dari pengawasan biar sedetikpun. Makanya aku kadang2 suka memberi waktu khusus, kesempatan si mbak pengasuh untuk juga merasakan jalan2 di mall dengan bebas, biar ketika mereka harus menjaga anak-anak, mereka tidak lagi “lapar mata” dengan mall dan membuka kemungkinan mereka lalai pada tugas mengawasi anak-anak.

 

Back to Lyvia...

 

Ayahnya mengungkapkan kalo dia dan istrinya memang biasa melepas Lyvia di mall, karena si kecil 6 tahun ini sudah hapal keadaan mall tersebut. Jujur bagiku kebiasaan ini sangat amat beresiko besar. Namanya anak-anak kita tidak bisa mengandalkan mereka untuk selalu tertib setiap saat. Ada curiousity yang setiap saat siap mengambil alih kontrol terhadap mereka. Itulah kenapa kita tidak boleh (dan tidak pernah boleh) mempercayakan keselamatan anak-anak kepada dirinya sendiri. Kalo curiousity sudah mengambil alih, mereka sudah akan lupa pesan2 yang kita tanamkan tentang ketertiban dan bahaya. Penggalan berita Lyvia ini buktinya :

.... Chem Fuk tak pernah tahu persis saat-saat Livya celaka. Namun, rekaman CCTV ITC Mega Grosir menunjukkan bagaimana gadis itu tewas. Di video tersebut, terasa benar keceriaan dan "keusilan" seorang bocah kecil. Livya terlihat berjalan menuju travelator (eskalator tak berundak). Dua tangannya memainkan rambut, khas anak kecil. Sejurus kemudian, kaki-kaki kecilnya menaiki pembatas travelator yang seperti anak tangga. Tiba-tiba, kaki kirinya seperti terseret ban travelator. Setelah itu, tubuh Livya tak lagi terlihat di video tersebut. CCTV di lantai LG merekam tubuh kecil Livya terbanting ke lantai.....

 

Ngeri kan..??

 

Aku yakin sudah banyak kali si ibu-ayahnya pesan untuk tidak bermain-main dengan eskalator. Buktinya mereka sudah terbiasa melepas si Lyvia sendiri, ini kan berarti karena mereka yakin Lyvia sudah bisa dipercaya menjaga keselamatannya sendiri. Tapi apa daya kalo keusilan dan curiousity khas anak-anaknya sudah mengambil alih kontrol... ??? –sigh-

 

Pagi ini Abe ikut baca korannya...kulihat dia berpikir keras sambil dengan ngeri lihat foto2 jatuhnya Lyvia...(there, you really need to see that dear...take a lesson from it okay??) :D