Minggu, 30 September 2007

Menikah Muda Part 5 : Dibalik Musibah SELALU Ada Hikmah!

Sekali lagi, ketika barusan membuka MSWord untuk menulis lanjutan postingan blog “Menikah Muda” ku, teringat kembali nasib sinetron2 Indonesia yang selalu berpanjang-panjang, episodenya selalu ditambah-tambah sampai alur ceritanya bikin eneg karena terlalu dipaksa lama sampai-sampai nggak masuk lagi di akal (bahkan akal2 orang kreatif yang imajinatif sekalipun, saking konyolnya).

 

Bulatkan tekad, jangan sampai senasib dengan cerita2 sinetron itu, insyaAlloh postingan ini nggak akan lebih banyak episodenya dari serial Harry Potter deh. Hehe...

 

Selain itu, terus terang ada alasan emosional yang tak bisa kuhindari, sangat menggelitik hatiku. Seorang teman, Mbak Lily, tempo hari dengan “kejam”nya sudah membuat pengakuan dudul “Saya menyimpan banyak komentar untuk mbak Wahida, tapi biarlah saya simpan dulu sampai ceritanya tamat”.

 

Duhhh...terus terang aku bukanlah orang yang begitu terobsesi dengan apa komentar orang terhadap apapun dari diriku. Tentu saja bukan juga lalu aku cuek dengan apa kata orang (apalagi kalau itu berisi pelajaran dan dukungan tentu saja).

 

Tapi please....ini mbak Lily gitu loh..!! :D

Even though we only met online, but ever since, diam-diam she’s been more like a mentor to me. I got so many lessons from her, her personality, her strenght (specially after her Aceh’s tsunami tragedy that swept almost all of her family away), the way he’s doing with the kids (all the way!), her wisdom, everything! She’s practically one of my idol! :D

Jadi maklum kan kalo komentar yang dia simpan itu jadi sangat berharga untuk cepat-cepat kudengar? It will be a precious input for me and my life. And above all that, I just can’t stand being curious!! :D

 

So here we go... Cerita sebelumnya bisa dilihat di Menikah Muda Part 1, Part 2, Part 3 dan Part 4

*****

 

Sehabis keguguran, sebenarnya aku bisa mengatasi perasaanku dengan cukup baik. Umurku masih 20 tahun waktu itu. Mas Iwan juga baru 21 tahun. Akan masih panjang kesempatan untuk kami berdua. Bahkan, setelah beberapa bulan berlalu, aku mulai menemukan hikmah dari semuanya. Rahasia Allah yang ternyata memang untuk kebaikan semua (termasuk PASTI untuk “The First” kami tentunya).

 

Ritme kerja mas semakin menggila. Waktu yang kami habiskan berdua sangatlah sedikit. Waktu itu, dia sudah mulai merintis usaha berdagang paku. Tanpa modal, tentu saja harus dengan sistem “makelar”, membeli barang dengan bayar kredit selama 3 minggu untuk kemudian dijual kontan atau 2 minggu.

 

Dibantu satu orang teman kuliahnya, mas pun melakukan semuanya sendiri. Mengambil dan mengantarkan barang berupa paku, mur, baut, kunci pas, obeng, dll yang cuma beberapa dos sehari (maklum pengirimannya kan masih pake motor). Dia cerita bahwa tak ada pilihan lain, setiap hari dia HARUS berhasil menjual dagangannya, karena ada batas minimum pengambilan barang per bulan yang harus dipenuhinya kalau mau terus bisa membayar 3 minggu. Termasuk Hari Minggu! Kuliahnya di Teknik Sipil sedikit banyak membantunya mendapatkan pembeli, karena praktek tugas lapangan kebanyakan di proyek2 pembangunan. Dosennya pun tak urung akhirnya jadi pelanggan juga. :D

 

Disamping itu, ternyata kuliahku pun memasuki masa-masa sibuk luar biasa dan sangat menyita waktu. Jadwal penuh, tugas dan praktikum yang menumpuk tidak menyisakan banyak waktu lagi untukku. Aku tak membayangkan akan bisa memberikan perhatian penuh untuk keduanya kalau aku juga punya bayi.

 

Dulunya, aku selalu berpikir bahwa dengan tekad kuat dan manajemen waktu yang baik, seorang wanita akan bisa melakukan 2 hal ini sekaligus : kuliah dan menjadi ibu yang penuh perhatian. Ditambah pengetahuan tetek bengek tentang waktu (kualitas vs kuantitas), aku juga melihat banyak contoh wanita bisa menjalankan keduanya. Tetapi justru anak tetangga lah yang kemudian membuatku sadar bahwa ini tidak akan bisa berhasil untukku..Tidak akan pernah !!

 

Tetangga sebelah rumah mertua yang juga masih saudara kebetulan punya anak, usianya waktu itu sekitar 3 tahunan. Karena memang sangat menyukai anak-anak (ditambah baru saja keguguran), tak perlu waktu lama untukku menjadi dekat dengannya. Satu hal yang sangat hebat dari anak-anak adalah mereka tidak pernah mengenal istilah “bertepuk sebelah tangan”. Bagaimana kita mencintai mereka, maka seperti itulah mereka akan balik mencintai kita. Dia pun menjadi semacam “tergantung” padaku. Setiap melihatku berangkat kuliah, dia selalu merengek untuk ikut.

 

Saat itulah pelan-pelan tapi pasti aku menyadari hikmah dari semuanya...

 

Singkatnya, kalau saja waktu itu memang anakku ditakdirkan untuk lahir di dunia ini, maka tidak akan ada harapan SAMA SEKALI untukku bisa menyelesaikan kuliah !! Aku akan jelas-jelas memilih untuk drop-out saja daripada harus menghadapi perasaanku sendiri setiap melihat anakku dengan tidak rela melepasku pergi kuliah. Atau ketika harus terpaksa menyuruhnya bermain dengan orang lain ketika aku harus fokus menyelesaikan tugas-tugas dirumah.

 

Dan figur ayah... Aku saja waktu itu sering merasa nelangsa karena jarangnya bertemu dan menghabiskan waktu berdua dengan mas, masih perlukah anak kami juga merasakan yang sama?

 

No and absolutely NOT! Konsepku tentang sebuah keluarga tentu saja bukan seperti itu. Konsepku tentang keluarga bukanlah soal pertemuan yang “terbatas tetapi berkualitas”. Dengan alasan apapun, kerja atau kuliah! That would be not enough for me! Konsepku tentang keluarga, is all about WAKTU YANG BERKUANTITAS SEKALIGUS BERKUALITAS!!

*****

 

Jadi inikah rahasiaMu untukku, Ya Allah...? Semakin dalam kutemukan hikmahNya, tak terasa semakin sering kulantunkan Al-Fatihah untuk ruh anakku...semakin dalam rasanya sujudku menghujam ke hatiku...dan akupun semakin dalam merindunya, dia yang sedang menungguku di pintu surga... Ya Allah, sampaikanlah aku kesana... kumpulkan kami berdua kembali Ya Allah...

 

*****

Seraya menunggu untuk hamil lagi, maka akupun fokus dengan kuliah. Juga si mas, dengan kerjaannya (dan kuliahnya yang semakin dirasanya membosankan :D). Sampai sekitar pertengahan tahun 1998, Allah Yang Maha Kuasa sekali lagi menunjukkan kuasanya yang luar biasa kepada kami berdua.

 

Setahun sebelumnya, mas Iwan masih berjualan sekadarnya dengan motor. Secara ekonomi, bisa menutupi biaya kuliah kami saja, kami sudah sangat bersyukur dan merasa beruntung. Lantas, siapa yang bisa mengira kalau tahun 1998 itu, kami berdua berhasil membeli rumah sendiri ?!?!?!? Ya! Rumah mungil yang kami beli sendiri dan sampai sekarang kami tinggali ini adalah salah satu bukti betapa kalau Allah menghendaki sesuatu terjadi, maka terjadilah! Masuk akal manusia atau tidak, itu bukan hal yang penting lagi! (cerita tentang hal ini bisa disimak nanti di Part 6, insyaAlloh :D)

 

Tak terkira bahagianya kami berdua ketika pindah kerumah baru. Tanpa menunggu furnitur terbeli, kami pindah saja kesitu. Kamipun tidur di rumah yang masih melompong, beralas selembar karpet pinjaman mertua, berbekal TV kecil yang baru saja kami beli dan kompor gas kecil kado pernikahan dulu.

 

Duh masyaAlloh nikmatnya...it’s like we’re just married for the second time! Hanya tinggal berdua di rumah baru, rasanya kami berada dalam masa bulan madu kembali.

 

Bulan madu kedua ini ternyata juga tidak berlangsung lama, karena mas pun harus cepat-cepat kembali ke ritme kerjanya yang sekarang sudah bertambah parah. Jadilah aku melewatkan sebagian besar waktuku sendirian dirumah kami. Bener-bener sendiri! Terkadang, karena tuntutan pekerjaannya yang sekarang sudah harus melayani pembeli luar kota (bahkan luar provinsi), tiap 2 minggunya mas Iwan harus meninggalkan aku sendirian sampai 3-4 hari.

 

Ibu mertua berkali-kali protes karena mengkhawatirkan keselamatanku. Ibukku hanya bisa telepon sehari sejuta kali untuk memastikan aku baik-baik saja sambil selalu menelan kekecewaan karena tawarannya untuk mencarikan aku pembantu selalu kutolak. Aku tidak akan mengorbankan nikmatnya tinggal berdua dengan mempunyai pembantu! Lagipula, dari kecil aku selalu menikmati pekerjaan2 rumah khas ibu rumah tangga. Lama-lama aku pun menjadi biasa. Sibuk di kampus pagi sampai siang hari, mengurus rumah sore hari, dan dimalam hari, banyak kulewati sendiri (dari membaca, nonton tv sampai mulai berkenalan dan jatuh hati dengan internet).

 

Lama hidup seperti ini kujalani, sampai kemudian kusadari sudah 2 tahun berlalu sejak aku keguguran, dan aku belum juga hamil lagi. Selama itu, tak kurang sudah 6 atau 7 kali aku mengalami gagal hamil. Terlambat mens 2-3 minggu, dites hasilnya positif, tetapi 1-2 minggu kemudian luruh lagi dalam bentuk gumpalan2 besar yang mengerikan. Sangat melelahkan secara emosional, karena berkali-kali harapan kami yang membumbung ketika mengetahui hasil tes positif, harus sirna begitu kemudian luruh lagi. Lama-lama, tanda positif di testpack yang sering kami temui, tidak lagi membuat kami antusias karena takut berharap lebih untuk kemudian merasa kecewa lagi.

 

Aku menjalani bermacam-macam terapi, selama beberapa tahun itu sampe kemudian aku merasa cukup ketika setelah terapi hormon selama beberapa bulan, berat badanku jadi melambung sampai lebih dari 25 kilogram!

 

Aku mohon dengan amat sangat agar mas mengurangi waktu kerja diluarnya dengan mempekerjakan orang untuk membantunya. Alhamdulillah dia setuju, disamping memang waktunya juga dia fokus ke tugas akhir kuliahnya. Tak lama kemudian walaupun dengan susah payah berkubang darah (yang ini sih hiperbolic banget! Hihi), akhirnya tahun 1999 si mas menyelesaikan kuliah sarjananya.

 

Lepas dari perawatan dokter kandungan, aku tenggelam dalam cara alternatif. Dari pijat, terapi herbal sampai semua tips berhubungan ala apa saja kami coba. Nihil, aku tak juga kunjung hamil. 

 

Tahun 2000 kembali aku ada di persimpangan. Ketika baru saja proposal skripsiku diterima, aku sekali lagi termangu melihat tanda positif di test pack. Dengan berdebar kutunggu 2 minggu, 3 minggu, sampai kemudian USG menunjukkan bahwa aku berhasil melalui 3 bulan pertama yang mengkhawatirkan. Kami tenggelam dalam rasa syukur yang dalam, dan aku langsung saja ambil cuti kuliah (lagi?? :D).

 

 

Hari Kamis, 30 Oktober 2001, penantian kami yang panjang terjawab dengan lahirnya Abe... Lucunya, aku keguguran di hari Kamis akhir Oktober juga (1997). Sebuah kebetulan yang sedikit misterius ya? Hehe...

 

Skripsiku? Jangan tanya lagi, sudah pasti terbengkalai! Kini Abe-lah pusat duniaku dan tak kubiarkan terkorbankan sedetikpun walaupun demi menyelesaikan kuliahku yang cuma tinggal skripsi saja. Teman-teman seangkatan sudah pada lulus ketika itu, membuat semangat tambah melemas. Ketika aku hamil lagi 2 tahun kemudian, ancaman drop-out yang didepan mata pun sudah tak membuatku bergeming. Dorongan dan dukungan luar biasa dari suami-lah yang kemudian berhasil menyeretku ke ruang sidang skripsi.

 

Ketika aku resmi diwisuda Januari 2004 itu, aku sedang hamil Bea 6 bulan. Yang lucu ternyata aku sempat wisuda bareng teman seangkatan, bedanya dia S2 sedangkan aku baru S1! Hehe...dan karena aku masuk kuliah tahun 1995, maka berarti masa studiku hanya untuk jenjang S1 saja (termasuk cuti2 itu) adalah sepanjang 9 tahun!

 

Fuuuiiihhh... :D

*****

 

(bersambung...kontraknya tinggal 2 episode lagi nih :D)

 

Kamis, 27 September 2007

Menikah Muda Part 4 : Tabungan Kami di Dunia dan (hopefully) di Pintu Surga

Cerita sebelumnya bisa dilihat di Menikah Muda Part 1,  Part 2 dan Part 3
 
*****

 

Sepulang dari acara “PsychoCamp” sekitar Bulan Juli 1997. Ah, satu lagi acara yang menguras tenaga. Tentu saja. PsychoCamp adalah acara rutin Senat Mahasiswa Fakultas Psikologi Unair dalam rangka orentasi mahasiswa barunya setiap tahun. Bertema alam, setiap tahun kemping diadakan selama 3 hari di hutan/bumi perkemahan. Acaranya tentu saja full outdoor activities khas emping macam hiking, outbond games (waktu itu yang namanya outbond belum seperti sekarang sih) sampai jurit malam dan api unggun.

 

PsychoCamp 1997 memberi warna beda bagiku dibanding tahun sebelumnya. Tahun 1995 posisiku sebagai mahasiswi baru, dan tahun 1996 aku absen karena harus mengambil cuti kuliah ketika pergi haji. Ditambah sedikit pelarian dari keadaan rumah tangga baruku (lihat di Part 3), maka di PsychoCamp 1997 itu semangatku selama kemping serasa membuncah sedikit melebihi yang seharusnya.

 

Ada bagian dalam diriku saat itu yang tanpa kusadari ternyata sangat merindukan berkegiatan dengan teman-teman (kuliah). Tahun sebelumnya terasa amat panjang, penuh gejolak dan perubahan yang cukup drastis dalam hidupku, dari urusan pernikahan sampai dengan pergi menunaikan haji. Belum lagi perubahan status dari sekedar mahasiswi menjadi juga seorang istri. Dari anak kost menjadi seorang menantu yang numpang dirumah mertua. Kalau ada yang membaca tulisanku ini merasa harus melongo melihat betapa cepat hidupku berubah dalam kurun waktu setahun itu, percayalah, aku juga!

 

Tetapi, bahkan puncak adrenalin pun ada batasnya. Setelah beberapa waktu exciting dengan segala perubahan yang terjadi, ada masa dimana kemudian aku merindukan sesuatu yang telah hilang (atau sebenarnya tidak hilang, hanya berubah). Teman-teman, kampus dan segala pernik khasnya, organisasi yang sejak SMP selalu menjadi rumah kedua, semua yang aku tahu harus banyak terkurangi begitu aku menikah.

 

Maka acara PsychoCamp 1997 itu serasa jadi momen kembaliku. Melepas kerinduanku akan serunya berkegiatan dan ngumpul dengan teman-teman. Energi yang kukeluarkan lewat pikiran dan semangatku waktu itu, tanpa kusadari melebihi kapasitas tenaga fisikku. Begitu pulang ke rumah (rumah mertua maksudnya :-D), aku sempat mengalami kelelahan yang cukup parah.

 

Sampai sekitar seminggu kemudian, kusadari bahwa si tamu bulanan sudah 3 minggu telat datang... Nggak mengkhawatirkan juga karena memang biasanya si tamu itu tidak teratur datangnya, kadang terlalu cepat, kadang juga bisa lama telat... Mas Iwan lah yang kemudian iseng pulang bawa testpack kehamilan...dan ternyata memang hasilnya POSITIF!

 

!!...Alhamdulillah...!! Kami semua tenggelam dalam rasa syukur yang dalam... :-)

 

Tentang bagaimana semua orang semangat, sudah kutulis juga di tulisan terdahulu (lihat Part 3). Si bayi sempat kujuluki “The First”, since he/she will be the first of everything (child, grandchild from both sides of family, nephew, everything). Bahkan ketika masih berusia 2 bulan dalam kandungan, dia sudah merebut hati semua orang dan menjadi tumpuan harapan kami semua. Tentu saja, terutama aku dan suami. Semua sudah penuh dengan rencana-rencana menyambut datangnya “The First” kami. “Aku akan bekerja lebih keras lagi untuk dia, menabung sebanyak mungkin uang didunia ini untuk kalian berdua” kata suami waktu itu yang tak urung kutingkahi dengan ngeri khawatir. Masih mungkinkah ada yang namanya bekerja “lebih keras” lagi daripada dia waktu itu?

 

Tidak mengherankan jika kemudian awal kehamilanku menjadi sangat menyenangkan. Selain karena dari sebelum baligh pun aku sudah membayangkan betapa cool nya kalau aku nanti hamil, juga karena semua orang kelihatannya tidak ingin melakukan apa-apa kecuali memanjakanku. Aku bahkan sangat menikmati morning sick yang katanya menyebalkan itu :-D

 

Suatu sore kira-kira 2 bulan kemudian, sepulang kuliah aku dan mas sedang jalan ke toko buku. Saat pergi ke toilet, aku mendapat kejutan berupa flek merah yang cukup banyak. Jelas-jelas merah. Dan banyak! Tak terbayang panikku saat itu. Dengan motor kami langsung pergi ke dokter. Parahnya, antrian sedang banyak dan baru sekitar 4 jam kemudian aku tertangani dokter, itupun setelah mas memaksa-maksa suster penjaga dan mengatakan kalau ini keadaan darurat! Antrian di beberapa dokter2 kandungan senior di Surabaya memang sudah nggak masuk akal!

 

Singkat cerita akupun berakhir bedrest di RS malam itu... Ada hikmahnya juga antri lama, karena memberi waktu ibukku datang dari Tulungagung ketika aku masuk kamar RS. Sungguh hanya beliau yang bisa membuat tenang hatiku. Masih besar harapan, kata dokterku, asal aku bedrest. Sampai berapa lama? Salah satu dari sedikit dokter kandungan wanita yang senior itupun mengangkat bahu. Kita lihat saja nanti...Yang jelas, pasien disebelahku bercerita kalau dia harus bedrest total selama kehamilannya. Sudah 6 bulan dia “tinggal” di RS Darmo Surabaya. Beri kami kekuatan Ya Allah...begitu batinku terus. Saat itu akupun masih sempat memikirkan UTS yang sudah sebentar lagi. Beri aku kekuatan Ya Allah, aku ingin bisa ikut UTS atau kuliah akan molor lebih lama lagi karena semester sebelumnya aku sudah mengambil cuti.

 

Semua orang dengan berdebar mendoakan kami...Teman-teman kuliah tak ketinggalan menunggui di RS sambil secara sok tau menganalisa kenapa sampai aku keluar flek :D. Rata-rata menduga PsychoCamp lah sebabnya. (Percayalah, mereka memang benar2 teman yang patut dirindukan sampai sekarang :-D). Apa mau dikata, waktu itu memang aku belum sadar kalau aku hamil, dan memang aku beraktivitas selayaknya orang yang tidak hamil muda! Hiking naik turun bukit, ikut loncat2 selama games, dan banyak lagi. Yah...meskipun mungkin benar, yang pasti Allah pasti punya rencanaNya sendiri. Banyak juga kulihat ibu-ibu yang walaupun hamil muda tetapi tetap aktif bahkan bekerja, dan bayinya terbukti baik-baik saja. Semua ada ditangan Allah...

 

Setelah 4 hari bedrest pun, kabar gembira itu datang. Aku boleh pulang, asalkan tidak banyak bergerak dan rajin minum obat. Kuliah boleh, asalkan dalam rentang waktu seminggu kemudian, dan flek tidak keluar lagi. Dan aku hanya boleh naik turun tangga sekali sehari (ruang kelas di kampus ada di lt. 3).

 

Baru 2 hari aku dirumah, dan ibukku pun baru sore tadi pulang ke Tulungagung. Malamnya, kurasakan sakit yang semakin lama semakin amat sangat menjalar di punggung bawahku. Semalaman sakitnya bukan berkurang, malah bertambah hebat. Selama ini banyak yang selalu mengagumi kemampuanku menahan sakit, tapi yang ini benar-benar tak tertahankan lagi. Tengah malam, susah payah aku pergi ke kamar mandi. Untunglah, nggak ada flek. Tapi kenapa sakitnya tak kunjung berakhir juga? Sekilas, aku melihat wajah ibu mertua yang ikut menjagaku, sudah menggambarkan rasa sedih yang pasti. Akan keguguran kah aku?? Oh, tidak Ya Allah, aku tidak boleh berhenti berharap padaMu...batinku terus menerus sesering rasa sakit yang amat sangat itu menghampiri. Aku cek lagi, tak ada flek yang keluar. Mengingat itu aku menjadi agak tenang dan memutuskan untuk mencoba tidur. Berhasil, karena memang aku kelelahan menahan sakit.

 

Sekitar pukul 4.30 paginya, aku terbangun karena sakit yang kurasakan menjalar lagi, dan rasa mendesak yang membuatku setengah lari pergi ke kamar mandi. Di terangnya lampu kamar mandi, jelas kulihat benda itu teronggok lemah di lantai... Bukan flek, bukan...ini lebih dari itu...”The First”-ku...

 

Lama dan lemas aku terduduk diam di lantai kamar mandi. Dengan wajah beku kulihat benda merah berlendir sebesar bola tenis didepan mataku. Punggungku yang semalaman terasa sakit, juga terasa beku...Pikiranku, hatiku, rasanya sekujur tubuhku memang membeku...tak berasa apa-apa kecuali kelu...

 

Sampai kudengar kemudian adzan subuh sayup2 terdengar....”Inna lillahi wa inna ilaihi roojiuun...” bisikku lirih dan sendiri...dengan bibir yang kurasakan bergetar, kemudian membeku...

Yang kuingat selanjutnya suara mas yang terbangun, agak lama juga kemudian kudengar dia menyebut bisik lirih yang sama. Yang kemudian mengangkatku, menggendongku dan membaringkanku kembali ke kamar tidur.

 

“The First kita mas....”, bisikku sambil kupeluk lengannya, kusadari baru pecah tangisku melihat lengan mas yang basah oleh air mata...

 

Waktu itu sebuah Kamis pagi di akhir Oktober 1997...

 

 

****

 

Senin paginya, teman-teman menyambut dengan gembira ketika aku datang ke kampus untuk hari pertama Ujian Tengah Semester. Begitu gembiranya mungkin, sampai-sampai tak ada yang menyadari gelayut mendung yang tak biasa di wajahku yang sebelumnya selalu cerah.

“Ingat, cuma boleh naik turun tangga sekali lho,” salah seorang teman mengingatkan.

“Mas Iwan aja suruh gendong Wahida keatas,” goda teman yang lain.

“Nggak papa, asal hati-hati naiknya, aku tunggu di kantin bawah ya,” jawab mas Iwan seraya menitipkan istrinya.

 

Selesai ujian, ketika banyak teman mengerubutiku, barulah aku cerita kalau 3 hari yang lalu aku baru saja dikuret, untuk mengeluarkan ari-ari si kecil yang sudah diminta kembali oleh Allah...

 

Sampai detik ini ketika aku menulis cerita ini pun, masih teringat betul suasana syahdu di ruang kelas tempat UTS diadakan itu. Kita menangis bersama, mereka menguatkan hatiku, saling menyeka air mata masing-masing di bangku ruang kuliah, berdoa bersama dan... ah, sekarang pun kerinduanku pada teman-teman jadi bangkit kembali. Kelak, akhir-akhir ini ketika beberapa teman yang menghiburku dulu itu mendapat ujian dan cobaan dari Allah menyangkut keluarga dan anak2nya, aku tidak bisa memberikan perhatian seperti yang mereka dulu berikan padaku (karena sekarang kita sudah hidup berjauhan dengan keluarga masing-masing). Bahkan sekedar memeluk bahagia ketika mereka melahirkan pun terkadang hanya bisa dilakukan lewat sms, chat setelah 3 bulan kemudian atau hanya via email. Duuhhh aku benar2 benar rindu kalian, sahabat-sahabatku, kalian lah penguat hatiku dikala aku rapuh...

 

Ada seorang teman, aku memanggilnya mbak Lely. Dia lah yang paling paham soal agama diantara kami. Sambil memeluk dan mengelus pundakku, dia membisikkan kata-kata ini padaku, “Kalau ada seorang ibu yang ikhlas ketika anaknya diambil kembali oleh Allah SWT, InsyaAlloh, anak itu akan menjadi tabungan di akhirat kelak. Dia akan menunggu ibunya di pintu surga, dan akan terus menolak masuk sebelum Ibunya datang menjemput dan menemaninya memasuki jannah...maka Ikhlaskanlah...Sungguh Wahida, aku begitu iri denganmu!”

 

Mbak Lely yang sangat kuhormati, kukagumi dan kusayangi ini, akhirnya selamanya tidak pernah mempunyai kesempatan untuk menjadi seorang Ibu, karena sekitar tahun 2002 yang lalu, setelah baru saja 2 bulan menikah, mbak Lely meninggal karena kecelakaan lalu lintas yang dialaminya... (Ya Allah, doaku senantiasa untukmu mbak...)

 

Hikss... ^_^

 

(bersambung)

Minggu, 23 September 2007

Menikah Muda Part 3 : Kerikil Yang Mulai Menguji Kesabaran

Wah sekarang sudah ada editor yang mengejar-ngejar dan ngoprak-ngoprak postingan lanjutan kisah pernikahanku hueheheheh (terimakasih perhatiannya temans, specially tya dan mas yudi kalian lah penyemangat bagi mood menulisku yang hari-hari ini lagi dudul, well maklum Ramadhan banyak rutinitas khusus –alasan.com- hehehe)

 

Oke, ini dia Bagian ke-3...

Cerita sebelumnya bisa dilihat di Menikah Muda Part 1 dan Part 2

***

 

 

Mengapa kupilih dia menjadi suamiku?

Karena dialah laki-laki yang bisa membuatku jatuh cinta, itu sudah pasti. Bagaimana dia bisa membuatku jatuh cinta? Well, I’ll tell you why...yang pasti bukan cinta pada pandangan pertama karena meskipun percaya, tetapi aku tahu pasti bahwa “love at a first sight” is definitely not for me..it just won’t work on me... :D

 

Masalah agama, tidak usah ditanya lagi merupakan suatu keharusan yang mutlak, tentu saja. Sholat tertib dan lain sebagainya ibarat seleksi adalah tahap pertama yang sudah dilewati si mas. Tetapi lebih khusus lagi, ada sifatnya yang waktu itu ternyata sanggup menawan hatiku dan membangkitkan kekaguman dalam diriku. Lebih dari cowo-cowo lain yang pernah mendekatiku.

 

“Dia adalah orang yang tanpa ragu akan mendahulukan dirinya sendiri ketika menghadapi kesusahan, dan sebaliknya, dia orang yang juga tanpa ragu akan mendahulukan orang lain ketika menghadapi kesenangan”. Kenyataan ini kusaksikan dengan mata pikiran dan hatiku sendiri ketika selama lebih 2 minggu berkegiatan di Pondok Pesantren Liburan tempat kami bertemu, melalui bagaimana cara dia memperlakukan orang lain (khususnya anak-anak kecil dan orang tua). Menunjukkan sebuah rasa tanggungjawab yang luar biasa.

 

Bagiku cukup sudah, itulah syarat utama untuk menjadi seorang laki-laki sejati dimataku. Seorang suami dan imam yang pantas kelak, seorang figur ayah dan laki-laki yang akan menjadi panutan anak-anakku nantinya. Walaupun waktu itu dari luar penampilan dan cara bergaulnya tidak berbeda dengan remaja seusianya yang lain, tetapi ketika aku melihat kedalam dirinya, bahkan ketika masih berumur 18 tahunpun, dimataku dia adalah sosok laki-laki dewasa yang matang dan sejati.

 

Laki-laki yang akan bisa dan mau diajak untuk segera menikah.... :-)

 

***

 

Kami pulang dari perjalanan haji (1997) dengan membawa segudang rencana berdua. Setidaknya ada 3 poin rencana besar : kerjaan, anak dan kuliah. Kami (terutama aku tentu saja :D) ingin secepatnya menimang bayi, apalagi setelah haji selesai, maka akupun bebas untuk hamil. Kuliah sambil ngurusin anak? Well, no problemo karena memang aku sudah siap (paling nggak secara mental). Bagaimana caranya? Well, we’ll figure it out somehow, wong memang sudah niat, insyaAlloh pasti akan ada jalan, begitu pikirku saat itu :D

 

Saat itu kami masih tinggal menumpang dirumah mertua. Sebelumnya, sudah sejak SMA si mas sudah terbiasa bekerja. Dari yang sifatnya membantu usaha orangtua maupun proyek “apa saja” yang dia kerjakan bersama beberapa temannya di “Gang Molen”. Dari event organizer, usaha sablon sampai order membuat panggung, semua mereka kerjakan. Aku masih ingat betul, mas kawin dan biaya akad nikah kami dulu adalah hasil dari proyek si mas membuat dekorasi panggung untuk acara off-air dangdut nya Indosiar :D

 

Dengan sifat mandiri dan tanggungjawab yang dimiliki suami (sifat yang dulunya telah membuatku jatuh cinta padanya), sebenarnya aku tidak heran ketika sehabis menikah, keluar ultimatum ini : “Mulai detik ini, aku suamimu yang akan bertanggungjawab penuh atas kamu. Maka perlakukanlah aku sebagaimana seorang laki-laki dengan memutuskan ketergantunganmu secara finansial dari orangtuamu, seberat apapun itu!” Maka resmilah, hasil kerja serabutannya yang dulu hanya menjadi tambahan uang saku buat dia, sekarang menjadi tulang punggung keuangan kami berdua. Dan kalau merujuk pada jumlahnya, setelah diambil untuk biaya kuliah kami berdua, tinggal sedikit saja yang akan tersisa (kalau tidak mau dikatakan hampir habis).

 

Secara ide, aku setuju sekali dan tak urung merasa menjadi istri yang bangga. Tetapi ternyata dalam prakteknya, hal ini seringkali memicu pertengkaran diantara kami. Keteguhan suami dengan ultimatumnya itu, kadang-kadang karena keadaan dan kebutuhanku, kurasakan sebagai hal yang keras kepala dan egoistis seorang laki-laki. Sepeserpun, dia nggak mau memakai tabungan yang sudah kupunya sejak sebelum menikah (kecuali untuk kebutuhan buku kuliahku, dia masih mengijinkan, untuk buku, bukan untuk SPP). Bukan hanya aku, tetapi orangtua dan mertua seringkali harus sedikit mengelus dada karena sepertinya mas ini alergi menerima bantuan uang walaupun sekedarnya.

 

“Kita harusnya sudah cukup malu karena masih tinggal menumpang di rumah bapak dan ibu,” begitu dia selalu membujukku. Niat kita untuk mengontrak atau kost memang tidak kesampaian karena ibu mertua keburu menangis memohon kami untuk tinggal dirumah beliau. “Mungkin akan lebih mudah kalau orangtua kita miskin, tetapi dengan kondisi ekonomi orangtua kita yang cukup berada, kita harus lebih kuat lagi dalam berjuang menghindarkan diri kita dari kemanjaan dan ketergantungan seperti ini... Ayolah, nduk, ini rumah tangga kita sendiri kan??” begitu dia selalu menguatkan hatiku, dan kalo dia sudah memanggilku dengan sebutan “Nduk” begini, rasanya aku sudah luluh kehabisan rasa untuk menjawab.

 

Siapapun pasti tahu (khususnya wanita hehe), awal-awal tinggal dengan ibu mertua merupakan sesuatu yang challenging. Bahkan dengan mertua sebaik mertuaku, aku masih sering merasa homesick. Rindu keluarga di kampung, terutama ibuku. Sebelum menikah, setiap weekend aku selalu pulang kampung ke Tulungagung (ingat kan betapa aku adalah anak rumahan??). Perjalanan dengan bus selama 3-4 jam itu sudah jadi rutinitas bagiku setiap Jumat sore. Setelah menikah, masa-masa adaptasi tinggal dirumah ibu mertua menjadikan kebutuhanku untuk pulang kampung, bertemu ibukku dan nge-charge diri secara emosional semakin menjadi-jadi.

 

Maka dimulailah masa-masa yang menguji kesabaran itu...

 

Kerinduanku pada rumah dan keluarga di kampung, seringkali berujung dengan tangisan sendu sendiri di kamar kami. Mas sering menolak untuk pulang ke Tulungagung karena sekedar ongkos bus pun seringkali tak punya. Mending kita simpan untuk bensin motor buat kuliah dan kerja, selalu begitu alasannya. Tabunganku yang kukumpulkan waktu sebelum menikah, out of question, tak layak dipakai.

 

Beberapa kali aku lepas kontrol dan menyebut mas kepala batu, keras kepala (astaghfirullah) dan dijawabnya dengan memberikan 2 pilihan “Terserah kamu, kamu sabar sampai aku dapatkan uang untuk ongkos kita ke Tulungagung, atau kamu pulang saja sekarang sendiri.” Seringkali aku dengan emosional berniat berangkat saja sendiri ke kampung, tetapi untungnya Allah masih melindungi dan itu tidak pernah sampai terjadi.

 

 

Waktu itu, mas baru saja keluar dari Gang Molen, dan memutuskan untuk memulai usahanya sendiri. “Teman-teman di Molen berjalan cepat, sedangkan aku perlu berlari cepat sekarang,” alasannya. Dalam hati aku pun sering merasa bersalah, karena merasa membuatnya berada dalam tanggungjawab dan beban yang teramat besar gara-gara menikahiku. Ketika teman-teman seusianya sedang seru-serunya “gaul” sana-sini, Mas Iwan menghabiskan waktunya untuk banting tulang mencari nafkah bagi kami. Pagi kuliah, siang sampai sore dihabiskannya di proyek tempatnya bekerja di salah satu dosennya di Teknik Sipil. Seringkali malam baru pulang, ketika aku sudah terlelap tidur. Ketika di akhir pekan kuliah libur, itu adalah waktu berharga yang bisa dihabiskannya untuk...bekerja diluar kota! Waktu itu dia sedang menjajaki usaha berdagang, dan survei yang dia lakukan bisa memakan waktu 2-3 hari perjalanan ke luar kota. Hanya sekali aku diijinkan ikut (itupun setelah bujuk rayu kulancarkan), tetapi tidak pernah lagi karena selain pertimbangan biaya yang membengkak, kondisi fisikku tidak sanggup mengimbangi ritme kerjanya yang luar biasa (siapa yang bisa? pikirku waktu itu).

 

Melihat bagaimana kerasnya dia bekerja, homesick dan keinginanku pulang kampung semakin jarang aku ungkapkan. Aku sungguh tidak tega. Waktu dimana kemudian tiba-tiba dia menawarkan untuk pulang kampung (biasanya sebulan sekali, pernah sampe 3 bulan) selalu kusambut dengan air mata haru dan rasa syukur yang tidak terkira. Tak kubayangkan, pulang menemui ibukku yang dulu menjadi rutinitas tiap akhir pekanku, bisa begitu nikmatnya kurasakan...

 

Aku paling suka perjalanan pulang kampung bersama mas waktu itu. Saat itulah, di bus, selama 4 jam perjalanan kita bisa punya waktu mengobrol panjang lebar. Tentang apa saja. Kelak, sampai sekarang pun kebiasaan mengobrol dalam kendaraan ini masih menjadi aktivitas yang kami berdua sangat sukai. Bedanya, dulu di bus aku bisa dengan bebas sandaran di bahu mas, sedangkan sekarang tidak karena dia harus menyetir (dua-dua nya menyimpan kenikmatan sendiri karena berarti sekarang kita sudah bisa membeli mobil sendiri kan :D)

 

Melihat bagaimana kerasnya dia bekerja juga yang akhirnya membuatku memutuskan untuk menghabiskan waktuku di kegiatan kampus. Daripada menghabiskan waktu merenungi diri sendiri yang meskipun baru menikah tapi sering ditinggal suami sampai malam bahkan berhari-hari (untung waktu itu belum ada istilah “jablai” ya :D). Dunia organisasi yang sudah kuakrabi sejak SMP pun menjadi pelampiasan yang positif. Kepengurusan di Senat yang praktis banyak kutinggalkan setelah menikah, akhirnya menjadi rumah kedua lagi buat aku.

 

Aku membayangkan, waktu itu pasti mertuaku sering mengernyitkan dahi campur prihatin melihat kesibukan kami berdua. Kulihat Mas Iwan sering menenangkan hati ibunya bahwa kami baik-baik saja, dan harap maklum karena memang lagi sibuk2nya di kampus.

 

Di tengah ritme kesibukan kami yang luar biasa dan intensitas pertemuan kami yang sangat terbatas itulah, muncul kabar gembira. Sepulang dari kegiatan PsychoCamp (program orientasi senat untuk mahasiswa baru) di daerah Malang selama 3 hari, aku mendapati bahwa aku hamil.... :-)

 

Semua menyambut dengan antusias. Orangtua dan mertua (mau punya cucu pertama!), adik-adik, ipar dan teman-teman di kampus (mau punya ponakan pertama!), dan tentu saja kami berdua (tentu saja ini akan jadi anak kami yang pertama kan!). Teman-teman di kampus sudah sibuk membuat jadwal siapa yang sedang off kuliah untuk jagain anakku waktu diajak ke kampus :D (duh...I miss u guys all now hiks). Mertua sudah menyiapkan banyak rencana apa yang akan dilakukan bersama cucunya nanti saat aku harus kuliah. Orangtuaku malah sudah merencanakan membeli rumah supaya bisa sering-sering menginap di Surabaya (rumah yang tentu saja Mas Iwan sudah menolak untuk tinggali, kecuali dia boleh mengontrak dari Bapakku :-S). Kehamilaku baru menginjak 2 bulan ketika dada semua orang sudah penuh dengan semangat dan rencana untuk bayiku nantinya. Sambil tersenyum mengelus perutku, aku selalu bilang pada si kecil “kamu sungguh beruntung...”

 

Sungguh tidak ada yang menyangka bahwa kegembiraan dan antusias kami semua waktu itu adalah awal dari sebuah ujian besar dalam sejarah rumah tangga kami...

 

(to be continued...:D)

 

Sabtu, 22 September 2007

[Amazing Camille Allen] Making Babies




Sebagian dari karya-karya baby sculpture dari Camille Allen, seorang seniman yang sangat mencintai bayi (sama dong kita..hehe sok akrab banget nih :D). Seniman asal Canada berusia 25 tahun ini sekarang sudah menikah dan belum memiliki anak, makanya getol banget ya bikin patung-patung bayi..

duhhh....imutnya....amazing banget, ngeliatnya serasa geli gemes gimanaaaa gitu

:D

for anything more, go to this link : www.camilleallen.com

Sabtu, 15 September 2007

Menikah Muda Part 2 : Newlywed Yang Menggetarkan Hati


Ini lanjutan dari cerita hidupku (cie). Mudah-mudahan mengandung hikmah untuk diambil semua...

 

Menikah Muda Part 1 dapat dibaca disini :D

 

Tak bisa kupungkiri, masa-masa newlywed benar-benar yang terindah, dan menjadi masa “pacaran” kita yang benar-benar menggetarkan hati.

 

Banyak kejadian lucu mengingat walaupun aku punya banyak teman cowo, tetapi jelas sekali pengalamanku menghadapi laki-laki sebelumnya hanyalah sebatas perlakuan sebagai teman, tidak melibatkan tetek bengek keintiman (apalagi erotisme) khas suami-istri. Ini juga yang menjadi olok-olok seru sahabat2 cewekku, karena aku yang dikenal paling lugu urusan cowo, eh kok ternyata paling dulu menikah. Seorang sahabat mengingatkan lagi kejadian lucu di bangku kelas 2 SMP ketika guru pelajaran agama kami menjelaskan bahwa tanda seorang laki-laki baligh adalah mengalami “mimpi indah”, dan dengan lugunya, didepan teman2 yang lain aku tanya ke salah satu temen cowokku waktu itu “eh, kalo mimpi indah itu kamu jadi apa? Superman atau Batman?” :D Puas aku diketawain seisi kelas waktu itu.

 

Pernikahan “dini” ku tak urung cukup membuat geger teman2, apalagi teman2 SMA yang tidak pernah melihatku “dekat” dengan cowo manapun selama masa sekolah. Banyak juga saudara dan teman orangtua yang mempertanyakan, tak sedikit yang memprotes, bahkan banyak pula yang curiga kalau aku menikah karena telah hamil. Yah, nggak heran, mengingat latar belakang pendidikan dan sebagainya, keputusan menikah begitu lulus SMA memang layak dianggap aneh waktu itu.

 

Masa-masa indah newlywed masih berlanjut beberapa bulan kemudian, ketika kami diberi kesempatan untuk pergi menunaikan ibadah haji berdua. ONH-nya hadiah pernikahan dari orangtua. Bagi banyak orang (termasuk bpk2/ibu2 teman serombongan haji) adalah hal yang sangat seru melihat kita pasangan remaja yang baru menikah, dan (mereka menyebutnya) berbulan madu di tanah suci. Bagi kami sendiri, dibanding acara bulan madu, tanpa diduga perjalanan haji kami waktu itu lebih mirip sekolah, ajang training, semacam pendidikan dan pelajaran khusus bagi perjalanan rumah tangga kami nantinya.

 

Kejadian2 “ajaib” yang banyak hanya kami dengar terjadi ketika seseorang berada di tanah suci dan masih sulit untuk kupercaya, ternyata banyak sekali kami lihat dan alami  dan hampir semuanya bertema “suami-istri”. Dari sepasang suami-istri yang suka sekali bertengkar sampai-sampai jatuh talak di kamar pondokan (bayangkan, mereka sedang berhaji!), seorang istri yang suka melawan suaminya dan akhirnya sempat hilang selama 3 hari gara-gara tidak menuruti kata-kata suaminya, sampai dengan romantisme pasangan manula yang sangat kompak dan kelihatan masih sangat menggairahkan bagi satu sama lain, semua menjadi pelajaran berharga buat kami yang waktu itu baru saja memasuki gerbang pernikahan. Banyak tauladan yang kita lihat, untuk dicontoh dan juga dihindari. Sering sekali setelah menyaksikan suatu kejadian, kontan kita berdua saling berpandangan penuh arti, dan serta merta dalam hati berjanji untuk tak henti memantapkan niat dan tekad karena Allah SWT, dalam mengarungi bahtera kami berdua nantinya.

 

Pernah suatu kali kita sedang mengobrol santai membahas pekerjaan si mas yang masih serabutan, dan berandai-andai sekaligus merencanakan tentang nasib ekonomi keluarga kecil yang baru kami bangun ini. Obrolan ringan dan santai, penuh khayalan khas pasangan muda (ciee hehe). Seperti, bagaimana nikmatnya kalau suatu hari nanti kita bisa membeli rumah sendiri, saat itu malah kami sedikit eyel2an karena mas mengungkapkan keinginannya untuk membangun rumah yang ada menaranya (kaya masjid), dan saya menganggap itu sangat konyol :D. Saat itu hampir ashar di pelataran masjidil haram ketika kami sampai pada kesimpulan betapa khayalnya kami, mengingat pekerjaan mas pun masih serabutan. Pekerjaan-pekerjaan khas mahasiswa gitulah... :D.

 

Tiba-tiba, ada seorang Bapak yang mengaku jamaah haji dari sebuah daerah di Madura mendekat. Sama dengan hampir semua orang, dia berkomentar sangat mendukung dengan pernikahan kami. Dengan bijak dia menasihati bahwa urusan rezeki, semua Allah yang mengatur, dan ketika manusia sudah menggenapkan separuh agamanya dengan menikah, Allah berjanji akan mencukupkan apapun kebutuhan. (Bingung juga, apa dia memang menguping obrolan kami ya? Perasaan, nggak ada orang didekat2 kami sebelumnya...). Tak lama kemudian dia menunjuk ke suatu arah, dan dia pun mulai bercerita tentang Biir Zam-Zam, titik dimana air zam-zam dulunya pertama kali memancar. Tak banyak jamaah yang tahu keberadaan sepetak lingkaran marmer bertanda khusus diantara pintu masuk sumur zam-zam dan Ka’bah itu. Si Bapak ini kemudian memberikan secarik kertas berisi lafal do’a dan menyuruh kita berdua untuk membaca do’a ini diatas tanda Biir Zam-Zam ketika selesai kami tawaf. Kami masih persis ingat betul pesannya, “Panjatkanlah do’a ini kepada Allah di tanda Biir Zam-Zam itu. InsyaAlloh, biar kata kamu nanti cuma jualan PAKU sekalipun, orang-orang yang membelinya akan merasa membeli emas...”. Ketika kami masih mencoba membaca tulisan di secarik kertas itu, si Bapak pun sudah pergi menghilang entah kemana, tanpa kami pun mengetahui sekedar siapa namanya.

 

Saat itu, bahkan ketika kami memanjatkan doa seperti yang dinasihatkan si Bapak itu, tentu saja sama sekali tidak ada satupun dari kami yang tahu atau mengira, bahwa sampai detik ini pun, nafkah yang kita dapat untuk hidup keluarga kita adalah hasil dari usaha suami yang distributor PAKU!!

 

Termasuk didalamnya, satu kejadian “ajaib” terjadi pada kami berdua melibatkan sesosok wajah bercahaya berbaju jubah putih yang “misterius”. Suatu siang yang terik kami berdua mengalami hari yang sial (belakangan kita setuju hari itu bukanlah hari sial, malah sebaliknya). Dengan berjalan kaki dan lupa bawa dompet (sehingga kehabisan uang setelah sekedar uang yang kami bawa di kantong habis), kami tersesat di sebuah jalan sepi ditengah padang pasir. Ini agak mengherankan karena biasanya suami sangat teliti mengingat jalan. Setelah hampir 4 jam berlalu, sudah menjelang malam dan kami belum juga menemukan arah kembali. Jalanan sepi tak meninggalkan banyak orang ataupun bus/taksi yang bisa kami tumpangi. Lapar, lelah, tak ada uang sepeserpun dan sedikit putus asa, suami memutuskan untuk duduk istirahat.

 

Nggak jelas darimana asalnya, tiba-tiba saja si sosok ini menghampiri kami berdua. Kulihat dia membawa tas kresek hitam yang kelihatan penuh. Setelah berkenalan (dia mengaku orang Pakistan yang bekerja di Saudi) dia mendoakan rumah tangga kami dan mengungkapkan betapa gembira dan bersyukurnya dia melihat 2 orang yang masih sangat muda tetapi sudah mau menikah. Tak disangka, diapun menyerahkan kresek hitamnya, “sebagai hadiah” katanya. Diapun berlalu, meninggalkan kami yang melongo saling pandang demi melihat kresek yang penuh dengan buah-buahan, minuman dan roti. Si kresek itulah yang kemudian memberi kami energi untuk berjalan kembali, dan ajaib, tak kurang dari 1 jam kemudian, kita sudah berhasil menemukan jalan pulang.

 

Oya, sebelum menyerahkan kreseknya, sosok berwajah mengagumkan itu membuat kami berjanji membawa pulang 2 nama yang kelak akan kami pakai menjadi nama anak-anak kami. Omar dan Namira. Sepasang nama laki-laki dan perempuan. Sekarang, sepasang anak kamipun sudah menyandang nama titipan itu. Omar Charis Atthabrizi (Abe) dan Namira Bai’atifa Azzahra (Bea). Yang lucu (dan agak ajaib), bertahun kemudian setelah kami tanya sana-sini ke teman yang mengerti Bahasa Arab, ternyata kata-kata Omar merujuk kepada makna “Singa” sedangkan Namira pada makna “Singa Betina”. MasyaAlloh…(ternyata aku melahirkan sepasang “singa” ya… :D)

 

Hal-hal yang dulu kurang kupercaya (karena hanya kudengar dari cerita orang) ternyata memang nyata terjadi didepan mata kepalaku sendiri menimpa kami. Dan bukan hanya yang kutulis disini, masih ada beberapa cerita “ajaib” lainnya (terlalu panjang kalau ditulis semua kayaknya ya...:D). Apapun itu, perjalanan haji kami yang pertama ini sungguh suatu nikmat anugerah Allah SWT yang akan terus terasa nikmat dan hikmahnya sampai kapanpun...

 

Ide menikah muda yang sudah bersarang dibenakku sejak lama bahkan sebelum aku tumbuh remaja, dalam prakteknya ternyata tidak seindah dan semudah yang kubayangkan sebelumnya. Setelah masa newlywed yang menggetarkan hati, dimulailah babak baru dalam pernikahan kami. Babak yang akan paling banyak menunjukkan arti sebuah pernikahan. Sisi baru yang menguji semuanya… penyatuan 2 hati menjadi 1 bahtera kehidupan yang bernama Rumah Tangga.

 

Bagaimana itu? Perasaan postingan ini udah teralu panjang deh... Bersambung dulu aja ya… :D

 

Selasa, 11 September 2007

Taman Safari II Prigen


turis Abe dari Jepang ya..? :D

Tgl. 1-2 September 2007 kebetulan aku ada acara wisata rohani di Hidayatullah Batu bersama walimurid Al-Hikmah lainnya, meninggalkan suami dan anak-anak dirumah (hiks).

Serunya, Sabtu 2 September si bapak mengajak anak-anak jemput ibuk, trus dari Hidayatullah kita meluncur ke Taman Safari II Prigen di Pasuruan....waahhh ternyata memang sudah lama kita nggak kesini yaa..nggak terasa, terakhir kesini Bea masih blum jalan. :D

Abe semangat sekali...Bea agak2 melongo lihat para binatang berkeliaran tepat diluar kaca jendela mobil, dan akhirnya beberapa kali minta peluk takut2-tapi pingin-lihat gitu hihi lucu deh Bea...

Yang paling seru tentu saja Gajah Show !! Nah ini dia beberapa fotonya... :-)

Sabtu, 08 September 2007

Menikah Muda Part 1 : Jawaban dari Do'a Ibunda


Tiap kali dapet kenalan baru dan obrolan sampai ke masalah perkawinan (kapan nikah, udah berapa lama, anak sudah berapa dll), aku selalu berhasil membuat orang lain melongo. Itu setelah mereka tahu kalau 11 tahun yang lalu, aku menikah waktu umur 19 tahun sementara suami 20 tahun. Dan akhirnya berulang-ulang saya harus cerita panjang lebar tentang sejarah pernikahanku. Nah, daripada begitu, mending ditulis aja di blog ya, kalau nanti ada lagi yang tanya, biar langsung aja kusuruh buka blog ini dan baca sendiri huehehehe. Silakan betah2in deh bacanya, cos this will be a loooong story.. :b

 

Kok bisa ??  <======biasanya ini reaksi pertama :D

Bisa dong. Wong sudah cita-cita. Ini semua berawal dari ibuku sendiri. Beliau menikah muda juga (18 tahun) dan dengan berlalunya waktu, dari kecil aku sudah menyadari kalau menikah muda itu banyak asyiknya ya. Waktu aku sudah SMP, ibuku masih “cukup gaul” dan banyak energi untuk anak-anaknya. Maksudnya, generation gap nya nggak terlalu jauh gitu lho hehe. Thus, bukan hal yang rumit juga kalau akhirnya aku pun bercita-cita untuk bisa menikah muda.

 

Enteng jodoh banget ya??

Nah kalo urusan ini jangan tanya aku. Masalah bagaimana aku bisa menemukan jodoh dengan cepat, bagiku juga sama misteriusnya. Semua rahasia Allah. Yang pasti aku sangat bersyukur karena ternyata jalanku sangat dimudahkan. Aku nggak tahu apa ini ada hubungannya atau tidak, tapi sejak aku kecil beranjak abg gitu, ibuku selalu wanti-wanti, katanya kalau mau jodohnya lancar, jangan pernah suka bermain-main dengan cowo. Beliau percaya karma bahwa (misalnya) kalo kita sering ganti2 pacar, biasanya dapetnya suami tidak akan seperti yang diharapkan. Benar atau tidaknya ya aku nggak tahu, kasus per orang kan beda-beda hehe. Aku sih nggak terlalu mau percaya 100 persen sama karma itu. Yang jelas, aku pun memutuskan untuk tidak mau pacaran sebelum lulus SMA (padahal konon banyak yang ngajak tuh ehm ehm..hihihihi ge-er banget ya :D)

Oya, berhubungan dengan masalah ini, seringkali sekarang2 ini aku dicurhati teman2 yang kebetulan masih jomblo. Habis itu biasanya mereka trus tanya, “apa dong resepnya gampang ketemu jodoh?”.....nah kalo sudah gini gantian aku yang pusing jawabnya.... Nggak ada resep!! Yang terjadi di hidupku juga mengalir begitu saja. Kata orang mah jodoh memang urusannya sama nasib. Rahasia Allah.

Yang menarik, belakangan setelah beberapa tahun aku menikah, ibuku mengakui bahwa ada satu doa yang dari dulu kala tak pernah lupa dia panjatkan ke Allah. Doa itu adalah supaya aku (anak cewe satu2nya) dimudahkan jodohnya, diberikan jodoh yang baik, baik dimata Allah dan baik dimata manusia. Beliau bilang, alangkah sengsaranya dia kalau seandainya putrinya harus mendapat suami yang tidak baik, jahat, pemalas, dlsb, rasanya akan percuma membesarkan anak dengan penuh kasih sayang kalau pada akhirnya dia harus menghabiskan sisa hidupnya bersama suami (jodoh) yang tidak baik. Mengharukan ya? Hihi. Sekarang pun, aku mencontoh beliau dan mendoakan yang sama untuk anak-anakku (terutama Bea) :D

 

Gimana proses ketemunya??

Wah, kalo disuruh nulis, kasihan yang baca nanti. Bakal bosan! Kalah deh pokoknya novel2 picisan hueheheh. Yang pasti ya itu tadi, semua serba dimudahkan (masyaAllah)... Padahal pertama-pertama ketemu si mas dulu, sebelnya bukan main karena dia suka sekali mendebat apa saja yang keluar dari mulutku. Apalagi kita pertama ketemu di forum Pesantren Liburan (di daerah Ponorogo, waktu itu aku baru saja naik kelas 3 SMA), jadi sehari-hari dia seperti nggak kehabisan bahan untuk mendebatku...padahal aku paling nggak suka kalo diajak berdebat!

Kuasa Allah juga yang bisa membalik-balikkan hati manusia, diakhir acara pesantren liburan yang cuma selama 2 minggu itu, bukan sebal lagi yang ada di hati ini. Next time I know, about 8 months later, it officially became the first romance for both of us. Hehe..bener deh, bagian yang ini nggak usah ditulis, bisa2 sepanjang satu buku novel sendiri! :D

 

Trus, proses menikahnya??

Sebelumnya, biar kujelaskan dulu model pacaran kita selama aku masih belum lulus SMA (di Tulungagung) dan si mas di Surabaya. Ketemunya sebulan sekali. Hari Minggu pagi jam 8 biasanya dia sudah sampai dirumah (berangkat subuh bo!! hehe). Apa yang langsung dilakukannya begitu sampai dirumahku? Dia bebas pilih, mau duduk sendiri tak berteman di ruang tamu, atau gabung di ruang keluarga dengan aku (plus 2 adik laki2ku yang masih SD dan 2 sepupuku) untuk nonton Doreamon! :D Karena, jangan harap aku mau mengorbankan jadwal nonton Doraemonku untuk nemenin pacar, nggak akan! Hahaha!

Dan percayalah, begitu dia masuk ke ruang keluarga dirumahku (pada Hari Minggu pula), maka sama saja dia harus ngapelin 8 orang sekaligus sepanjang hari (bapakku, ibukku, aku, 2 adikku, nenekku, dan 2 sepupu yang tinggal dirumahku). Mau ajak pergi berdua? Sebelum minta ijinpun dia sudah tahu kalo bapakku nggak akan ngasih. Kalopun bapak ngasih, akunya juga belum tentu mau, jadi si mas ternyata cukup mengerti untuk tidak meminta huehehehehe... what can I say? I was really such a family-homy girl hehe... Ini berlangsung selama sekitar 4 bulan sebelum kemudian aku lulus sekolah (jadi ceritanya, tekad untuk nggak pacaran sebelum lulus SMA gagal tercapai dong...hihihi).

 

Selepas SMA, sudah lama aku mengincar Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran di Bandung. It said to be the best for Clinical and Developmental Faculty of Psychology in Indonesia.

“Wah.. Kita jauhan lagi dong..katanya cita2 mau nikah muda, kok mau kuliah di Bdg lho?” tanya si mas yang waktu itu sudah kuliah Teknik Sipil di UPNV Surabaya.

I was like, suddenly hit by a bus that time....oh iya ya...?

Singkat cerita, setelah beberapa hari istikharah, waktu apply untuk UMPTN pilihan pertamaku adalah Fakultas Psikologi Universitas Airlangga di Surabaya. Banyak teman2 sekolah yang protes, kenapa nggak jadi ke Undip, padahal dari nilai hasil UMPTN kemudiannya, jelas2 aku masuk grade disana. Well, I dunno, it just felt so right for me to do it that time...thats all. Membayangkan kuliah psikologi di Unpad memang seru! Tetapi ketika terbayang lagi cita2 menikah muda yang kayanya sudah didepan mata, dan bahwa untuk itu maka aku harus kuliah di Surabaya saja, I’ll go for it instantly!!

Well, it’s just the matter of priority, right? :D

 

Ada kejadian lucu waktu Ospek di Psikologi Unair. Waktu itu beberapa mhs baru (termasuk aku) dipanggil dosen dan kakak kelas untuk maju kedepan dan ditanya tentang alasan “kenapa memilih kuliah di psikologi?”

“Kepingin menambah percaya diri saya,” jawab seorang teman (oh, Mida, do u read this? Hihi)

“Ingin jadi Psikolog yang hebat,” jawab seorang yang lain

“Maklum, mau masuk ke kedokteran tapi nggak ketrima, jadi pelariannya kesini,” jawab yang lain lagi :D

Waktu giliranku untuk menjawab, dengan polos kubilang “Karena saya bercita-cita jadi Ibu Rumah Tangga..!!” Geerrr...semua jadi ketawa.

Hari itu aku pun puas jadi bahan olok2an senior. “Hari gini...mana ada cowo yang mau sama cewe tradisional kaya kamu, maunya jadi ibu rumah tangga saja??? Nggak pengen maju!! Paling cuma bisa ngabisin duit suamimu!! Bisa-bisa diculik kalangan feminis kamu!!” seru seorang senior. Hehe, maklum lagi masa2 ploncoan...belakangan dia juga ngaku kalau menurutnya cita2ku itu bener2 “original” (ini persisnya kata yang dia pakai)...hehe. Kujawab saja, “Iya mas, dan mudah sekali diwujudkan, tinggal menikah, punya anak, tercapai deh!” :D

 

Sadar bahwa putri satu2nya berada jauh di Surabaya (satu kota dengan si pacar lagi), orangtuaku nggak perlu waktu lama untuk mengingatkanku pada cita2 awal (nikah muda itu tadi :D). Si mas pun, sudah mafhum bahwa nggak akan lama sebelum aku mendesaknya untuk menikahiku (hahahaha ngebet banget sih kesannya?? Abis gimana lagi? Sekarang setelah lulus SMA, nggak ada alasan lagi untuk menunda kan? *alasan.com* hihihi).

Nah...Masalahnya, calon mertua waktu itu belum mafhum karena rupanya si mas tidak pernah mengungkapkan kepada mereka tentang cita2ku ini...(“biarlah kalau sudah mau terjadi, baru aku ngomong” gitu katanya).

Mereka sempat shock begitu si anak laki2 sulung mereka yang masih 20 taun, minta nikah!! Si mas cerita, selama seminggu, beliau2 seperti orang linglung, kesana-kesini minta pendapat orang2 yang dituakan, ustadz dan lain-lain. Alhamdulillah, setelah sampai pada kesimpulan bahwa memang sebaiknya yang namanya menikah itu harus disegerakan, dan melihat keadaan kita yang sudah berhubungan seperti ini menjadikan hukumnya WAJIB untuk segera menikah, maka ijinpun turun...

 

Hari Jumat, 3 Mei 1996 dengan semata-mata ijin dan kuasa Allah SWT juga lah akhirnya kami pun menikah.... Waktu itu, saya masih berumur 19 tahun dan duduk di bangku kuliah semester 2. Sedangkan suami berumur 20 tahun dan semester 4.

 

:-)

 

Yang paling mengharukan adalah selesai akad nikah, ketika sungkem pada ibuku, kita berdua menangis lama....(subhanAlloh...inilah jawaban Allah atas doa2mu, Ibu..)

 

***

(Ingin tahu bagaimana kami menjalani waktu2 pertama pernikahan kami? Membentuk rumah tangga dan keluarga baru di usia yang masih sangat muda tentu sangat beresiko karena emosi yang masih labil. Bagaimana kami harus bergelut dengan masalah finansial dan ekonomi sementara di sisi lain jadwal kuliah, tugas dan praktikum di kampus sedang sibuk2nya? Well...biar nggak capek dan bosan bacanya, tunggu saja di postingan berikutnya ya... ;-) hehehe)