Sabtu, 27 Maret 2010

Tempat-Tempat Mustajabah [Part 1]

Sesuai hukum ‘supply and demand’, tempat-tempat yang mustajabah untuk berdoa di Tanah Suci (entah di Madinah maupun di Makkah) selalu padat disesaki jamaah dari seluruh dunia, setiap waktu. Sekedar satu menit berdoa di tempat itu pun akhirnya menjadi sesuatu yang penuh perjuangan baik mental, emosional maupun fisik. Bahkan pada waktu-waktu yang kita kira akan sepi sekalipun, jamaah tetap sesak (mungkin karena mereka semua mempunyai pikiran yang sama dengan kita, bahwa saat itu mungkin sedang sepi).

Entah apakah ini hanya perasaan kita saja, atau memang nasib para jamaah Indonesia  (atau mungkin Asia Tenggara, terutama yang wanita) selalu agak memilukan ketika harus berjuang memasuki tempat-tempat mustajabah ini. Yang sudah pernah berhaji atau berumroh pasti mafhum bahwa jamaah-jamaah dari bagian Asia yang lain atau benua lain selalu ‘unggul’ kalau sudah berurusan dengan acara ‘berdesakan’. Aku juga nggak tahu sebabnya apa, tetapi seorang wanita Turki yang ukuran tubuhnya jauh lebih kecil daripada akupun, bisa loh berjalan santai, lalu gak sengaja menyenggol aku dari belakang samping ( hanya menyenggol!)  lalu yang terjadi tanpa bisa kucegah adalah : aku terhuyung lumayan keras kedepan. Nggak tahu kenapa, tapi seakan didalam tubuh mereka ada semacam bandul pemberat dari besi yang ikut mengayun kemanapun tubuh mereka bergerak. Itu baru orang-orang yang berpostur lebih kecil dariku, belum yang ukurannya lebih besar, padahal yang lebih besar inilah yang paling banyak jumlahnya. Masha Allah... :-D
Itu masih secara fisik. Secara mental dan emosional, mereka ini (yang sering kulihat sih terutama orang-orang Timur Tengah dan Afrika) mempunyai -mmm...apa ya namanya....?- mempunyai kadar ‘kecuekan’ tersendiri  akan sekitarnya. Mungkin karena faktor perbedaan kebudayaan.
Sebagai contoh saja, ketika berjalan di kerumunan yang padat lalu tanpa sengaja kita menyikut seseorang, maka kita pasti akan sibuk meminta maaf kepada orang yang kita sikut kan? Atau ketika kita terpaksa harus melewati space yang sempit diantara dua orang yang sedang duduk menunggu waktu shalat, maka kita akan sibuk ‘excuse me excuse me’ kepada mereka sambil menundukkan tubuh dan memelankan langkah. Tetapi memang itu mungkin kebudayaan khas negara kita kali ya. Atau paling tidak Asia. Asia tenggara persisnya. Sekali lagi mungkin, ini hanya perkiraanku saja. Buktinya, yang kulihat di masjidil Haram atau Nabawi, orang-orang dari negara lain bisa tuh cuek saja. Mereka bisa tuh berjalan dengan kecepatan biasa, seolah-olah kita semua tidak ada disitu, dan tidak tersenggol. Kalaupun ada disitu, kita mungkin selaksa pagar besi yang bisa jadi pegangan sewaktu-waktu tangan mereka membutuhkan. Sudah nggak terhitung kali kepalaku ini jadi semacam ‘bola pegangan’ orang-orang yang ‘menerombol’ melangkahiku ketika aku sedang duduk tenang, bahkan pernah beberapa kali pas aku sedang dalam keadaan duduk didalam sholat. Atau tersikut, kesenggol dengkul, dan si pelaku lempeng aja berlalu seakan tak terjadi apa-apa.

Dulu sekali, waktu pertamakali aku berkunjung ke Makkah (musim haji 1997) dan mengalami ini semua, waktu itu aku begitu sibuk introspeksi, Ya Allah...dosa apa yang telah kuperbuat sehingga aku harus menerima semua ini. Apa karena aku memang orang yang goyor suka gedubrakan alias biyayakan sering menyenggol sesuatu kalau bergerak sehingga disini akhirnya harus diperlakukan seperti barang-barang yang sering kujatuhkan dan kutumpahkan selama ini?? Hahaha. Lama-kelamaan ketika aku melihat bahwa nyaris semua jemaah mengalami hal ini, akhirnya aku pun berhenti bersuudzon pada Allah... Oh, yaa...ternyata ini bukanlah hukuman untukku. Ini pasti hanyalah perbedaan cara dan kebudayaan. Pantas saja orang-orang luar negeri selalu bilang bahwa orang Indonesia itu ramah-ramah dan sopan-sopan. Disini baru terbukti deh bahwa itu mungkin benar. Hehehe...

Dengan kadar ‘kecuekan’ tingkat tinggi, dan  ‘kekuatan’ badan besi mereka, sekarang bayangkanlah ketika kita, dalam jumlah ratusan bercampur di suatu tempat yang mustajabah tadi....yang luasnya tak akan lebih daripada beberapa puluh meter persegi...

Kalau ada kasus terdesak, maka yang paling banyak merasakan mungkin adalah jamaah-jamaah Indonesia. Terjepit? Itu juga... Suatu kali waktu merangsek kedekat hajar aswad, aku pernah melihat seorang ibu-ibu Indonesia pucat nyaris kehabisan napas, karena terjebak dibawah lengan beberapa jamaah wanita ras Arab. Benar-benar dibawah ketiak mereka karena perbedaan tinggi badan yang lumayan banyak, dan ‘kengototan’ orang-orang itu yang nggak mau sedikitpun mengorbankan jarak ke hajar aswad yang sudah mereka tempuh demi menyelamatkan sang ibu Indonesia yang wajahnya sudah pucat itu. Mereka tetap ngotot walaupun aku dan beberapa orang disitu sudah berteriak-teriak dalam berbagai bahasa (yang kubisa ya mulai dari bahasa isyarat sekenanya, Inggris, Indonesia, bahkan Suroboyoan saking ngerinya aku waktu itu hahaha) untuk menyuruh mereka untuk mundur sedikiiit saja supaya ibu yang sudah selesai mencium hajar aswad ini bisa mendapat jalan keluar. Toh kalau si ibu keluar dari area desak2an, mereka akan mendapat space ekstra kan? Tapi mereka tetap ngotot. Tetap meringsek dengan kepala si ibu makin terjepit diantara ketek mereka. Si Ibu itu akhirnya bisa keluar setelah askar (petugas keamanan) yang berjaga diatas hajar aswad turun tangan.

Banyak contoh lain, dan yang sudah pernah melakukan perjalanan ke tempat-tempat mustajabah seperti roudloh, makam Rasulullah (dulu di Nabawi jamaah wanita bisa mendekat ke makam Rasulullah, tapi sekarang tidak lagi), multazam, mencium hajar aswad, Hijir Ismail pasti paham apa yang kumaksudkan. Apalagi di masa-masa padat jamaah seperti musim haji. Jangankan untuk shalat yang otomatis memerlukan space untuk melakukan sujud, untuk sekedar bersimpuh duduk berdoa beberapa menit pun, kadang memerlukan perjuangan berat baik secara mental, emosional dan (terutama) secara fisik.

Dengan kondisi seperti diatas, itulah kenapa Mas Iwan tidak akan pernah membiarkan kami pergi tanpa bekal sebuah STRATEGI. Apalagi di tempat-tempat yang aku harus pergi sendiri karena adanya pemisahan jenis kelamin ditempat itu. Aku mungkin boleh merasa mempunyai banyak keuntungan karena punya suami yang sudah sejak dulu menggemari teknik-teknik Sun Tzu **hihihi** dan itu memang banyak membantu. Plus, dia sudah lebih sering pergi berhaji dan umrah sebelumnya, dan itu membuat dia semakin kesini semakin banyak pengalamannya. Tetapi ternyata, pengalaman terkadang juga tidak membantu, karena selain peraturan dari pengurus tempat mustajabah itu berubah-ubah tiap tahunnya, juga kondisi di lapangan sendiri terkadang jauh berbeda dari yang kita selalu perkirakan.

Dari tahun ke tahun... Haji ke umrah.... Umrah ke umrah berikutnya... Bahkan sampai ke umrah terakhirku minggu lalu itu... Dalam prakteknya, strategi-strategi yang sudah masak-masak disusun ini, selalu berakhir dengan kisah yang sangat berbeda untukku..... Sama sekali berbeda...

(Bersambung)

Sabtu, 13 Maret 2010

Hari Pembalasan

Pagi tadi sehabis Subuh, sambil melakukan sedikit gerak badan kudengar pengajian Ahad pagi oleh Ustad. Cholil  di masjid depan. Memang nikmat ya tinggal didepan masjid, dengerin pengajian pagi tuh bisa sambil ngapa2in dirumah.

Ada satu poin yang menarik perhatianku tadi. Ustad Cholil menyebutkan sesuatu tentang balasan dari Allah atas perbuatan kita di dunia ini. Semua perbuatan baik akan diganjar dengan pahala dan kebaikan pula dari Allah, itu pasti semua sudah tahu dong. Tetapi, kata Ustad, balasan itu tidak akan kita rasakan di dunia ini.

Kalaupun ada seseorang yang dalam hidupnya selalu berbuat kebaikan (kepada dirinya sendiri maupun orang lain), lalu ternyata hidupnya sendiri penuh dengan kenikmatan (misalnya rezeki cukup bahkan lebih, selalu sehat dan mendapat kedudukan yang mulia dimata manusia lain), maka boleh dibilang itu adalah semacam HADIAH dari Allah saja. Balasan yang sesungguhnya atas semua kebaikan yang dia lakukan itu, akan dia terima nanti ketika di akhirat. Ketika hidup sesudah mati. Ketika hari pembalasan mulai terjadi.

Aku jadi berpikir, bahwa ini masuk akal juga.  Coba lihat di sekitar kita. Terkadang, ada orang-orang yang dalam hidupnya seringkali berbuat kejahatan dan kemaksiatan, tetapi kemudian hidupnya penuh dengan kenikmatan. Dia bukan hanya selalu sehat, tetapi juga kuat. Dia bukan hanya dicukupkan rezekinya tetapi juga berlebih. Dia bukan hanya hidup dengan tenang tapi juga bahagia dan terpandang di masyarakat.

Sementara di sisi lain, banyak orang yang berhati baik dan mulia tetapi hidup dengan perjuangan yang berat. Dia mungkin fakir dan miskin, dia mungkin diterpa penyakit yang tak berkesudahan, hubungannya dengan keluarga dan orang-orang di sekitar mungkin berantakan, dan sebagainya.  Makanya kemudian sering terlontar istilah “DUNIA INI MEMANG TIDAK ADIL”

Bukan hanya berpikir bahwa ini masuk akal, terkadang hal ini juga kurasakan memang terjadi.  Kita memang percaya bahwa kalau kita berbuat kebaikan, maka suatu saat kebaikan itu akan kembali kepada kita. Tetapi yang jelas, itu tidak selalu terjadi di dunia ini. Karena seringkali kebaikan-kebaikan yang kita lakukan kepada orang lain, kembali kepada kita dalam bentuk yang buruk. Kita sudah berniat ingin memperlakukan karyawan dengan sebaik-baiknya misalnya, eh mereka malah mencuri dari kita. Kita sudah bertahun-tahun membina hubungan baik dengan seseorang (entah teman, tetangga, suami, istri, guru, murid, relasi kerja, dan lain-lain), eh mereka ternyata mengkhianati dan mendzolimi kita. Banyak contoh lainnya, dan siapapun pasti pernah merasakan hal ini. Betul nggak?

Yang paling baik memang ketika kita melakukan apapun yang kita niatkan sebagai sebuah kebaikan,  kita lakukan dengan IKHLAS. Tanpa mengharap balasan apalagi balasan di dunia. Dan ini memang sulit sekali, itulah kenapa ilmu ikhlas itu dinilai sebagai salah satu ilmu tertinggi yang sangat sulit untuk dikuasai manusia.  Pasti karena ego kemanusiaan kita yang duduL. Terkadang, kita mungkin merasa sudah berbuat sesuatu kebaikan kepada orang lain tanpa mengharap balasan. Kebaikan itu memang terlupakan oleh kita sedetik kemudian. Tetapi kemudian ketika suatu saat balasan justru datang dari orang tersebut dalam bentuk yang buruk, kita tidak bisa menghentikan datangnya perasaan nelangsa (atau sedih, atau bahkan marah) yang hadir di hati kita. Akhirnya tanpa kita sadari, kebaikan yang tadi sudah kita lupakan, eh hadir lagi di pelupuk mata dan ingatan kita. “Padahah aku dulu sudah seperti itu loh sama dia….tapi kenapa balasannya dia kok seperti ini ya?”

Nahhh….
*nyengir sedih membayangkan malaikat2 yang sudah mencatat amal kebaikan kita, lalu sibuk mencari setip untuk mengkoreksinya kembali*

Hati manusia memang ternyata teramat lemah ya… Padahal Allah sudah menjanjikan adanya hari pembalasan untuk semua kebaikan yang kita lakukan nanti di akhirat, pasti dengan kondisi yang jauh lebih nikmat dan kekal. Tetapi kenapa kita masih saja sibuk mengharapkan balasan atas kebaikan yang kita lakukan ini, di dunia yang fana dan menipu ini…??

Astaghfirullah…

Minggu, 07 Maret 2010

Tentang BULU KETEK

Dari statur facebook ku pagi ini :


Tadi iseng melempar pertanyaan ke anak2...

"Semua yang diciptakan Allah nggak akan sia-sia. Kira-kira untuk apa Allah menciptakan BULU KETEK ya?"

Dan Abe pun menjawab...

"Supaya bulunya bisa dicukur, dikumpulkan, trus dipake untuk bikin kumis palsu!"

*mendadak mual*