Rabu, 29 September 2010

(Inspirational Story) Menjadi Manusia Yang Lebih Bahagia

Cerita ini barusan aku dengar di radio, waktu nyetir sendirian sehabis drop anak-anak sekolah. Topiknya adalah kenapa di jaman sekarang ini, dimana manusia sudah sangat maju dan kehidupan bisa sedemikian sophisticated, tapi justru di sisi lain angka kejadian bunuh diri meningkat dimana-mana. Ternyata semua kemajuan didunia masa kini yang sudah dicapai umat manusia tidak memberikan kebahagiaan buat manusia. Manusia memang makin maju, tetapi mereka dinilai makin tidak bahagia dengan kehidupannya.

 

Jadi konon, tersebutlah seorang laki-laki tua yang sudah menduda. Dia mempunyai 2 orang anak laki-laki yang keduanya sudah berkeluarga. Anak pertama adalah seorang penjual es kelapa muda, dan anak keduanya penjual bajigur.

 

Setiap saat, hidup si kakek ini dipenuhi dengan kekhawatiran. Ketika musim panas, dia selalu sedih memikirkan nasib anak keduanya yang hidup dari menjual bajigur. “Panas-panas begini, mana ada yang akan beli bajigur ya??” Begitu selalu hatinya bertanya-tanya dengan perasaan khawatir.  “Lalu bagaimana anak keduaku akan mendapat uang nafkah kalau dagangannya sepi tak ada yang beli?? Mana kemarin anaknya baru sakit pula, kasihan anakku...”

 

Pun ketika musim dingin tiba, si kakek kembali dipenuhi kekhawatiran akan nasib anak pertamanya yang menjual es kelapa muda. “Dingin-dingin hujan begini, mana ada orang yang beli es kelapa muda ya? Lalu bagaimana anak pertamaku akan mendapatkan nafkah untuk keluarganya?? Padahal ini musim tahun ajaran baru untuk sekolah anak-anaknya. Kasihan sekali anakku itu...”

 

Demikianlah, hidup si kakek dipenuhi dengan kekhawatiran dan ketakutan akan nasib anaknya. Lama-lama, si kakekpun gampang sekali sakit, dan makin lama makin parah, dan menjadi beban tersendiri untuk anak-anaknya. Sampai kemudian dia berobat kepada orang pintar. Si orang pintar ini bertanya pengobatan apa saja yang sudah ditempuh oleh si kakek.

“Sudah segala macam, dari jamu-jamu yang murah sampai obat-obatan mahal. Ada yang menyarankan saya merubah posisi tidur, sudah saya coba, tapi tetap tidak membantu” kata kakek tersebut.

“Yang harus Bapak rubah sebenarnya bukanlah posisi tidur Bapak.” kata si orang pintar. “Yang harus Bapak rubah adalah arah pikiran Bapak!”

“Nah, sekarang saja mengajak Bapak untuk berpikir seperti ini. Di musim panas, pikirkanlah anak Bapak yang menjual es kelapa muda. Betapa akan laris dagangannya. Betapa banyak keuntungan yang dia dapat dari penjualannya di musim panas itu, sehingga mungkin saja dia akan bisa menabung, sehingga mempunyai simpanan yang bisa dipakai disaat musim dingin dan dagangannya menjadi lebih sepi. Betapa menyenangkannya musim panas buat anak bapak dan keluarganya.”

 

“Sedangkan di musim dingin, cobalah Bapak memikirkan betapa larisnya dagangan bajigur anak kedua Bapak. Betapa akan larisnya usaha jualannya, dan betapa musim dingin adalah musim yang menyenangkan buat bapak, anak bapak dan kelularganya.”

 

Si kakek kemudian mencoba menerapkan saran orang pintar itu, dan berangsur-angsur si Bapak menjadi orang yang bersyukur dan selalu berbahagia di musim apapun sepanjang tahun. Diapun kemudian menjadi jauh lebih sehat dan senantiasa bahagia.

Moral cerita jelas. Sebenarnya, ada banyak sekali sumber-sumber kebahagiaan yang bisa kita syukuri dari keseharian kita. Menjadikan kita manusia yang lebih bahagia, dan karenanya bisa berpikir lebih positif.

Tadi pagi, saat sarapan dirumahku sempat ribut karena urusan telur. Bikin puyeng karena urusan sesepele itu, anak-anak ribut eyel2an. Kebetulan mereka sarapan dengan menu nasi telur-keju. Si Bea mempertengkarkan kenapa kuning-telur di piring Abe lebih banyak daripada kuning-telur di piringnya. Padahal Bea suka kuning telur! Rame deh jadinya, karena Abe tidak mau mengalah dan menukar piringnya. Dan rasanya Ibuk pengen ngomelin si ayam, kenapa mereka tidak bertelur dengan kadar kuning-telur yang sama dan konsisten saja sich!?!?

 

Pertengkaran anak-anak selalu bikin pusing, Tapi ketika mereka semua berangkat sekolah dan aku kembali kerumah yang terasa sepi kosong begini, pertengkaran itu menjadi terasa manis sekarang. Bikin aku senyum-senyum sendiri mengingatnya, punya dua anak yang keduanya hobi ngeyel dan pintar mempertahankan pendapatnya sendiri-sendiri begitu. Dan kalo dipikir-pikir, suasana rumah yang sepi begini memang nggak enak, nggak rame, tapi bagaimanapun, suasana ini membuatku bisa menyediakan waktu ekstra untuk menulis lagi. Bukankah begitu?

 

Jadi, bagaimanapun keadaan Anda hari ini, betapa beratnya Anda rasakan kehidupan Anda sekarang, cari yuk, apa sumber kebahagiaan Anda pagi ini?? Jangan temukan satu, tapi temukan 2, 3 atau lebih dari itu, insyaAllah mudah-mudahan Anda akan menjadi orang yang lebih berbahagia hari ini.

Rabu, 22 September 2010

Hukuman Ataukah Petualangan? (Kisah Anak Jaman Sekarang)

Hemm... Lama juga nggak ngeNOTE ya, mumpung lagi manyun di parkiran nunggu Carrefour buka, ketik bentar ahh...

Barusan, geli juga baca status FB nya Mbak Niar soal Ubay putra bungsunya.

"Ubay cs TK B kmrn disetrap ustadzah krn bercanda melulu wkt doa n sholat,di rmh dia cerita sambil ketawa2...katanya lucu,seru disuruh berdiri lama gayanya macem2 kyk patung. Masyaallah trnyata dia g ngeh kl itu sanksi...efektif g sih...?"

Hihihihi.... Anak-anak jaman sekarang... Kenapa aku geli, karena hal yang sama juga sering terjadi sama anak-anakku sendiri.

Bu Ina, guru Abe di TK bercerita setelah Abe membuat kehebohan. Suatu hari Abe tidak tertib ketika berdoa menjelang pulang sekolahd. Bukannya ikut melafalkan doa, dia malah sibuk ngobrol sendiri. Bukan mengajak ngobrol temannya loh, tapi benar-benar ngobrol sama dirinya sendiri. Abe memang suka sekali melakukannya, bahkan sampai sekarang walaupun sudah kelas 4 SD. Setelah berkali-kali diingatkan dan tidak jua kunjung tertib berdoa, akhirnya Bu Ina mendekati Abe.

"Abe, ada gak ya caranya supaya Abe bisa berhenti ngobrol sebentaaaaaar saja, lalu ikut berdoa? Kan sekarang bukan waktrunya mengobrol sendiri?", tanya Bu Ina dengan sabar.

"Ada! Mulutnya Abe ditutup pake selotip saja Bu Ina!", jawab Abe (herannya) dengan antusias! Bu Ina sempat kaget dong, tapi Abe meyakinkan bahwa itu ide bagus dan kemudian dengan berat hati campur khawatir campur entah perasaan apalagi, Bu Ina pun akhirnya menemani Abe ke tempat peralatan.

Tebak apa yang Abe lakukan? Bukannya memilih selotip, Abe malah memilih LAKBAN warna hitam untuk menutup mulut mungilnya.
Aku yang sedang mengobrol dengan ibu-ibu walimurid lain di teras sambil nunggu anak-anak pulang, tiba-tiba saja sudah mendengar kehebohan yang diciptakan semua ibu-ibu, embak dan suster pengasuh, juga guru-guru dan anak-anak lain yang ada disitu. Semua mata terarah ke depan kelas Abe, dan banyak reaksi terdengar demi melihat Abe berdiri disitu, dengan LAKBAN HITAM tertempel di mulutnya! Mulut yang walaupun tertutup lakban sampai pipi, tapi masih kelihatan TERSENYUM.

"Abe kenapa itu mbaakkkk??", orang-orang terutama teman-teman walimurid pada memekik.

Bu Ina, yang berdiri disamping Abe buru-buru menghampiriku dan menjelaskan semuanya. Bahwa ini semua ide Abe sendiri. Bahwa dia juga nggak yakin waktu memutuskan menuruti Abe tadi. Dan aku segera menyadari bahwa pekikan orang-orang tadi berubah menjadi ketawa apalagi begitu melihat ekspresi Abe.

Senyum-senyum sendiri dibalik lakban...loncat2 kegirangan....sorot mata antusias dan bahasa tubuh yang seolah meneriakkan "Ibuuuukkk! Ideku bagus kan??seru kan??wowww ada lakban di mulutku Buukkk!! Ibuk Lihat dehhh!!"

Acara berdoa yang diharapkan tenang setelah Abe berhenti mengobrol di kelas tadi, nggak tau deh gimana nasibnya kemudian... *ngikik campur hela napas*

Kelas 1SD, lebih seru lagi. Gedung sekolah SD jauh lebih besar dari TK dong. Banyak yang bisa dilakukan dan dieksplorasi disana. Minggu-minggu pertama sekolah, Ust. Bambang dan Ust. Imam kudu ikut bereksplorasi kesana-kesini karena di banyak jam pelajaran, Abe menghilang dari kelas. Atau tidak kembali ke kelas tepat pada waktunya. Telat 10 menit, 15 menit.....20 menit sih sudah lebih dari cukup.

Ustad pun terpaksa safari keliling sekolah untuk mencari Abe yang kemudian diketemukan di tempat-tempat yang "seru dan biasanya di bagian pojok lingkungan sekolah" bersama beberapa temannya. Di parkiran. motor, kebun sekolah, tapi kebanyakan biasanya mereka ditemukan diatas rumah pohon.

Hebatnya rumah pohon yang berada tepat dibelakang barisan ruang kelas 1 SD Al Hikmah itu, adalah dari situ anak-anak bisa melihat banyak pemandangan. Suatu kali, si Pasya (salah satu teman Abe) menemukan bahwa dari situ ternyata bisa sedikit melihat kamar mandi siswa perempuan. Hebohlah anak-anak itu!

Dan ketika Ustad menemukan mereka, dari lima atau enam anak yang ada dirumah pohon, kebetulan yang dua orang sudah turun, termasuk Abe, sedang yang lain masih asyik cekikikan sambil perhatiannya terarah ke kamar mandi cewek (yang notabene katanya juga lagi kosong, tapi anak-anak cowo ini nggak tau kenapa kok ya cekikikan).

Anak-anak yang ketika tertangkap basah masih ada diatas, kemudian diajak ustad untuk masuk ruang "time-out". Sebenarnya tak ada yang istimewa dari ruangan ini, kecuali tertutup (aku lupa apakah memang tidak ada jendela atau jendelanya tak pernah dibuka). Yang jelas itu memang ruang "time-out", jadi memang didesain membosankan pastinya. Cuma ada meja dan bangku disitu, biasanya juga tidak dipakai wakaupun selalu terlkihat bersih.

Yang membuat ruangan itu istimewa adalah ekspresi teman-temannya Abe ketika kemudian diijinkan keluar dan kembali ke kelas masing-masing. Sesampai di kelas, heboh mereka bercerita kepada teman yang lain. Heboh layaknya orang yang baru pulang dari sebuah petualangan yang seru.

"Kita tadi masuk di ruangan keren lohh!", dengan mata dan ekspresi antusias.

"Iya, mirip penjara rekk!" Gambaran yang lebay tentunya dari anak-anak itu, karena aku tahu persis ruangan yang dimaksud dan tak sedikitpun mengandung unsur "penjara".

Dan ketika dirumah Abe selesai bercerita betapa teman-temannya sangat seru bermain tawan-tawanan di ruangan itu, dia pun bertanya.

"Buk, kenapa tadi aku nggak ikut dimasukkan ke ruangan penjara itu ya Buk?".....ahh nada irinya kelihatan banget...

"Mungkin karena tadi Abe kan tidak ikut mengintip kamar mandi perempuan kan?"

Abe yang masih kelas 1 SD berpikir sejenak....

"Jadi kalau Abe kepingin masuk ke ruang penjara, Abe kudu ikut mengintip kamar mandi anak perempuan ya...?"

Sumpah, sekarang aku sudah bener-bener lupa waktu itu menjawab apa ke dia!

Dan jangan mengira itu hanya terjadi di sekolah saja. Dirumah pun tak jauh beda. Intinya, ketika aku terpaksa memberikan konsekuensi tertentu atas perilaku yang kurang baik, maka konsekuensi itu bukan hanya diterima dengan 'besar hati' tetapi malah dengan 'senang hati'. Aku hanya bisa tertawa dalam hati melihatnya, sambil menahan berjuta rasa, hihihi.

***

Itulah...

Bahasa anak-anak memang beda dengan orang dewasa. Semua pasti menyadari itu. Yang mungkin jarang disadari oleh kita para orang dewasa yang mengaku sudah mengerti asam garam kehidupan ini adalah, bahwa justru kitalah yang harus belajar banyak dari anak-anak.

Kita yang dewasa justru sudah banyak terkotori dan tertipu banyak hal yang ada di dunia ini. Dan idola kita seorang manusia secerdas Ali bin Abi Thalib pun mengatakan bahwa segala sesuatu yang didunia adalah palsu dan menipu. Jadi kalau kita ingin belajar dari jenis manusia yang masih belum banyak "terlena dan tertipu", salah satunya adalah anak-anak ini. Mereka berhati lebih bening, tak ada prasangka, bahkan ketika orang dewasa berniat memberikan sanksi pun, mereka malah menyambutnya sebagai tawaran atas sebuah petualangan yang seru dan menyenangkan! Wkwkwkwk.

Tul nggak sih? :D

Oya, bicara soal beda bahasa, selama ini dirumah kami ada satu bahasa yang sama sih. Yang sama-sama dipahami dan dimengerti baik oleh orangtua (aku-suami) maupun anak-anak (Abe-Bea). Bahasa itu adalah : Kalau sampai Ibuk sudah DIAM tak bicara, maka itu berarti Ibuk memang benar-benar sedang MARAH. Dan itu adalah konsekuensi dan sanksi yang paling MENYIKSA buat Abe dan Bea, dan karenanya menjadi EFEKTIF.

:D

Tapi yah... Semoga saja konsekuensi itu tetap jarang kuterapkan ya, karena kalau terlalu sering diterapkan takutnya tidak akan efektif lagi. Dan kalau sudah begitu, pasti akan sangat SULIT menemukan bentuk2 sanksi yang efektif buat anak-anak jaman sekarang yang gemar "berpetualang" ini. Huehehehe...



***