Jumat 29 April 2011 kemarin, pagi-pagi aku sempat bertekad untuk tidak mewek hari itu. Bukan hanya hari itu sih, akhir-akhir ini dengan gagah beraninya aku memang sering bertekad untuk menjadi manusia yang tidak mewekan lagi. Aku ingin mewekku hanya untuk dan karena urusanku dengan Allah saja. Aku tidak ingin mewekan lagi, kalau hanya urusan sepele semisal karena nonton film, atau kejadian yang sama sekali tidak serius sebenarnya. Sebenarnya...
Jumat kemarin itu, pagi-pagi aku sudah gagal total. Ketika meninggalkan acara sarapan bersama teman-teman yang ternyata sudah menyiapkan surprise berupa telur dan tepung yang kemudian sukses mendarat di kepalaku, pipiku sudah hangat oleh airmata haru. Yah paling tidak, selama berada bersama mereka, aku sudah berhasil menahan sesaknya haru yang sebenarnya sudah bergemuruh lama.
Lalu siangnya, Mas Iwan mengajak nonton. Filmnya berjudul The Company Man. Gagah ya judulnya, tapi lihat siapa yang menjelang film berakhir terisak-isak sambil pura-pura memeluk lengan suami disebelahnya padahal karena bermaksud menorehkan lengan baju suami ke matanya yang mengucur basah? (Ya, keluar nonton dengan lengan baju basah adalah salah satu “kekerasan dalam rumah tangga” yang selalu dengan sabar diterima Mas Iwan, karena aku nggak pernah membawa tisu wkwkwkwk)
Kenapa pasal aku mewek? Di film itu aku melihat efek dukungan seorang istri untuk suaminya. Ceritanya ada 3 laki-laki professional dengan background yang berbeda sama-sama menghadapi PHK mendadak. Dan akhir krisis yang mereka tempuh ternyata sangat berbeda-beda. Salah satu malah berakhir dengan bunuh diri. Yang paling bisa survive dari masa krisis ternyata adalah yang mempunyai istri paling suportif diantara yang lain.
Allah pasti tahu aku sedang perlu nonton ini. Beberapa bulan ini aku sungguh sudah menjadi istri pengeluh yang sangat menjengkelkan bahkan untuk diriku sendiri. Mas Iwan memutuskan untuk memulai unit usaha baru dan karena ini sudah unit usahanya yang kesekian kalinya, aku sudah hapal apa artinya. Masa-masa yang lebih sepi dan berat. Dia akan lebih jarang berada dirumah, kami jadi lebih jarang kencan berdua, segala macam ketegangan kerja yang membuat sisi lucunya berkurang. Semua itu. Bukannya aku merasa tidak sanggup, tapi rasanya aku belum merasa puas menikmati masa-masa tenang ketika usaha sebelumnya yang dimulai 2 tahun lalu itu, sudah mulai berjalan dengan baik. Aku nggak menyangka Mas Iwan akan memulai yang baru lagi secepat ini. Film itu, asli menyuntikkan insight baru kedalam diriku. Insight yang serta merta menembakkan pelurunya ke sisi pengeluh dalam diriku, dan aku berhasil melihat semuanya secara berbeda. Aku memang mewek, tapi paling nggak aku sudah tidak sepengeluh sebelumnya. Mudah2an aku tidak mengeluh lagi, syukur-syukur bisa mulai mensyukuri dan menikmati hal ini sebagai sebuah tantangan dari Allah. Aaminn.
Malamnya, ketika “me time” datang aku akhirnya bisa browsing di internet dan catching-up with the world’s biggest news that day : Prince William and Kate Middleton dalam “Royal Wedding” Abad ini. Sambil memantau LIVE di TV, Facebook dan Twitter, bisa kurasakan semua orang sibuk membicarakan acara pernikahannya sampai detil. Dari baju pengantin, baju para tamu, topi-topi lucu sampai dengan siapa perancang-perancangnya. Well, aku nggak bisa pura-pura bersemangat (walau aku menikmati pemandangannya) karena aku sama sekali bukan fashionista. Maka hal yang paling adil adalah menyimpan pendapatku tentang baju2 dan topi2 itu tetap berada di dalam hatiku saja, huehehehe.
Semakin malam (ketika liputan LIVE di TV selesai dan di Twitter gantian seru membahas ciuman penganin di balkon itu), didepan internet aku malah semakin tenggelam dalam topik Lady Diana. Tanpa bisa kubendung aku akhirnya kembali menyusuri cerita kehidupan Lady Di, dari kenaifannya ketika memasuki pernikahan dengan Prince Charles, perjalanan pernikahannya yang (asli) sangat menyedihkan kurasakan, sampai dengan carut marut kecelakaan di De’Alma Tunnel yang menewaskannya tahun 1997 lalu.
Suasana kesedihan yang ditimbulkan oleh wajah William dan Harry di pemakaman Ibunya (oh my...siapa yang bisa tahan membaca kata “Mummy” yang ditulis kedua anak itu dan diletakkan disamping karangan bunga lily diatas peti jenazah ibunya) bercampur baur dengan hingar-bingar pernikahan William. Tiba-tiba aku berhenti di depan foto Lady Diana, bertiga dengan William dan Harry yang masih bocah. Bukan foto resmi mereka sebagai keluarga kerajaan, tapi foto ketika mereka bertiga berpelukan secara “normal” layaknya ibu dan kedua anak yang sangat dicintainya.
Yah....aku akhirnya mewek lagi deh...
Sebagai seorang ibu, mungkin seperti ibu-ibu yang lain, aku juga pernah dihinggapi pertanyaan soal umur. Apakah kelak aku masih hidup untuk menyaksikan anak-anakku tumbuh dewasa? Dan saat mereka menikah nanti?
Membaca bahwa Kate Middleton sangat amat mengidolakan Diana - mendiang ibu mertuanya - walaupun mereka belum pernah bertemu, membuat mewekku makin kencang. Saat membaca bahwa nanti setelah menikah dan punya anak pasangan itu menginginkan tinggal di Kensington Palace (kediaman Diana ketika membesarkan anak-anak, dan ketika dia telah bercerai dengan Charles), mewekku semakin menjadi. Konon, William memutuskan ingin tinggal disitu, karena di tempat itulah dia melewatkan masa-masa paling bahagia dalam hidupnya. Yaitu masa kecilnya bersama ibunda tercinta Diana, yang konon akan melakukan apa saja supaya anak-anaknya bisa tumbuh secara “normal dan spontan, khas dunia kanak-kanak” ditengah kekakuan dan dinginnya budaya dan protokoler kerajaan. Sikap yang konon sering membuat Diana mendapatkan masalah itu, ternyata terekam kuat dalam ingatan William sebagai “masa-masa terindah dalam hidupnya” bahkan setelah 14 tahun kematian ibunya.
Nah.. Siapapun Anda pembaca yang seorang Ibu, pasti merasakan apa yang kurasakan saat itu. Maka lihatlah aku, Anda akan melihat sosok seorang Ibu yang teramat biasa, yang sekarang berumur 34 tahun tahun. Sama sekali bukan Diana, tetapi yang terinspirasi oleh Diana dan sekarang makin semangat berusaha menghitung detik mengukir kenangan seindah-indahnya didalam memori anak-anak mumpung Allah masih memberiku umur dan kesempatan. Dan soal rencana mengurangi hobi mewek itu, ahhh kelihatannya harus menjadi rencana jangka panjang....panjaaaaaang sekali....
Btw, jadi inget, dua hari lagi itu ulangtahun pernikahanku yang ke 15 tahun loh.....ihiks....**SROOOT**
Wahida::..
Sidoarjo, 1 Mei 2011