Inilah jadinya cerita kencan ultah pernikahan kami yang ke-12 di Makkah.
Rencananya, Sabtu malam Minggu itu, 3 Mei 2008, kami ingin menghabiskan waktu berdua di Masjidil Haram. Tak sedikitpun sebelumnya kami menyangka bisa seberuntung ini, berada di kota suci pas pada tanggal itu. Lagipula, sebelumnya ketika di Indonesia pun, ultah pernikahan kami selalu berlalu layaknya hari-hari biasa, tak ada yang berbeda apalagi istimewa. Tapi karena kebetulan jadwal umroh kami berbarengan, kok jadi agak-agak lebih melankolis ya, hehe.
Dalam pikiranku, pasti akan indah sekali bisa bermunajat berdua di depan Ka’bah. Berdoa berdua pastilah akan lebih mantap daripada sendiri. Apalagi yang kami doakan adalah keluarga kecil kami ini. Anak-anak kami, juga ketenangan dan keberkahan untuk rumah tangga kami.
Begitulah, dari pagi Subuh aku sudah dudul terserang haru. Gampang mewek tiap kali memandang baitullah, juga ketika diam-diam menumbukkan pandangan ke suami. Apalagi pagi itu dia banyak bertingkah konyol, tanda kebanyakan energi. Selain itu dia juga banyak becandain aku yang walaupun di Indonesia terbukti paling jarang sakit, ternyata pagi itu sudah mulai bersin-bersin karena terserang flu.
Selepas thawaf sunnah fajar, akhirnya Mas Iwan mengajak ke pharmacy, untuk beli obat biar gejala flu ku tidak menjadi. Dari tadi malamnya, dia sudah ribet “mengiklankan” salah satu merk obat flu di Saudi yang –katanya- tokcer! Di dua kali umroh ramadhan terakhirnya, obat inilah yang menyelamatkan dia dari flu yang berkepanjangan. “Habis minum, trus kamu istirahat, tidur, bangun2 pasti sudah seger lagi deh, hidung sudah plong nggak mampet, dan meriang sudah langsung ilang.”
Seperti lagak seorang dewasa yang menunjukkan isi dunia kepada anak-anak yang baru berjalan, dia pun mengajak aku masuk ke sebuah pharmacy.
Dengan wajah pede dia langsung meminta sebuah merk “Flutab, please!”. Oh jadi ini si obat andalan Mas Iwan itu, begitu pikirku.
Sepanjang sisa perjalanan ke hotel, dia masih nerocos tentang si obat tokcer. “Kamu nanti minum aja 2 tablet”.
Dua? Oh oke, kubaca dosis pemakaian, memang untuk dewasa dosisnya memang 2 tablet sekali minum.
“Mumpung pagi aku minum aja ya Mas, biar nanti bisa panjang tidurnya dan semoga malamnya sudah segar” kataku mengingat lagi rencana “kencan” didepan Ka’bah kami nanti malam.
“O iya!” sahut Mas Iwan setuju.
Duh, suamiku memang kelebihan energi pagi itu. Selepas sarapan, dialah yang membukakan bungkus obatnya, mengambilkan air minumnya, memberikan 2 tablet Flutabnya, dan ketika aku minum, dia dengan serius memperhatikan wajahku. Seperti seorang perawat yang berhadapan dengan pasien kolokan yang perlu dipastikan bahwa obatnya benar-benar ditelan! :-D Beberapa orang di ruang makan sampai ramai menggoda kelakuannya. “Mesrane reekk..!!” Hehe... Sumpah aku malu banget karena di keadaan “normal, biasanya akulah yang suka menggoda kalo ada pasangan yang dudul pamer mesra didepan umum begini... (Pamer mesra?? Halaahh, wong cuma minum obat juga, GR banget, jadi merasa agak eneg deh sama diri sendiri hihihihi). Beberapa yang tahu kalo kami sedang ultah pernikahan hari itu, juga kemudian mengucapkan selamat. Mas Iwan cuma cengar cengir.
Mengikuti ritme Saudi, habis sarapan adalah waktu panjang untuk tidur. Apalagi aku yang habis minum obat gini, langsung saja ambruk di ranjang. Mas Iwan? Dasar kelebihan energi, dia malah pasang TV, nonton bola!! Oalah..gak di rumah, gak di airport, gak di hotel yang dicari kok itu melulu. Kulihat dia ketawa setiap ada gol, karena sang komentator acara TV langsung berteriak “Allaaahhh....!!” :-D
Dhuhur di masjid kulalui dalam keadaan setengah sadar dan tidak. Pengaruh obat pasti, begitu pikirku. Maka habis dhuhur, aku langsung balik ke bantal. Aku bahkan sudah nggak sanggup makan siang.
Menjelang Ashar rasanya juga belum sepenuhnya kembali ke bumi. Tapi aku paksakan melek karena habis Ashar kami selalu melakukan thawaf sunnah sore hari. Siap-siap lebih banyak dilakukan Mas Iwan sementara aku cuma ngaplo duduk di ranjang.
Kamipun berpisah di masjid. Sekarang ini, jamaah wanita tidak diperbolehkan sholat di lantai depan Ka’bah (kemarin aku sempat diusir waktu pertama kali, dan sangat tidak enak karena waktu sholat sudah mau dimulai dan jamaah sudah penuh didalam masjid, aku jadi susah sekali menemukan tempat lain untuk sholat).
Tapi Ya Allah...selama sholat, kenapa kurasakan kepalaku bertambah berat? Pengaruh si obat lama juga ya hilangnya?? Dan pengaruhnya itu, rasanya nggak semakin menghilang, malah semakin bertambah-tambah saja. Sekarang kurasakan ada suara berdengung hebat di kedua telingaku. Rakaat terakhir, si jantung rasanya ikut bersuara, berdebam-debam semakin hebat, rasanya seluruh jamaah di Masjidil Haram akan bisa mendengarnya. Ada rasa pahit yang menyergap di ujung kerongkongan ketika rasa mual datang bergabung, menyebabkan rasanya bumi Saudi berputar dengan kecepatan yang berlipat-lipat dari seharusnya.
MasyaAllah, walaupun dalam keadaan begitu, aku langsung bisa menyadari bahwa aku sedang OVERDOSIS..!!
Langsung kutelpon Mas Iwan. Perjalanan dari masjid menuju hotel menjadi perjuangan yang luar biasa bagiku. Mas Iwan nyaris memapahku karena pemandangan yang bisa masuk ke otakku hanya blur...blur...blur... Suara yang memenuhi telingaku juga cuma nguing...nguing...nguing... Dan kurasakan didalam diriku berdentam seribu tambur yang bersahutan. Terakhir yang kuingat adalah Mas Iwan membuka pintu kamar hotel, dan kemudian rasanya aku meluncur kedalam tempat yang dalam dan gelap...
Kemudian, beratus tahun kemudian, kurasakan ada tangan menarikku dari tempat gelap itu. Hanya sayup-sayup suaranya “Sholat Maghrib dulu Nduk..” Rasanya aku menjawab sesuatu, tapi tak bisa kudengarkan suaraku sendiri. Kurasakan anggota tubuhku bergerak sendiri (atau digerakkan, aku tak yakin), terasa ada air membasuh. Kemudian gambar sajadah dan wajah Mas Iwan melintas bergantian. Wutt...wuutt... Kupaksa diriku sekuat tenaga untuk melakukan gerakan sholat dengan sadar, sambil duduk. Sehabis itu aku meracau penuh penyesalan ke Mas Iwan karena kami sholat dikamar hotel (bukan di masjid). Mas Iwan cuma menjawab “Sudahlah...” Atau sebenarnya lebih dari itu tapi aku sudah tak dengar lagi?? Karena tempat gelap itu sudah menyedotku lagi dengan kejamnya.
Selesai sholat Isya, sekuat tenaga aku coba berteriak, meratapi rencana kencan berdua kami di Baitullah. Ya Allah, kenapa jadi begini kejadiannya?? Bahkan Mas Iwan pun harus menghabiskan waktu di kamar hotel. Kulihat sekilas, di TV sedang tertayang channel Bloomberg. Dengan panik kuusir dia agar pergi saja ke masjid, tapi bahkan pikiranku yang sedang lemot pun tahu itu ide yang buruk. Meninggalkan istri sendirian di kamar hotel di negeri orang dalam keadaan overdosis obat flu, sungguh tidak cocok dengan kepribadian Mas Iwan tentu saja!
Ya Allah, Astaghfirullah.... Aku tenggelam dalam tangis di tempat gelapku. Ampuni aku Ya Allah, kalau dalam hidupku, aku seringkali terlalu ngotot berencana. Seringkali lupa bahwa aku hanyalah manusia. Hanya boleh berencana. Hanya bisa berusaha untuk kemudian mencoba untuk ikhlas. Seringkali lupa bahwa Kau-lah yang akan mengatur semuanya. S-e-m-u-a-n-y-a...
Baru setelah itu kurasakan tubuhku semakin dalam dan lemas meluncur, dan semakin gelap dunia... Tapi saat itu, aku sudah benar-benar yakin, bahkan di tempat paling tersembunyi dan paling gelap sekalipun, bahkan ketika kita hanya ditemani kesendirian, Allah masih akan mendengar doa manusia...
(Ya Allah... Untuk anak-anak kami... juga ketenangan dan keberkahan untuk rumah tangga kami...)
:::::.....
Aku mulai sadar mungkin sekitar 2 jam sebelum adzan Subuh. Yang pertama kulihat adalah wajah Mas Iwan yang kucel, tanda tak tidur semalaman. Dan rautnya yang panik khawatir ketika terus-terusan menanyakan keadaanku, saat itu membuatku lebih nelangsa lagi. Rasanya aku tak berani terharu, takut nggak kuat menanggung banyaknya rasa itu.
Lalu Mas Iwan cerita. Sepanjang malam, dalam tidur aku meracau tanpa henti. Kemudian menggigil seperti orang yang kedinginan, juga tanpa henti. Gigiku sampai bergemeretak dan sekali waktu kejang seperti kesakitan. Satu-satunya yang bisa membuatnya tetap bisa menarik napas adalah denyut nadiku yang katanya masih normal. Dengan dudul Mas Iwan mengaku sangat merasa ketakutan sepanjang malam. Beberapa kali hampir saja dia nekad mengangkatku keluar untuk meminta pertolongan, entah ke UGD atau apalah. Tapi kemudian aku jatuh tertidur dengan tenang, sehingga dia takut membangunkan aku.
Sepanjang malam Mas Iwan sama sekali tak tidur. Hampir sepanjang waktu itu, dia berada disampingku, memegang pergelangan tanganku untuk memastikan denyutnya masih stabil, menyelimutiku dengan khawatir ketika aku menggigil dan memeluk tubuhku ketika aku mengejang seperti kesakitan. Mas Iwan kemudian sibuk menyalahkan dirinya dan minta maaf karena ide minum obat sekaligus 2 tablet itu. Aku? Lebih sibuk lagi menyalahkan diriku sendiri atas banyak hal. Bagaimana aku dudul tak berpikir padahal selama ini tahu benar kondisi tubuh yang nggak kuat dosis tinggi (di Indonesia aku selalu minum dosis paling ringan, dan entahlah apa yang buatku berpikir bahwa obat di Saudi akan berbeda??). Bagaimana aku akhirnya membuat Mas Iwan kehilangan waktu beribadah di Masjid karena harus menungguiku di kamar sepanjang malam. Bagaimana aku menjadi begitu merepotkan...hikss.. hikss.. :-((
MasyaAllah...
Malam itu, tepat di ultah pernikahan kami yang ke-12 itu, Allah benar-benar dengan jelas menunjukkan kepadaku, jodoh seperti apa yang telah Dia pilihkan untukku...
Subhanalloh...
Rasanya aku tak bisa mengharap akan mendapatkan malam (atau kencan) yang lebih baik lagi dari ini kan...? ^__^
:::::.....
Hari berikutnya kami sudah bisa membuat lelucon dari kejadian malam itu. Beberapa teman umroh kami juga geleng-geleng mengetahui aku overdosis. Malah ada yang dudul mengira kami berdua memang sengaja mengurung diri di hotel semalaman untuk “second honeymoon”, dan karena itulah nggak ada yang berani ganggu atau menelpon ketika kami berdua tak turun untuk makan malam. Oalah... dudul... hueheheh
Lha iya...wong biasanya obat Indonesia aja aku pilih yang dosis ringan, lha ini obat dosis unta kok beraninya minum 2 sekaligus gitu lhoooooo...??? :-D