Bulatkan tekad, jangan sampai senasib dengan cerita2 sinetron itu, insyaAlloh postingan ini nggak akan lebih banyak episodenya dari serial Harry Potter deh. Hehe...
Selain itu, terus terang ada alasan emosional yang tak bisa kuhindari, sangat menggelitik hatiku. Seorang teman, Mbak Lily, tempo hari dengan “kejam”nya sudah membuat pengakuan dudul “Saya menyimpan banyak komentar untuk mbak Wahida, tapi biarlah saya simpan dulu sampai ceritanya tamat”.
Duhhh...terus terang aku bukanlah orang yang begitu terobsesi dengan apa komentar orang terhadap apapun dari diriku. Tentu saja bukan juga lalu aku cuek dengan apa kata orang (apalagi kalau itu berisi pelajaran dan dukungan tentu saja).
Tapi please....ini mbak Lily gitu loh..!! :D
Even though we only met online, but ever since, diam-diam she’s been more like a mentor to me. I got so many lessons from her, her personality, her strenght (specially after her Aceh’s tsunami tragedy that swept almost all of her family away), the way he’s doing with the kids (all the way!), her wisdom, everything! She’s practically one of my idol! :D
Jadi maklum
So here we go... Cerita sebelumnya bisa dilihat di Menikah Muda Part 1, Part 2, Part 3 dan Part 4
*****
Sehabis keguguran, sebenarnya aku bisa mengatasi perasaanku dengan cukup baik. Umurku masih 20 tahun waktu itu. Mas Iwan juga baru 21 tahun. Akan masih panjang kesempatan untuk kami berdua. Bahkan, setelah beberapa bulan berlalu, aku mulai menemukan hikmah dari semuanya. Rahasia Allah yang ternyata memang untuk kebaikan semua (termasuk PASTI untuk “The First” kami tentunya).
Ritme kerja mas semakin menggila. Waktu yang kami habiskan berdua sangatlah sedikit. Waktu itu, dia sudah mulai merintis usaha berdagang paku. Tanpa modal, tentu saja harus dengan sistem “makelar”, membeli barang dengan bayar kredit selama 3 minggu untuk kemudian dijual kontan atau 2 minggu.
Dibantu satu orang teman kuliahnya, mas pun melakukan semuanya sendiri. Mengambil dan mengantarkan barang berupa paku, mur, baut, kunci pas, obeng, dll yang cuma beberapa dos sehari (maklum pengirimannya
Disamping itu, ternyata kuliahku pun memasuki masa-masa sibuk luar biasa dan sangat menyita waktu. Jadwal penuh, tugas dan praktikum yang menumpuk tidak menyisakan banyak waktu lagi untukku. Aku tak membayangkan akan bisa memberikan perhatian penuh untuk keduanya kalau aku juga punya bayi.
Dulunya, aku selalu berpikir bahwa dengan tekad kuat dan manajemen waktu yang baik, seorang wanita akan bisa melakukan 2 hal ini sekaligus : kuliah dan menjadi ibu yang penuh perhatian. Ditambah pengetahuan tetek bengek tentang waktu (kualitas vs kuantitas), aku juga melihat banyak contoh wanita bisa menjalankan keduanya. Tetapi justru anak tetangga lah yang kemudian membuatku sadar bahwa ini tidak akan bisa berhasil untukku..Tidak akan pernah !!
Tetangga sebelah rumah mertua yang juga masih saudara kebetulan punya anak, usianya waktu itu sekitar 3 tahunan. Karena memang sangat menyukai anak-anak (ditambah baru saja keguguran), tak perlu waktu lama untukku menjadi dekat dengannya. Satu hal yang sangat hebat dari anak-anak adalah mereka tidak pernah mengenal istilah “bertepuk sebelah tangan”. Bagaimana kita mencintai mereka, maka seperti itulah mereka akan balik mencintai kita. Dia pun menjadi semacam “tergantung” padaku. Setiap melihatku berangkat kuliah, dia selalu merengek untuk ikut.
Saat itulah pelan-pelan tapi pasti aku menyadari hikmah dari semuanya...
Singkatnya, kalau saja waktu itu memang anakku ditakdirkan untuk lahir di dunia ini, maka tidak akan ada harapan SAMA SEKALI untukku bisa menyelesaikan kuliah !! Aku akan jelas-jelas memilih untuk drop-out saja daripada harus menghadapi perasaanku sendiri setiap melihat anakku dengan tidak rela melepasku pergi kuliah. Atau ketika harus terpaksa menyuruhnya bermain dengan orang lain ketika aku harus fokus menyelesaikan tugas-tugas dirumah.
Dan figur ayah... Aku saja waktu itu sering merasa nelangsa karena jarangnya bertemu dan menghabiskan waktu berdua dengan mas, masih perlukah anak kami juga merasakan yang sama?
No and absolutely NOT! Konsepku tentang sebuah keluarga tentu saja bukan seperti itu. Konsepku tentang keluarga bukanlah soal pertemuan yang “terbatas tetapi berkualitas”. Dengan alasan apapun, kerja atau kuliah! That would be not enough for me! Konsepku tentang keluarga, is all about WAKTU YANG BERKUANTITAS SEKALIGUS BERKUALITAS!!
*****
Jadi inikah rahasiaMu untukku, Ya Allah...? Semakin dalam kutemukan hikmahNya, tak terasa semakin sering kulantunkan Al-Fatihah untuk ruh anakku...semakin dalam rasanya sujudku menghujam ke hatiku...dan akupun semakin dalam merindunya, dia yang sedang menungguku di pintu surga... Ya Allah, sampaikanlah aku kesana... kumpulkan kami berdua kembali Ya Allah...
*****
Seraya menunggu untuk hamil lagi, maka akupun fokus dengan kuliah. Juga si mas, dengan kerjaannya (dan kuliahnya yang semakin dirasanya membosankan :D). Sampai sekitar pertengahan tahun 1998, Allah Yang Maha Kuasa sekali lagi menunjukkan kuasanya yang luar biasa kepada kami berdua.
Setahun sebelumnya, mas Iwan masih berjualan sekadarnya dengan motor. Secara ekonomi, bisa menutupi biaya kuliah kami saja, kami sudah sangat bersyukur dan merasa beruntung. Lantas, siapa yang bisa mengira kalau tahun 1998 itu, kami berdua berhasil membeli rumah sendiri ?!?!?!? Ya! Rumah mungil yang kami beli sendiri dan sampai sekarang kami tinggali ini adalah salah satu bukti betapa kalau Allah menghendaki sesuatu terjadi, maka terjadilah! Masuk akal manusia atau tidak, itu bukan hal yang penting lagi! (cerita tentang hal ini bisa disimak nanti di Part 6, insyaAlloh :D)
Tak terkira bahagianya kami berdua ketika pindah kerumah baru. Tanpa menunggu furnitur terbeli, kami pindah saja kesitu. Kamipun tidur di rumah yang masih melompong, beralas selembar karpet pinjaman mertua, berbekal TV kecil yang baru saja kami beli dan kompor gas kecil kado pernikahan dulu.
Duh masyaAlloh nikmatnya...it’s like we’re just married for the second time! Hanya tinggal berdua di rumah baru, rasanya kami berada dalam masa bulan madu kembali.
Bulan madu kedua ini ternyata juga tidak berlangsung lama, karena mas pun harus cepat-cepat kembali ke ritme kerjanya yang sekarang sudah bertambah parah. Jadilah aku melewatkan sebagian besar waktuku sendirian dirumah kami. Bener-bener sendiri! Terkadang, karena tuntutan pekerjaannya yang sekarang sudah harus melayani pembeli luar
Ibu mertua berkali-kali protes karena mengkhawatirkan keselamatanku. Ibukku hanya bisa telepon sehari sejuta kali untuk memastikan aku baik-baik saja sambil selalu menelan kekecewaan karena tawarannya untuk mencarikan aku pembantu selalu kutolak. Aku tidak akan mengorbankan nikmatnya tinggal berdua dengan mempunyai pembantu! Lagipula, dari kecil aku selalu menikmati pekerjaan2 rumah khas ibu rumah tangga. Lama-lama aku pun menjadi biasa. Sibuk di kampus pagi sampai siang hari, mengurus rumah sore hari, dan dimalam hari, banyak kulewati sendiri (dari membaca, nonton tv sampai mulai berkenalan dan jatuh hati dengan internet).
Lama hidup seperti ini kujalani, sampai kemudian kusadari sudah 2 tahun berlalu sejak aku keguguran, dan aku belum juga hamil lagi. Selama itu, tak kurang sudah 6 atau 7 kali aku mengalami gagal hamil. Terlambat mens 2-3 minggu, dites hasilnya positif, tetapi 1-2 minggu kemudian luruh lagi dalam bentuk gumpalan2 besar yang mengerikan. Sangat melelahkan secara emosional, karena berkali-kali harapan kami yang membumbung ketika mengetahui hasil tes positif, harus sirna begitu kemudian luruh lagi. Lama-lama, tanda positif di testpack yang sering kami temui, tidak lagi membuat kami antusias karena takut berharap lebih untuk kemudian merasa kecewa lagi.
Aku menjalani bermacam-macam terapi, selama beberapa tahun itu sampe kemudian aku merasa cukup ketika setelah terapi hormon selama beberapa bulan, berat badanku jadi melambung sampai lebih dari 25 kilogram!
Aku mohon dengan amat sangat agar mas mengurangi waktu kerja diluarnya dengan mempekerjakan orang untuk membantunya. Alhamdulillah dia setuju, disamping memang waktunya juga dia fokus ke tugas akhir kuliahnya. Tak lama kemudian walaupun dengan susah payah berkubang darah (yang ini sih hiperbolic banget! Hihi), akhirnya tahun 1999 si mas menyelesaikan kuliah sarjananya.
Lepas dari perawatan dokter kandungan, aku tenggelam dalam cara alternatif. Dari pijat, terapi herbal sampai semua tips berhubungan ala apa saja kami coba. Nihil, aku tak juga kunjung hamil.
Tahun 2000 kembali aku ada di persimpangan. Ketika baru saja proposal skripsiku diterima, aku sekali lagi termangu melihat tanda positif di test pack. Dengan berdebar kutunggu 2 minggu, 3 minggu, sampai kemudian USG menunjukkan bahwa aku berhasil melalui 3 bulan pertama yang mengkhawatirkan. Kami tenggelam dalam rasa syukur yang dalam, dan aku langsung saja ambil cuti kuliah (lagi?? :D).
Hari Kamis, 30 Oktober 2001, penantian kami yang panjang terjawab dengan lahirnya Abe... Lucunya, aku keguguran di hari Kamis akhir Oktober juga (1997). Sebuah kebetulan yang sedikit misterius ya? Hehe...
Skripsiku? Jangan tanya lagi, sudah pasti terbengkalai! Kini Abe-lah pusat duniaku dan tak kubiarkan terkorbankan sedetikpun walaupun demi menyelesaikan kuliahku yang cuma tinggal skripsi saja. Teman-teman seangkatan sudah pada lulus ketika itu, membuat semangat tambah melemas. Ketika aku hamil lagi 2 tahun kemudian, ancaman drop-out yang didepan mata pun sudah tak membuatku bergeming. Dorongan dan dukungan luar biasa dari suami-lah yang kemudian berhasil menyeretku ke ruang sidang skripsi.
Ketika aku resmi diwisuda Januari 2004 itu, aku sedang hamil Bea 6 bulan. Yang lucu ternyata aku sempat wisuda bareng teman seangkatan, bedanya dia S2 sedangkan aku baru S1! Hehe...dan karena aku masuk kuliah tahun 1995, maka berarti masa studiku hanya untuk jenjang S1 saja (termasuk cuti2 itu) adalah sepanjang 9 tahun!
Fuuuiiihhh... :D
*****
(bersambung...kontraknya tinggal 2 episode lagi nih :D)