Sesuai hukum ‘supply and demand’, tempat-tempat yang mustajabah untuk berdoa di Tanah Suci (entah di Madinah maupun di Makkah) selalu padat disesaki jamaah dari seluruh dunia, setiap waktu. Sekedar satu menit berdoa di tempat itu pun akhirnya menjadi sesuatu yang penuh perjuangan baik mental, emosional maupun fisik. Bahkan pada waktu-waktu yang kita kira akan sepi sekalipun, jamaah tetap sesak (mungkin karena mereka semua mempunyai pikiran yang sama dengan kita, bahwa saat itu mungkin sedang sepi).
Entah apakah ini hanya perasaan kita saja, atau memang nasib para jamaah Indonesia (atau mungkin Asia Tenggara, terutama yang wanita) selalu agak memilukan ketika harus berjuang memasuki tempat-tempat mustajabah ini. Yang sudah pernah berhaji atau berumroh pasti mafhum bahwa jamaah-jamaah dari bagian Asia yang lain atau benua lain selalu ‘unggul’ kalau sudah berurusan dengan acara ‘berdesakan’. Aku juga nggak tahu sebabnya apa, tetapi seorang wanita Turki yang ukuran tubuhnya jauh lebih kecil daripada akupun, bisa loh berjalan santai, lalu gak sengaja menyenggol aku dari belakang samping ( hanya menyenggol!) lalu yang terjadi tanpa bisa kucegah adalah : aku terhuyung lumayan keras kedepan. Nggak tahu kenapa, tapi seakan didalam tubuh mereka ada semacam bandul pemberat dari besi yang ikut mengayun kemanapun tubuh mereka bergerak. Itu baru orang-orang yang berpostur lebih kecil dariku, belum yang ukurannya lebih besar, padahal yang lebih besar inilah yang paling banyak jumlahnya. Masha Allah... :-D
Itu masih secara fisik. Secara mental dan emosional, mereka ini (yang sering kulihat sih terutama orang-orang Timur Tengah dan Afrika) mempunyai -mmm...apa ya namanya....?- mempunyai kadar ‘kecuekan’ tersendiri akan sekitarnya. Mungkin karena faktor perbedaan kebudayaan.
Sebagai contoh saja, ketika berjalan di kerumunan yang padat lalu tanpa sengaja kita menyikut seseorang, maka kita pasti akan sibuk meminta maaf kepada orang yang kita sikut kan? Atau ketika kita terpaksa harus melewati space yang sempit diantara dua orang yang sedang duduk menunggu waktu shalat, maka kita akan sibuk ‘excuse me excuse me’ kepada mereka sambil menundukkan tubuh dan memelankan langkah. Tetapi memang itu mungkin kebudayaan khas negara kita kali ya. Atau paling tidak Asia. Asia tenggara persisnya. Sekali lagi mungkin, ini hanya perkiraanku saja. Buktinya, yang kulihat di masjidil Haram atau Nabawi, orang-orang dari negara lain bisa tuh cuek saja. Mereka bisa tuh berjalan dengan kecepatan biasa, seolah-olah kita semua tidak ada disitu, dan tidak tersenggol. Kalaupun ada disitu, kita mungkin selaksa pagar besi yang bisa jadi pegangan sewaktu-waktu tangan mereka membutuhkan. Sudah nggak terhitung kali kepalaku ini jadi semacam ‘bola pegangan’ orang-orang yang ‘menerombol’ melangkahiku ketika aku sedang duduk tenang, bahkan pernah beberapa kali pas aku sedang dalam keadaan duduk didalam sholat. Atau tersikut, kesenggol dengkul, dan si pelaku lempeng aja berlalu seakan tak terjadi apa-apa.
Dulu sekali, waktu pertamakali aku berkunjung ke Makkah (musim haji 1997) dan mengalami ini semua, waktu itu aku begitu sibuk introspeksi, Ya Allah...dosa apa yang telah kuperbuat sehingga aku harus menerima semua ini. Apa karena aku memang orang yang goyor suka gedubrakan alias biyayakan sering menyenggol sesuatu kalau bergerak sehingga disini akhirnya harus diperlakukan seperti barang-barang yang sering kujatuhkan dan kutumpahkan selama ini?? Hahaha. Lama-kelamaan ketika aku melihat bahwa nyaris semua jemaah mengalami hal ini, akhirnya aku pun berhenti bersuudzon pada Allah... Oh, yaa...ternyata ini bukanlah hukuman untukku. Ini pasti hanyalah perbedaan cara dan kebudayaan. Pantas saja orang-orang luar negeri selalu bilang bahwa orang Indonesia itu ramah-ramah dan sopan-sopan. Disini baru terbukti deh bahwa itu mungkin benar. Hehehe...
Dengan kadar ‘kecuekan’ tingkat tinggi, dan ‘kekuatan’ badan besi mereka, sekarang bayangkanlah ketika kita, dalam jumlah ratusan bercampur di suatu tempat yang mustajabah tadi....yang luasnya tak akan lebih daripada beberapa puluh meter persegi...
Kalau ada kasus terdesak, maka yang paling banyak merasakan mungkin adalah jamaah-jamaah Indonesia. Terjepit? Itu juga... Suatu kali waktu merangsek kedekat hajar aswad, aku pernah melihat seorang ibu-ibu Indonesia pucat nyaris kehabisan napas, karena terjebak dibawah lengan beberapa jamaah wanita ras Arab. Benar-benar dibawah ketiak mereka karena perbedaan tinggi badan yang lumayan banyak, dan ‘kengototan’ orang-orang itu yang nggak mau sedikitpun mengorbankan jarak ke hajar aswad yang sudah mereka tempuh demi menyelamatkan sang ibu Indonesia yang wajahnya sudah pucat itu. Mereka tetap ngotot walaupun aku dan beberapa orang disitu sudah berteriak-teriak dalam berbagai bahasa (yang kubisa ya mulai dari bahasa isyarat sekenanya, Inggris, Indonesia, bahkan Suroboyoan saking ngerinya aku waktu itu hahaha) untuk menyuruh mereka untuk mundur sedikiiit saja supaya ibu yang sudah selesai mencium hajar aswad ini bisa mendapat jalan keluar. Toh kalau si ibu keluar dari area desak2an, mereka akan mendapat space ekstra kan? Tapi mereka tetap ngotot. Tetap meringsek dengan kepala si ibu makin terjepit diantara ketek mereka. Si Ibu itu akhirnya bisa keluar setelah askar (petugas keamanan) yang berjaga diatas hajar aswad turun tangan.
Banyak contoh lain, dan yang sudah pernah melakukan perjalanan ke tempat-tempat mustajabah seperti roudloh, makam Rasulullah (dulu di Nabawi jamaah wanita bisa mendekat ke makam Rasulullah, tapi sekarang tidak lagi), multazam, mencium hajar aswad, Hijir Ismail pasti paham apa yang kumaksudkan. Apalagi di masa-masa padat jamaah seperti musim haji. Jangankan untuk shalat yang otomatis memerlukan space untuk melakukan sujud, untuk sekedar bersimpuh duduk berdoa beberapa menit pun, kadang memerlukan perjuangan berat baik secara mental, emosional dan (terutama) secara fisik.
Dengan kondisi seperti diatas, itulah kenapa Mas Iwan tidak akan pernah membiarkan kami pergi tanpa bekal sebuah STRATEGI. Apalagi di tempat-tempat yang aku harus pergi sendiri karena adanya pemisahan jenis kelamin ditempat itu. Aku mungkin boleh merasa mempunyai banyak keuntungan karena punya suami yang sudah sejak dulu menggemari teknik-teknik Sun Tzu **hihihi** dan itu memang banyak membantu. Plus, dia sudah lebih sering pergi berhaji dan umrah sebelumnya, dan itu membuat dia semakin kesini semakin banyak pengalamannya. Tetapi ternyata, pengalaman terkadang juga tidak membantu, karena selain peraturan dari pengurus tempat mustajabah itu berubah-ubah tiap tahunnya, juga kondisi di lapangan sendiri terkadang jauh berbeda dari yang kita selalu perkirakan.
Dari tahun ke tahun... Haji ke umrah.... Umrah ke umrah berikutnya... Bahkan sampai ke umrah terakhirku minggu lalu itu... Dalam prakteknya, strategi-strategi yang sudah masak-masak disusun ini, selalu berakhir dengan kisah yang sangat berbeda untukku..... Sama sekali berbeda...
(Bersambung)
mbaa..mbaa...beruntung sekali bisa kesana berkali2....doakan aku mbaa....bisa nyampe kesana juga...:)
BalasHapusaminnn...insyaAllah dimudahkan ya Ari...
BalasHapus