Tampilkan postingan dengan label falsafah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label falsafah. Tampilkan semua postingan

Rabu, 26 Maret 2008

[Samita] Volume 1 : Ha-Na-Ca-Ra-Ka Sebagai Falsafah Hidup

Sebelumnya, aku tentu saja hanya menganggap bahwa 20 aksara Jawa ini adalah sebuah potret nilai pas-pasan dalam pelajaran Bahasa Daerah (Jawa) yang sangat menyusahkan. Dari SD, tugas menghapal bentuk hurufnya, tanda bacanya, cara menyambungnya, dlsb, sangat membuat frustasi karena betapapun hebatnya berusaha, nilai rapor tak akan bisa lebih dari angka 7, kebanyakan yang muncul malah 6.

Kemudian di awal-awal novel Samita, aku tahu bahwa itu juga sebuah rapal jurus kanuragan persilatan yang dengannya, seseorang yang menguasai ilmu ha-na-ca-ra-ka mampu mengeluarkan daya tenaga dalam yang mahadahsyat, saking dahsyatnya sampai para pendekar kungfu Cina terpesona melihat olah beladiri pribumi Jawa Dwipa ini. 

Di akhir novel, aku baru tahu bahwa ternyata sejatinya ha-na-ca-ra-ka adalah sebuah falsafah hidup yang agung. Mengungkap kesejatian hidup manusia di muka bumi ini. Maka simaklah ini...

(Bismillahirrohmaanirrohiim...kalimat yang didalam tanda kurung akan mewakili bagaimana aku pribadi memaknainya)
 

Ha-Na-Ca-Ra-Ka :
Berarti hono (ada) sebuah ‘UTUSAN’ (caraka).
Utusan ini berupa ‘nafas’ yang diberikan kepada manusia oleh Sang Pencipta.
Setiap tarikan dan helaan nafas membawa tugas menyatukan tubuh dan jiwa manusia kepada Sang Penciptanya.

(Setiap tarikan dan helaan napas kita yang tanpa henti seumur hidup kita ini, sebenarnya didalamnya terkandung utusan yang bertugas untuk mendekatkan dan menyatukan kita dengan Allah SWT Sang Maha Pencipta.)

 

Da-Ta-Sa-Wa-La :
Berarti manusia setelah diciptakan sampai dengan “doto” atau saatnya (dipanggil) tidak boleh “sawala” (mengelak). Manusia dengan segala atributnya harus bersedia melaksanakan, menerima dan menjalankan kehendak Tuhan.

(Dari saat ketika kita diciptakan, sampai dengan saat kita mati nanti, kita tidak boleh mengelak dari segala kehendak Allah SWT. Manusia boleh merencanakan dan menginginkan apapun dalam hidupnya, tetapi semua akan kembali kepada keputusan Allah SWT. Tak ada kesempatan dan kemampuan kita sedikitpun untuk mengelak dari kehendak dan keputusan Allah SWT.)


Pa-Dha-Ja-Ya-Nya :
Podho berarti sama, cocok. Berarti sanggup memahami kehendak Zat Pemberi Hidup (Tuhan).
Dia-lah yang joyo (menang) sesungguh-sungguhnya menang. Bukan menang-menangan atau sekedar menang.

(Menurutku, ini adalah wujud kehambaan kita. Sejauh mana kita bisa merendahkan diri kita dihadapan Allah SWT yang Maha Kuasa dan Maha Penguasa Alam. Aku pernah mendapat cerita seorang ustad, bahwa manusia di kelilingi setan dari segala arah (depan, belakang, kanan dan kiri) tanpa bercelah. Ada ayatnya di Al-Qur’an duh aku lupa. Diatas adalah tempat Allah Sang pencipta. Sehingga yang bisa kita lakukan untuk menyelamatkan diri dari setan hanyalah bergerak kearah bawah...dan menggantungkan diri kita kepada Allah SWT.  Bergerak kearah bawah dengan meruntuhkan habis segala kesombongan kita, melepaskan dengan total segala keangkuhan kita dan berserah diri sepenuhnya kepada Allah SWT.)

 
Ma-Ga-Ba-Tha-Nga :
Berarti menerima segala yang diperintahkan dan yang dilarang oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.
Maksudnya manusia harus pasrah, sumarah pada garis kodrat, meskipun manusia diberi hak untuk mewiradat, berusaha untuk menanggulanginya.

(Tidak sulit untukku menyimpulkan bahwa ini adalah menyangkut ikhlas... Tetapi sebagai ilmu tertinggi hati manusia, tentu saja ikhlas sama sekali tidak gampang untuk diamalkan... Apalagi ikhlas yang bukan sepenuhnya pasrah. Tetapi ikhlas yang mengandalkan sebuah proses kepada usaha terbaik kita sekuat tenaga sebagai manusia, dan menyandarkan sepenuhnya hasilnya kepada Allah SWT semata, yang Maha Memiliki hidup kita...)

:::::.....

Subhanalloh...

(Disarikan dari novel “Samita – Bintang Berpijar di Atas Majapahit” oleh Tasaro. Lebih dalam lagi, tentang prinsip dan falsafah Hanacaraka bisa disimak disini.)