
Sudahlah...aku tak kuasa berkomentar lagi.. **menghela napas panjaaang**
Anyway, kemudian nyemplunglah kita...
Benarlah apa kata mereka tentang pengalaman pertama, bahwa itu akan selalu berkesan!! Begitu kami berempat nyemplung dan terlihat sangat ahli dengan peralatan snorkling kami (ahli? well anggap saja hari ini adalah hari kebalikan), Mas Anom dan Mas Slamet yang menunggu di pantai, tak hentinya tergelak tertawa terpingkal-pingkal melihat kita!!
Ada yang terjungkal-jungkal seperti jungkitan padahal sudah pake pelampung di badan (itu aku dan justru pelampung itulah yang jadi pusat jungkitannya), ada yang terus2an menyalahkan alatnya mungkin rusak dan airnya bocor atau kaki kodok yang tidak ditakdirkan untuk dipakai manusia (itu juga aku), ada juga yang walaupun dudul panik jerit-jerit, tetapi begitu dengar kata “ayo foto” langsung secara ajaib bisa menguasai diri di dalam air dan langsung bergaya “cheese” untuk kamera (well, sekali lagi, hihihi ini juga aku).
Pelajaran hari ini : kalau mau snorkling, pastikan Anda bisa berenang! Atau paling tidak, sudah terbiasa menguasai diri didalam air. Kalau tidak, Anda akan menjadi orang yang ketika kamera mati, nyaris seperti jungkitan yang mau tenggelam dan ketika kamera menyala untuk memfoto, persis seperti ahli snorkling tingkat dunia! Kata orang Jawa : oleh gayane thok!
Mbak Daning jauh lebih progressing. Well, dia memang bisa berenang (alasan! hahaha). Paling tidak, dia sudah berhasil berjalan agak ketengah dan sempat melihat seekor ikan besar mendekatinya. Setelah satu jam Mas Iwan juga sudah membanggakan pemandangan terumbu karang dan ikan-ikan bergerombol yang indah sekali. Aku, masih saja berkutat dengan penyesuaian keseimbangan tubuh dengan semua alat-alat ini (percayalah, waktu itu memang sudah satu jam berlalu). Masih bertahan di kedalaman pantai dibawah satu meter, sehingga setiap kali Mas Anom memanggil kami dari pantai untuk berfoto, masih memungkinkan aku untuk langsung berdiri dan –sekali lagi- bergaya seperti ahli snorkling tingkat dunia!
Yang juga melas adalah Mas Yosep. Teknik sudah dikuasainya dengan baik, dia pun sudah mendapat keberanian untuk pergi ketengah, tetapi kenapa oh kenapa –sekali lagi, setelah satu jam lamanya- tak ada seekorpun ikan mau terlihat olehnya??? Yang besar maupun yang kecil (yang kecil aja nggak mau, apalagi yang besar) **menghela napas**. Kesimpulanku satu, bahwa hanya Tuhan yang tahu sebabnya... Akhirnya, didorong oleh kekecewaan dan rasa tertolak oleh para penghuni laut, moodnya jadi turun, dan teknik yang tadi sudah dikuasai, dudul hanya tinggal kenangan berbuah beberapa ratus cc air laut asin yang sekarang ngendon dengan manis di perutnya. Bikin tambah mual, katanya.
Detik itu, ada satu momen dimana secara bersama-sama aku dan Mas Yosep saling berpandangan, seperti menemukan insight bersama-sama. Kami seperti baru mendapat pencerahan dan siap merumuskan suatu teori definisi baru (kami bahkan secara resmi membuat semacam pakta berdua) bahwa : SENORKELING, adalah suatu aktivitas yang KHAYAL untuk dilakukan. Titik.
Tetapi Mas Iwan tak menyerah. Bagaimanapun aku mengatakan “titik, pokoknya khayal, titik” dia tetap nggak menyerah. Dia ngotot mencari cara supaya aku bisa melihat minimal satu saja ikan didasar laut. “Rugi kalo nggak, Nduk. Baguuussss sekali, dan kita sudah pergi sejauh ini kesini”. Hati kecilku mengiyakan, tetapi hati besarku (baca : pinggul dan pahaku) sudah dudul lemas. Mas Iwan memaksa melatih gerakan kaki berenang sekali lagi. Ampun Gusti, sekali2nya aku “belajar berenang”, harus pake pelampung dan kaki kodok yang berat ini, dan pelatih yang tak sabar untuk segera menyuruhku menyelam. Hikss..kurikulumnya terlalu berat untukku.
Oke, kita pake cara lain. Apalagi? Oh sudahlah mas...(inilah bedanya, mental entrepeneur dengan mental ibu2 rumah tangga hikss). Kali ini Mas Iwan memutuskan untuk menggandengku ketengah. Instruksinya sederhana dan jelas “just follow me, I will lead you there”.
Dan adegan selanjutnya, aku seperti terlempar kedalam sebuah filem drama romantis, dimana ada seorang laki-laki heroik yang melenggang menggandeng (atau lebih tepatnya di cerita ini, menggelandang) pujaan hatinya. Menunjukkan seluruh isi dan keindahan dunia kepada si wanita yang baru keluar dari tempurung kelapa hidupnya selama ini di sebuah gua tengah hutan. Tangan mas Iwan, yang kiri menggandeng tanganku, yang kanan mengacung2kan botol berisi roti memancing ikan2 mendekat. Seperti Superman ketika untuk pertama kalinya mengajak Lois Lane terbang ke angkasa, merangkul seluruh tubuh Lois Lane dalam perlindungannya yang aman dan menunjukkan padanya segenap luar angkasa.
Seperti sebuah puisi, “Percayalah padaku, dalam genggaman tanganku kamu akan aman, dan akan kutunjukkan padamu seluruh keindahan jagat raya ini, sayang...” (suiitt suiiitt)
Akhirnya tak lama kemudian datanglah momen itu, dalam bentuk sekilas ekor ikan berwarna putih keperakan melintasi ekor mataku. Hanya sekilas....dan hanya bagian ekor! Prestasi yang fantastis bukan?? Rupanya karena aku terlalu sibuk umek dengan alat yang sudah mulai terisi air, aku jadi telat mengikuti telunjuk Mas Iwan. Sejurus setelah melihat ikan itu, kami saling berpandangan...”ohh my darling....kita berhasil sayang...” Kami pun terus bergandengan menyusuri pantai semakin ketengah dengan wajah dan tubuh menghadap kebawah, dibawah permukaan air bersiap menerima lagi pemandangan terindah. (Jangan muntah dulu ya, para pembaca sekalian :-D)
Lois Lane yang ini, sayangnya sudah lama membuktikan bahwa dia adalah aktris yang sangat buruk kalau harus bermain di filem romantis. Dan aku, sedetik itu rupanya lupa diri dengan himbauan yang sangat kupercaya sekian lama, “Jangan terlena dengan manisnya cinta, karena bisa menutup pandangan mata kita”. Juga motto kami berdua : the most romantic thing about us, is being totally NOT romantic at all. Untuk sesaat aku khilaf terseret arus manis dan indahnya Cinta di Pantai Gili Nanggu...membuatku percaya bahwa inilah momen romantis kita berdua, selayaknya adegan Rose dan Jack yang berdiri di haluan kapal Titanic.
Tiba-tiba. Brukkk!!!! Sumpah mati, kukira aku akhirnya mendapat kesempatan untuk menyenggol seekor ikan besar berwarna kemerahan di kananku. Ikan lumba-lumba kalo perlu, karena dia besar sekali!!
Kaget, karena panik secangkir air laut masuk ke selang snorklingku, diiringi repetan suara panik ibu-ibu separuh baya dari arah ikan itu.
“Eee...ee...ee...aduhhh...maap Mbak. Aduh...udah deh gak papa tabrak aja saya Mbak, saya ngerti kok wong saya memang nggak bisa berenang ini, duh ini gimana ya.... Aduhhhh memang udah nggak waktunya nenek2 kaya saya main yang aneh-aneh gini...wong berenang saja nggak bisa kok ya aneh-aneh snorkling”. Repetan panjang dan latah yang menurutku luar biasa, mengingat dia harus berjuang melawan alat-alat yang -aku setuju-, sangat merepotkan ini.
“Eh maaf Bu...” suaraku blebekan bercampur air karena selang masih terpasang dimulut.
“Udah gak papa Mbak. Saya juga udah mau mentas dari tadi sebenarnya... Monggo-mongo...!! Aduh reekkk...!! Iki piye tooo???”
Aduh...Ibu... ternyata kita berdua adalah 2 jungkitan yang berasal dari pabrik yang sama, di Surabaya sana. Dan petualangan senorkeling ini disini, seriously, memang sudah benar-benar waktunya berakhir untuk kita berdua...
:::::....
Perjalanan sepulangnya sungguh kasihan buat Mbak Daning. Ketika naik ke kapal, sudah 2 kali dia muntah. Ketika mendarat, sekali lagi dia muntah, menyebabkan Mas Yosep dengan dudul mulai percaya kata-kata kejam kita semua “Wah kok sudah muntah2? Sudah ngidam nih kayaknya”. Hahahahaha maap ya Mbak, bener2 teman yang dudul nih kita semua, liat orang muntah malah digodain.
Untungnya, perjalanan darat kembali ke hotel lebih cepat rutenya. Mbak Daning pun untungnya bisa tertidur di mobil. Tadi ketika melihat kita pada agak mabok sampe ada yang muntah, Mas Slamet mendapatkan lagi satu kesimpulan baru. Tentang lagu “Nenek moyangku, orang pelaut” itu, berdasarkan kesimpulannya, dia dengan rela hati mengatakan “Ya sudahlah, biar mereka saja yang jadi orang pelaut, kita nggak perlu ikut-ikut deh”. Hihihihi.
Sesampai di hotel, begitu Mas Anom dan Mas Slamet pamit, kita pun tiiiduuurrrrrr......tidur siang yang sangat panjaaaangggggg dan aku bermimpi digandeng Superman melihat dunia bawah laut, mimpi yang lumayan buruk.
:::::.....
Malamnya, pas perayaan Tahun Baru Imlek, pihak hotel mengadakan perayaan. Kita yang nggak ikutan, masih bisa nongkrong sambil makan malam di kafe depan, menikmati suguhan pesta kembang api yang seru. Aku jadi sangat rindu anak-anak, tahu betapa mereka pasti heboh melihat kembang apinya. Apalagi di jalan, ada serombongan pertunjukan barongsai yang membuat suasana jalan Senggigi Beach malam itu jadi meriah dan riuh rendah.
Abe, Bea, sudah pada bobokkah kalian, sayang...?
:::::.....
(Bersambung)