Tampilkan postingan dengan label gilinanggu. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label gilinanggu. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 01 Maret 2008

[..::LOMBOK::..] Part 2 : Snorkling Yang Romantis Dan Memberi Definisi Baru


Sudahlah...aku tak kuasa berkomentar lagi.. **menghela napas panjaaang**

Anyway, kemudian nyemplunglah kita...

Benarlah apa kata mereka tentang pengalaman pertama, bahwa itu akan selalu berkesan!! Begitu kami berempat nyemplung dan terlihat sangat ahli dengan peralatan snorkling kami (ahli? well anggap saja hari ini adalah hari kebalikan), Mas Anom dan Mas Slamet yang menunggu di pantai, tak hentinya tergelak tertawa terpingkal-pingkal melihat kita!!

Ada yang terjungkal-jungkal seperti jungkitan padahal sudah pake pelampung di badan (itu aku dan justru pelampung itulah yang jadi pusat jungkitannya), ada yang terus2an menyalahkan alatnya mungkin rusak dan airnya bocor atau kaki kodok yang tidak ditakdirkan untuk dipakai manusia (itu juga aku), ada juga yang walaupun dudul panik jerit-jerit, tetapi begitu dengar kata “ayo foto” langsung secara ajaib bisa menguasai diri di dalam air dan langsung bergaya “cheese” untuk kamera (well, sekali lagi, hihihi ini juga aku).

Pelajaran hari ini : kalau mau snorkling, pastikan Anda bisa berenang! Atau paling tidak, sudah terbiasa menguasai diri didalam air. Kalau tidak, Anda akan menjadi orang yang ketika kamera mati, nyaris seperti jungkitan yang mau tenggelam dan ketika kamera menyala untuk memfoto, persis seperti ahli snorkling tingkat dunia! Kata orang Jawa : oleh gayane thok!

Mbak Daning jauh lebih progressing. Well, dia memang bisa berenang (alasan! hahaha). Paling tidak, dia sudah berhasil berjalan agak ketengah dan sempat melihat seekor ikan besar mendekatinya. Setelah satu jam Mas Iwan juga sudah membanggakan pemandangan terumbu karang dan ikan-ikan bergerombol yang indah sekali. Aku, masih saja berkutat dengan penyesuaian keseimbangan tubuh dengan semua alat-alat ini (percayalah, waktu itu memang sudah satu jam berlalu). Masih bertahan di kedalaman pantai dibawah satu meter, sehingga setiap kali Mas Anom memanggil kami dari pantai untuk berfoto, masih memungkinkan aku untuk langsung berdiri dan –sekali lagi- bergaya seperti ahli snorkling tingkat dunia!

Yang juga melas adalah Mas Yosep. Teknik sudah dikuasainya dengan baik, dia pun sudah mendapat keberanian untuk pergi ketengah, tetapi kenapa oh kenapa –sekali lagi, setelah satu jam lamanya- tak ada seekorpun ikan mau terlihat olehnya??? Yang besar maupun yang kecil (yang kecil aja nggak mau, apalagi yang besar) **menghela napas**. Kesimpulanku satu, bahwa hanya Tuhan yang tahu sebabnya... Akhirnya, didorong oleh kekecewaan dan rasa tertolak oleh para penghuni laut, moodnya jadi turun, dan teknik yang tadi sudah dikuasai, dudul hanya tinggal kenangan berbuah beberapa ratus cc air laut asin yang sekarang ngendon dengan manis di perutnya. Bikin tambah mual, katanya.

Detik itu, ada satu momen dimana secara bersama-sama aku dan Mas Yosep saling berpandangan, seperti menemukan insight bersama-sama. Kami seperti baru mendapat pencerahan dan siap merumuskan suatu teori definisi baru (kami bahkan secara resmi membuat semacam pakta berdua) bahwa : SENORKELING, adalah suatu aktivitas yang KHAYAL untuk dilakukan. Titik.

Tetapi Mas Iwan tak menyerah. Bagaimanapun aku mengatakan “titik, pokoknya khayal, titik” dia tetap nggak menyerah. Dia ngotot mencari cara supaya aku bisa melihat minimal satu saja ikan didasar laut. “Rugi kalo nggak, Nduk. Baguuussss sekali, dan kita sudah pergi sejauh ini kesini”. Hati kecilku mengiyakan, tetapi hati besarku (baca : pinggul dan pahaku) sudah dudul lemas. Mas Iwan memaksa melatih gerakan kaki berenang sekali lagi. Ampun Gusti, sekali2nya aku “belajar berenang”, harus pake pelampung dan kaki kodok yang berat ini, dan pelatih yang tak sabar untuk segera menyuruhku menyelam. Hikss..kurikulumnya terlalu berat untukku.

Oke, kita pake cara lain. Apalagi? Oh sudahlah mas...(inilah bedanya, mental entrepeneur dengan mental ibu2 rumah tangga hikss). Kali ini Mas Iwan memutuskan untuk menggandengku ketengah. Instruksinya sederhana dan jelas “just follow me, I will lead you there”.

Dan adegan selanjutnya, aku seperti terlempar kedalam sebuah filem drama romantis, dimana ada seorang laki-laki heroik yang melenggang menggandeng (atau lebih tepatnya di cerita ini, menggelandang) pujaan hatinya. Menunjukkan seluruh isi dan keindahan dunia kepada si wanita yang baru keluar dari tempurung kelapa hidupnya selama ini di sebuah gua tengah hutan. Tangan mas Iwan, yang kiri menggandeng tanganku, yang kanan mengacung2kan botol berisi roti memancing ikan2 mendekat. Seperti Superman ketika untuk pertama kalinya mengajak Lois Lane terbang ke angkasa, merangkul seluruh tubuh Lois Lane dalam perlindungannya yang aman dan menunjukkan padanya segenap luar angkasa.

Seperti sebuah puisi, “Percayalah padaku, dalam genggaman tanganku kamu akan aman, dan akan kutunjukkan padamu seluruh keindahan jagat raya ini, sayang...” (suiitt suiiitt)

Akhirnya tak lama kemudian datanglah momen itu, dalam bentuk sekilas ekor ikan berwarna putih keperakan melintasi ekor mataku. Hanya sekilas....dan hanya bagian ekor! Prestasi yang fantastis bukan?? Rupanya karena aku terlalu sibuk umek dengan alat yang sudah mulai terisi air, aku jadi telat mengikuti telunjuk Mas Iwan. Sejurus setelah melihat ikan itu, kami saling berpandangan...”ohh my darling....kita berhasil sayang...” Kami pun terus bergandengan menyusuri pantai semakin ketengah dengan wajah dan tubuh menghadap kebawah, dibawah permukaan air bersiap menerima lagi pemandangan terindah. (Jangan muntah dulu ya, para pembaca sekalian :-D)


Lois Lane yang ini, sayangnya sudah lama membuktikan bahwa dia adalah aktris yang sangat buruk kalau harus bermain di filem romantis. Dan aku, sedetik itu rupanya lupa diri dengan himbauan yang sangat kupercaya sekian lama, “Jangan terlena dengan manisnya cinta, karena bisa menutup pandangan mata kita”. Juga motto kami berdua : the most romantic thing about us, is being totally NOT romantic at all. Untuk sesaat aku khilaf terseret arus manis dan indahnya Cinta di Pantai Gili Nanggu...membuatku percaya bahwa inilah momen romantis kita berdua, selayaknya adegan Rose dan Jack yang berdiri di haluan kapal Titanic.

Tiba-tiba. Brukkk!!!! Sumpah mati, kukira aku akhirnya mendapat kesempatan untuk menyenggol seekor ikan besar berwarna kemerahan di kananku. Ikan lumba-lumba kalo perlu, karena dia besar sekali!!
Kaget, karena panik secangkir air laut masuk ke selang snorklingku, diiringi repetan suara panik ibu-ibu separuh baya dari arah ikan itu.

“Eee...ee...ee...aduhhh...maap Mbak. Aduh...udah deh gak papa tabrak aja saya Mbak, saya ngerti kok wong saya memang nggak bisa berenang ini, duh ini gimana ya.... Aduhhhh memang udah nggak waktunya nenek2 kaya saya main yang aneh-aneh gini...wong berenang saja nggak bisa kok ya aneh-aneh snorkling”. Repetan panjang dan latah yang menurutku luar biasa, mengingat dia harus berjuang melawan alat-alat yang -aku setuju-, sangat merepotkan ini.

“Eh maaf Bu...” suaraku blebekan bercampur air karena selang masih terpasang dimulut.
“Udah gak papa Mbak. Saya juga udah mau mentas dari tadi sebenarnya... Monggo-mongo...!! Aduh reekkk...!! Iki piye tooo???”

Aduh...Ibu... ternyata kita berdua adalah 2 jungkitan yang berasal dari pabrik yang sama, di Surabaya sana. Dan petualangan senorkeling ini disini, seriously, memang sudah benar-benar waktunya berakhir untuk kita berdua...

:::::....
Perjalanan sepulangnya sungguh kasihan buat Mbak Daning. Ketika naik ke kapal, sudah 2 kali dia muntah. Ketika mendarat, sekali lagi dia muntah, menyebabkan Mas Yosep dengan dudul mulai percaya kata-kata kejam kita semua “Wah kok sudah muntah2? Sudah ngidam nih kayaknya”. Hahahahaha maap ya Mbak, bener2 teman yang dudul nih kita semua, liat orang muntah malah digodain.

Untungnya, perjalanan darat kembali ke hotel lebih cepat rutenya. Mbak Daning pun untungnya bisa tertidur di mobil. Tadi ketika melihat kita pada agak mabok sampe ada yang muntah, Mas Slamet mendapatkan lagi satu kesimpulan baru. Tentang lagu “Nenek moyangku, orang pelaut” itu, berdasarkan kesimpulannya, dia dengan rela hati mengatakan “Ya sudahlah, biar mereka saja yang jadi orang pelaut, kita nggak perlu ikut-ikut deh”. Hihihihi.

Sesampai di hotel, begitu Mas Anom dan Mas Slamet pamit, kita pun tiiiduuurrrrrr......tidur siang yang sangat panjaaaangggggg dan aku bermimpi digandeng Superman melihat dunia bawah laut, mimpi yang lumayan buruk.

:::::.....

Malamnya, pas perayaan Tahun Baru Imlek, pihak hotel mengadakan perayaan. Kita yang nggak ikutan, masih bisa nongkrong sambil makan malam di kafe depan, menikmati suguhan pesta kembang api yang seru. Aku jadi sangat rindu anak-anak, tahu betapa mereka pasti heboh melihat kembang apinya. Apalagi di jalan, ada serombongan pertunjukan barongsai yang membuat suasana jalan Senggigi Beach malam itu jadi meriah dan riuh rendah.

Abe, Bea, sudah pada bobokkah kalian, sayang...?

:::::.....

(Bersambung)

Jumat, 29 Februari 2008

[..::LOMBOK::..] Part 1 : Dari Menega ke Gili Nanggu


iseng

Bismillah, aku akan coba agak pede menulis catatan perjalananku kali ini, dengan menyingkirkan batasan “panjang tulisan” yang selama ini membelengguku setiap ngeblog. Karena ternyata, banyak hal dari perjalanan ke Lombok ini yang menarik untuk kutulis, karena ini adalah kunjungan pertamaku ke pulau bersimbol cicak ini dan secara tidak langsung akan menjadi semacam dokumentari pribadiku.

Mohon maaf untuk yang membaca, yang bisa kulakukan hanyalah berusaha membuat tulisanya semenarik mungkin untuk meminimalisasi kebosanan Anda. So God speed ;-D

:::::.....

[LOMBOK TRIP] Part 1 : Dari Menega ke Gili Nanggu

Dua hari setelah pulang dari Bali, Jumat pagi ketika seisi rumah masih serasa babak belur, Mas Iwan sudah on trip lagi! Nggak tahu dimana suamiku ini membuang urat capeknya, baru melihatnya berangkat saja sakit pinggangku sudah berdenyut-denyut lagi (untunglah kali ini dia mau mengajak sopir). Tujuannya jelas ke Solo, memenuhi janji yang tertunda. Janji yang ini lho http://cikicikicik.smaboy.com/images/46 , ingat kan?? Hehe...

Dari Solo lanjut ke Tulungagung demi jadwal rutinnya inspeksi kantor dan gudang disana, Minggu malam barulah dia pulang. Dan hari itu, Rabu, 6 Februari 2008 ketika senja sudah mulai buram, tiba-tiba Mas Iwan dan aku sudah turun dari pesawat, menjejakkan kaki di Bandara Selaparang, Mataram.

Ya, hanya seminggu setelah pulang dari Bali, tiba-tiba sekarang kita berdua sudah berada di Lombok. Untuk kedua kalinya aku meninggalkan anak-anak dirumah bersama in-laws. Apa kubilang kan? Sekali melakukannya (ketika ke Jakarta dulu itu), akan lebih mudah terjadi lagi. Mas Iwan bilang ini hal yang perlu though, itung2 latihan berpisah sementara dengan anak-anak, sehingga aku tidak lagi punya alasan menolak ajakannya umroh berdua.

Still, I’m not feeling comfort just any yet. Trying hard, disela-sela banyak telpon kerumah, aku pun memutuskan untuk menikmati perjalanan ini sambil dalam hati berkesimpulan, bahwa untuk pasangan yang sudah mempunyai anak, istilah “second honeymoon” tanpa anak-anak ternyata cukup menyiksa. Baru saja turun pesawat, aku sudah rindu anak-anak dan sibuk membayangkan bagaimana tingkah mereka kalau berada disini.

Anyway. Kepergian ke Lombok ini atas undangan this lovely couple, dear friends of our family, Mas Yosep dan Mbak Daning. Undangan “double-date” nya sendiri sudah lama, dan kami selalu menggantung jawabannya (so sorry Mas, Mbak..) sekali lagi dengan satu alasan dari pihakku : berat ninggalin anak-anak. Mbak Yosep dan Mbak Daning sekarang ini bisa dibilang masih newlywed, sedang giat2nya program hamil dan tak tanggung-tanggung, untuk “memaksa” kita menerima undangannya, they directly handed us 2 flight tickets to Mataram that date. So we (or I) have nothing left to say, but got packing and take our butts off to that plane!

Waktu itu rencana ada cuti bersama yang berbuah weekend panjang, tapi tiba-tiba dibatalkan pemerintah. Akhirnya Mas Yosep-Mbak Daning pun dengan sukses memilih meneruskan perjalanan ke Lombok dan harus mengambil jatah cuti tahunannya, gimana lagi udah kadung beli tiket, dan mumpung ada yang sampai hati meninggalkan anak-anaknya (hiks hiks...)

Turun dari pesawat, kita berempat dijemput sahabat Mas Yosep sejak SMP, namanya Mas Anom ( http://rumahkomik.blogspot.com/ ). Dan by the way, ternyata Mas Anom inilah yang menjadi alasan kenapa Mas Yosep ngotot mengajak kita kesini. Mumpung Mas Anom masih bertugas di Lombok alias mumpung tersedia guide dan host gratis (ampun, dudul deh...hehe).

Perjalanan Mataram menuju Sengigi (tempat kita menginap) kurang berorientasi keluar (maklum malam hari, dan lampu-lampu Kota Mataram pun ternyata tidak segemerlap Surabaya). Kita lewatkan waktu dengan chit-chat berkenalan dengan Mas Anom. And he turned out to be such a nice person to hang out. Kesimpulannya, dia tenang2 saja menerima dirinya “dimanfaatkan” sebagai guide gratisan. (Hihihi makasih yaa).

Langsung nyari tempat makan malam. Our first culinary-layoff, a fantastic seaside-seafood restaurant called “Menega”. Suasana temaram pinggir pantai yang romantis, nggak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan citarasa makanannya. Cumi bakarnya, it was like THE BEST I’ve ever had so far!! Bumbunya top habis, merasuk dengan pas dan dalam sampai2 aku curiga itu bumbu “disuntikkan” kedalam seafoodnya (:D) dan Mas Iwan yang memang kritikus ulung kalo urusan makanan (baca: pilih-pilih :-b), ternyata berpendapat sama dengan ikan bakarnya! Setelah memutuskan rencana untuk besok, dengan perut kekenyangan, kita pun menuju Senggigi Beach Hotel, sampai disana sekitar Pukul 9 malam dan langsung beristirahat. Mas Anom pun pamit pulang.

Besoknya, Kamis 7 Februari 2008, Jam 9 pagi Mas Anom sudah nongol di hotel, kali ini mengajak seorang teman, Mas Slamet yang lucu dan njawani. We all got along with each other so well instantly. Kita langsung cabut ke tujuan kita hari ini.

Pulau Gili Nanggu...

Dengan pede yang luar biasa ngawurnya, kita langsung bertekad menyambut tantangan Mas Anom untuk mencoba snorkling. Kubilang ngawur karena selain ini akan menjadi yang pertama buat kami semua (not to mention that I cannot swim!), lidah kami juga masih dengan medoknya menyebut aktivitas itu dengan “senor..keling”. Bahkan, demi Tuhan aku merasa yakin bahwa ketika menyanggupi ajakan Mas Anom malam itu di Menega, Mas Yosep sebenarnya sedang melamun memandang laut yang gelap sembari bilang “Ok, terserah kamu ajalah Nom, kita ikut mau diajak apapun”. Hahaha! Tapi kabarnya pemandangan dasar laut di Gili Nanggu adalah salah satu yang terindah, so we’re in!

Sebagai persiapan, sebelum keluar dari Mataram kita mampir di salah satu deretan warung pinggir jalan yang menjual “Nasi Balap”, sebutan untuk nasi bungkus di Lombok. Satu lagi sebutan yang agresif dan sadis untuk nasi bungkus. Di Tulungagung namanya “sego bantingan”, di Jogja-Jateng “sego kucing”, di Surabaya “sego sadukan”, entah kenapa kok semuanya bernuansa sadis agresif ya??

Dengan mengikuti rumus nasi bungkus, porsi 1 orang sama dengan 2-3 bungkus, kamipun membeli satu kresek besar berisi 20 bungkus lebih! Rumus apaan tadi?? Ini sih 6 orang2 yang pada takut kelaparan semua namanyaaa!! Hahaha. Dengan satu kresek lainnya penuh dengan krupuk, kayaknya akan menjadi menu makan siang yang sempurna di pinggir pantai nanti ketika kita selesai ber-senorkeling. Tak lupa kamipun menyiapkan roti tawar yang nantinya dimasukkan kedalam botol plastik minuman, dan akan menjadi umpan supaya para makhluk laut yang nanti kami lihat mau mendekat ke kita. Thanks to Mas Anom yang memberi semua pengetahuan ini.

Setelah itu selama hampir 3 jam kami disuguhi perjalanan yang menantang. Tepatnya menantang kekuatan stabilitas kimia tubuh kita (baca: ketahanan mabok). Menuju ke Gili Nanggu kita harus melewati perjalanan naik turun gunung yang mempunyai tingkat perkelokan yang lumayan berat. Mas Anom bahkan cerita, tak ada yang mau menempuhnya di malam hari (+ gelap karena sama sekali nggak ada lampu jalan yang cukup) dan karenanya wanti-wanti kita nanti harus sudah kembali sebelum gelap.

Yang sangat menawan hatiku disepanjang perjalanan adalah banyaknya Pohon Kelapa!! Dimana-mana mereka bahkan merumpun dengan lebat! Pemandangan jurang di kanan atau kiri jalan berisi pohon kelapa yang kelihatan dari ketinggian dan kejauhan membentuk semacam pulau, rimbunan daunnya yang berbentuk khas dan jujur saja, tiba-tiba membuatku rindu masa kecil. Masa kecilku kuhabiskan ditengah2 kebun kelapa kakek, yang sekarang sudah banyak tumbang berganti semen dan bangunan gudang-gudang milik Bapakku, bahkan di kota sekecil Tulungagung pun sudah sulit menemukan kebun kelapa. Kata Mas Iwan, Kepulauan Nusa Tenggara memanglah salah satu penghasil kopra.

Setelah 2 jam rollercoaster didarat, kita harus melanjutkan dengan menyeberang, rollercoaster di laut. Kita pun sampai di sebuah pelabuhan kecil (aku ragu apakah itu pantas disebut pelabuhan, saking kecilnya), menyewa peralatan snorkling dan berangkat dengan kapal bermotor. Yang ini lebih dahsyat lagi goncangannya, bukan dari kelokan jalan yang naik turun, tetapi ombak yang menggulung. Padahal bapak pemilik kapal cerita kalau laut sedang lumayan tenang, tetapi kulihat setelah 15 menit (baru separuh perjalanan) wajah kita berempat sudah berubah warna antara keunguan dan kehijauan. Ekspresi pun jadi aneh, seperempat ngantuk, seperempat mual, seperempat seperti stress berpikir dengan kaku, dan empat perempat persis orang mabok! Mbak Daning paling parah. Aku mencoba terus mengajak mengobrol, which is not a hard thing to do (what can I do, I am a chatty person :D). Dan ini bukan hanya kulakukan untuk makhluk-makhluk mirip manusia tapi berwajah ungu dan hijau disekitarku itu, tetapi juga untuk diriku sendiri, yang pasti tak kalah ungu dan hijaunya. Obrolan ternyata lumayan berhasil untuk mendistraksi rasa mual yang sempat menyemprot sekali-kali. Siapa tahu teknik ini suatu saat bisa dibuktikan secara ilmiah, mengatasi mabok perjalanan dengan terapi mengobrol. Hahaha.

Pulau Gili Nanggu kecil saja, bahkan dari tempat berdiri, kita akan bisa melihat separuh lingkaran pantainya. Pasirnya putih, agak kasar tetapi sangat berkilauan, indah sekali. Waktu kita datang suasana masih sepi, hanya terlihat 4 kapal lainnya. Penumpangnya kemungkinan adalah beberapa pasang bule yang sedang berjemur disitu. Disitu juga ada sebuah hotel yang menyediakan cottage dengan arsitektur khas Lombok. Rumah panggung dengan teras terbuka di bawah panggungnya. Dihubungkan dengan tangga monyet dari kayu, diatasnya terdapat ruangan utama berupa attic tepat dibawah atap sirap yang menggelembung. Kecil saja, tetapi bahkan dari luar kelihatan sangat eksotik dan menarik. Secara langsung , model bangunan seperi inilah yang membangun suasana Lombok di kepalaku selama ini, persis seperti yang kulihat di brosur2 dan gambar2 Pulau Lombok.

Begitu sampai, agak terlalu semangat kita pun langsung action (maunya..), tetapi ternyata terganjal urusan celana pendek Mas Iwan yang rupanya ketinggalan nggak ikut terbawa ransel kita (my fault hiksss). Walaupun disitu ada satu hotel yang lengkap dengan toko souvenir yang menjual celana, ternyata tak membantu karena stok ukuran untuk Mas Iwan kosong! Ada satu biji saja yang cukup di badannya, tetapi itu adalah celana pendek cewek dan sangat centil. Warnanya perpaduan krem dan oranye muda, dengan motif bunga kamboja lengkap dengan tali temali dan rimpel kecil dipinggir bawahnya. Persis celana2 yang kupilihkan buat Bea gitu! Jadi jangan bayangkan jadinya, dan maklumi juga kalau di foto manapun, tak akan bisa terlihat bagian pinggang kebawah Mas Iwan disana. Itu semata-mata adalah aturan main dari pengarah gayanya (baca : Mas Iwan sendiri). Hahahaha! Walaupun merasa bersalah, jangan salahkan aku –dan kami semua- kalau hal ini menjadi bahan kepingkal-pingkalan kami semua! :D

Lebih seru lagi ketika ada sebuah keluarga yang terdiri seorang ibu paruh baya dan 6-7 anak abg yang bergabung dengan kami di pantai itu. Rasanya kalau nggak memperdulikan kesopanan, pasti lebih banyak lagi manusia yang terpingkal-pingkal saat itu.

:::::.....

Anyway, kemudian nyemplunglah kita, suatu permulaan akan kedudulan yang tak terkira...

(Bersambung)