Kamis, 01 April 2010

Tempat-Tempat Mustajabah [Part 2]

Sambungan dari Tempat-Tempat Mustajabah [Part 1]

***

Seperti sudah kutulis di Bagian 1 sebelumnya, sebelum mengunjungi tempat-tempat mustajabah untuk berdoa yang selalu bersesakan itu, Mas Iwan selalu membekaliku dengan berbagai strategi. Apalagi kalau aku harus maju sendirian. Ada beberapa tempat yang memang dipisah antara laki-laki dan perempuan, seperti di roudhah contohnya, atau kalau kita ingin mencium hajar aswad, maka khusus untuk para wanita disediakan jalan tersendiri (merapat dari arah pintu Ka’bah) supaya tidak berdesakan bercampur dengan para jamaah lelaki. Selain itu sebelumnya diperlukan juga persiapan fisik, makan yang cukup, minum yang cukup dan tekad serta semangat yang cukup. Cukup besar maksudnya *nyengir tapi serius*.

Jadi inilah kisahku setiap kali. Berangkat dengan rencana yang sudah strategis, berbekal hati dan mulut yang penuh dengan dzikir dan shalawat. Mari kita ambil contoh saja pengalaman ketika umrah terakhir kemarin, waktu aku berniat merapat ke dinding Ka’bah. Mencium hajar aswad, berdoa di multazam pas dibawah pintu Ka’bah, dan kalau memungkinkan nanti shalat di setengah lingkaran Hijir Ismail. Sebelum merapat kukirim shalawat untuk Rasulullah, Al-Fatihah untuk Ibrahim as, Ismail as, tak lupa ibunda Siti Hajar.

Radius kira-kira 5 meter dari Ka’bah, akhirnya aku bisa terbebas dari arus orang-orang yang berthawaf. Tetapi didepan situ, jelas-jelas lebih padat arusnya, tepat didepan mataku sedang riuh berdesakan orang-orang yang merangsek ke dinding Ka’bah. Dan jauh lebih padat lagi yang berdesakan didepan Hajar Aswad.

Dari sini sudah bisa terdengar suara-suara mereka. Sebagian besar adalah suara dzikir, karena nama Allah tersebut dimana-mana. Tapi jangan dikira cuma itu. Banyak juga suara teriakan protes, karena melihat ada orang lain yang sangat ambisius mendekatkan tubuhnya ke Hajar Aswad, sampai harus mendorong-dorong jamaah lainnya. Terkadang orang yang diteriaki membalas dengan teriakan yang tidak kalah garangnya. Saling teriaklah kemudian, dengan tangan mengacung-acung keatas pertanda emosi sudah terlibat. Dengan bahasa yang tak kumengerti (tebakanku sih bahasa Arab) tapi dari bahasa tubuh dan ekspresi wajah mereka jelas sekali terpampang ambisi itu. Dua atau tiga kulihat wajah-wajah mungil ras Melayu, cenderung pasrah ketika mereka terdesak tubuh-tubuh yag lebih besar.

Kepalaku masih mencoba mengulang-ulang terus strategi yang dibekalkan Mas Iwan padaku tadi. “Kamu pegangan pada kiswah yang digulung memanjang dibawah pintu Ka’bah itu ya Nduk, trus merambat dari situ kearah hajar Aswad. Kamu akan berada tepat dibawah petugas yang berdiri diatas itu, jadi kamu bakal aman.” Oke. Akupun mengucap bismillah dan melangkah memasuki kerumunan yang berdesakan itu.

Selangkah, riuh semakin dekat. Beberapa langkah kemudian tubuhku sudah mulai merasakan himpitan-himpitan yang lumayan intens. Dari segala penjuru. Dari arah belakang adalah orang-orang yang bertujuan sama denganku (mendekat Hajar Aswad). Dari arah depan adalah orang-orang yang sudah selesai mencium Hajar Aswad dan berniat keluar dari kerumunan. Belum lagi dari kanan kiri dan diantaranya. Mas Iwan tetap mengawasi dari kejauhan karena arah ini memang khusus hanya untuk jamaah perempuan, untuk lebih melindungi supaya tidak berdesakan dengan para jamaah laki-laki. Mulutku tak berhenti berucap “Allah...Allah...Laa Ilaaha Illallah..”

Dan begitu saja....

Begitu saja semua strategi yang dijejalkan Mas Iwan kepadaku tadi seolah menguap entah kemana. Kepalaku mendadak terasa ringan melayang. Yang ada di kepalaku hanya keheningan, dan satu suara berdebam. Suara berdebam-debam yang kurasakan sangat dekat seiring keheningan yang kurasakan di telinga dan kepalaku. Suara itu bukan berasal dari kuatnya desakan badan orang-orang disekitarku yang mulai menghimpit badan. Bukan. Datangnya dari dalam tubuhku.

“Allah...Allah...Laa Ilaaha Illallah..”

Apakah suara itu terucap juga dari mulutku? Karena rasanya suara itu juga memenuhiku dari dalam. Seolah ada seseorang didalam tubuhku yang meneriakkannya, memenuhi semua sel-sel dalam tubuhku yang hening, melesakkannya kearah luar sehingga tubuhku penuh dan membengkak dengan suara itu.
“Allah...Allah...Laa Ilaaha Illallah..”

Sedetik inderaku berfungsi. Kutemukan telingaku mendengar diriku sendiri mengucapkan nama itu dengan suara bergetar hebat. “Allah...Allah...Laa Ilaaha Illallah..” Mataku sudah basah. “Allah...Allah...Laa Ilaaha Illallah..” Badanku rasanya penuh, hatiku membuncah.

“Allah...Allah...Laa Ilaaha Illallah..”

Dan tiba-tiba tanganku sudah mengelus kiswah pembungkus dinding Ka’bah. Debam-debum di hati sudah tak tertahankan lagi. Hatiku rasanya penuh dan ringan disaat yang sama. Ada banyak hal yang terasa melayang meninggalkan tubuh ini saat itu. Banyak hal, salah satunya yang pasti adalah air mataku. “Allah...Allah...Laa Ilaaha Illallah..” Aku pun runtuh disitu... Tak mungkin ada kata-kata yang bisa menjelaskan bagaimana rasanya waktu itu. Saat itu, hidupku di dunia ini jadi terasa sangat bermakna dan sangat tidak berharga disaat yang sama. “Allah...Allah...Laa Ilaaha Illallah..”


Aku menikmati. Aku menyerahkan diri. Aku tak melawan apapun. Desakan, dorongan, himpitan, tarikan di ujung kerudungku, teriakan jamaah dalam berbagai bahasa yang tak kumengerti. Aku merasa berada di tempat paling damai yang pernah kutemui. Ya Allah... “Allah...Allah...Laa Ilaaha Illallah..”

Yang kuingat ketika entah bagaimana ceritanya aku tersungkur mencium Hajar Aswad adalah bahwa aku tidak boleh berlama-lama melakukannya. Terlalu banyak pengantri yang ingin berbuat sama. Belum lagi didepanku ada seorang wanita India yang sudah tua dan nyaris terinjak karena jatuh dan tidak bisa menemukan jalan untuk keluar. Kuraup saja bahunya, supaya dia ikut tertarik badanku ketika aku nanti menemukan jalan keluar. “Allah...Allah...Laa Ilaaha Illallah..”

Ketika bertemu Mas Iwan, dia sedang berteriak-teriak menyuruhku melepaskan ibu itu, karena aku nyaris ikut terhuyung kebawah dan terinjak karena melakukan itu. Aku menunggu sampai kami keluar dari kerumunan, baru kulepaskan dia. Dengan menangis haru si Ibu meraup dan mencium wajahku, dan melihat ini Mas Iwan akhirnya terdiam. Dia hanya bilang “Aku takut sekali tadi, karena kepalamu nggak kelilhatan waktu kamu terhuyung jatuh, aku takut sekali kamu akan terinjak disana!”

“Aku gak papa, Mas.” Jawabku sambil masih tergugu merasakan debam hatiku yang membuncah ruah tadi. “Allah...Allah...Laa Ilaaha Illallah..” Dan aku kembali merapat lagi, ke multazam, shalat di hijir Ismail, berpuas-puas menciumi kiswah yang bagai candu membuat getar dihatiku semakin dahsyat tetapi damai disaat yang sama. “Allah...Allah...Laa Ilaaha Illallah..” Tak akan ada kata-kata yang bisa menggambarkannya. Bahkan doa-doa yang tadi kuniatkan untuk kupanjatkan, tak tahu entah kemana perginya. “Allah...Allah...Laa Ilaaha Illallah..” Hanya itu yang sanggup kuucapkan tanpa henti dengan mulut bergetar dan airmata yang membanjir.

Nikmat dan damainya sungguh tak bisa ditandingi oleh apapun.....APAPUN.

***


Aku jadi teringat tulisan peringatan yang dipasang besar-besar didepan Raudhah di Masjid Nabawi. Dalam tiga bahasa, Inggris, Arab dan Melayu. Intinya himbauan supaya jamaah sabar dan tertib, agar usaha mereka untuk memasuki Raudhah tidak sampai menyakiti jamaah lain.

Mungkin jarak masih sekitar 50 meter jauhnya dari Raudhah ketika desakan dan himpitan mulai kami rasakan. Waktu itu aku pergi berdua Ibukku. Sama dengan cerita Hajar Aswad diatas, macam-macam yang kudengar. Shalawat kepada Rasulullah yang paling lantang terdengar, tetapi disela-sela itu ada juga nada protes kenapa rombongan yang itu diperbolehkan masuk duluan?? Sampai kapan kita disini?? Ini sudah hampir 10 menit kita tidak bergerak!! Halooo!! (Aku jelas sekali mendengarnya memprotes ke petugas masjid yang mengatur antrian, karena terlontar dari seorang jamaah Indonesia, dengan bahasa Indonesia dan tangan teracung-acung pula). Aduh Ibu, tak sadarkah bahwa teriakan2 Ibu sudah mempengaruhi orang-orang disini yang akhirnya ikut gelisah? Astaghfirullah...

Makin mendekati Raudhah, makin sesak dan kalutlah keadaan. Saling dorong, saling teriak sudah terjadi. Sambil terus bershalawat dan justru sedikit terhibur melihat tingkah orang-orang ini *nyengir*, tiba-tiba saja aku teringat rumah. Subhanallah. Rumah. Disitu saat itu, terasalah betapa rumah dan anak-anak yang kutinggalkan begitu jauhnya.

Kemudian aku menoleh kearah makam Rasulullah yang masih jauh, tetapi sudah kelihatan dari sini. Assalamualaika Yaa Muhammad Rasulullah... Assalamualaika Yaa HabibAllah... Rumah memang terasa sangat jauh, dan kerumunan orang-orang ini terasa makin mendesak, tetapi ada sesuatu yang terasa sangat dekat.

Aku sudah disini. Di dalam Masjid Nabawimu. Mengucapkan shalawat kepadamu sambil memandangi makammu. Berharap malaikat akan menyampaikan salamku kepadamu wahai manusia terbaik kekasih Allah. Berharap masih tersisa tempat untukku mendapat perlindungan shafaatmu di hari kiamat.

Dan begitulah, kutemukan lagi keheningan itu. Debam-debum didadaku. Bibir yang menggetarkan shalawat tanpa bisa kuhentikan seiring airmata yang membuncah. Aku tak perduli lagi kalaupun aku harus berada selama apapun disini, tak bergerak. Aku sudah disini. Dan disini nikmat sekali. Damai sekali. Terasa dekat sekali denganmu Yaa Rasulullah...

Banyak sekali kubaca tentang cerita sufi dan kondisi trans mereka ketika hati mereka menemukan Allah dan RasulNya. Aku cukup tahu diri bahwa yang kurasakan bukanlah itu. Yang kurasakan, mungkin hanya secuil debu dari bongkahan gunung kenikmatan yang dirasakan para pecinta Allah itu, ketika mereka merasakan hati mereka terbuncah penuh dengan nama Allah dan Rasulullah. Tetapi yang pasti, aku sempat bertanya-tanya apakah aku akan mendapat kesempatan mengalami lagi semua itu? Demi Allah, aku harap iya. Dan pertanyaan ini mungkin sudah terjawab karena seiring waktu ketika aku kembali lagi berkunjung ke Baitullah, aku selalu mengalaminya. Lalu, pertanyaanku selanjutnya adalah “Akankah aku bisa mengalaminya bahkan ketika aku sedang berada disini? Di tanah air? Di rumahku? Di keseharianku?

Itu, rasanya usahaku sendiri yang akan menjawabnya. Kata bait Bimbo “aku jauh Engkau jauh, aku dekat Engkau dekat” cukup memberi semangat. Aku percaya, kalau aku selangkah saja mendekat kepadaNya, maka Allah akan lebih jauh lagi mendekat kepada hati kita bukan?
Ya Allah Ya Tuhanku, maka aku mohon kepadaMu, penuhilah selalu hatiku, hati keluargaku, dan semua keturunanku dengan namaMu. Penuhilah kami setiap waktu, jangan biarkan apapun menjauhkan dan memisahkan kami dariMu, Ya Allah... Laa Ilaaha Illallah... Muhammad Rasulullah...


***

Oh ya, meneruskan cerita diatas, ketika sampai ke Raudhah, kami (aku dan ibukku) sudah kucel berat karena terhimpit dan berdesakan lebih dari sejam. Ketika menjaga ibukku yang shalat di tempat sesempit itu ditengah desakan dari berbagai arah, aku sadar bahwa aku tidak akan bisa membiarkan diriku shalat di situ. Tidak karena kalau aku shalat, berarti aku akan membiarkan ibukku berjuang seperti ini menjagaku dari terinjak dan tertabrak jamaah-jamaah yang kebanyakan bertubuh besar ini.

Setelah beliau selesai shalat, Ibuk segera merentangkan tangannya untuk gantian menjagaku shalat. Baru begitu saja Ibuk sudah terhuyung kesana-sini. Aku lalu mengajaknya untuk keluar. Seorang askar bertanya kepadaku “Shalat Yaa Hajjah???”

“No, I cannot let my mother guide me like that, No!” dan si askar tersenyum mengangguk. Lagian, kemarinnya aku juga sudah mengunjungi Raudhah dan sudah sempat shalat disini.

Tapi Ibuk terlihat tak rela. Dan yang membuat aku lemas adalah ketika di pintu keluar, Ibuk menangis tergugu sambil memelukku erat. “Oalah Nduuk... Kamu jadi nggak bisa shalat di Taman Surga gara-gara Buk’e”

MashaAllah...
Aku jadi ikut tergugu...
Airmata Ibuk itu, demi Allah itu juga Taman Surga buatku Buk....



Dan Tempat-Tempat Mustajabah itu,
Ternyata seringkali berada tak begitu jauh dariku...
Bisa saja ada dihatiku sendiri, juga di hati Ibukku....
Wallahua'lam bishawab

****

8 komentar:

  1. Subhanallah Mbak, saya bergetar membaca cerita ini . . .

    BalasHapus
  2. wahida ariffianti4 April 2010 pukul 19.41

    sama dengan saya waktu mengalaminya juga mas...sekarang sudah rindu balik ke baitullah lagi T_T

    BalasHapus
  3. mbak.. air mata ini mengalir membacanya..
    subhanallah..
    subhanallah...Allahu Akabar..
    betapa inginnya diri ini ke baitullah...
    doakan ya Mbak...
    dan doakan rela juga bisa terus senantiasa menempatkan kecintaan kepada Alloh swt dan rasulNya..lebih dari yang lainnya...
    aamiin

    BalasHapus
  4. Arie - Bunda Icha Anakku Sayang4 April 2010 pukul 22.51

    terharu mbak bacanya..seakan2 aku di sana juga ..amin...:)

    BalasHapus
  5. wahida ariffianti5 April 2010 pukul 02.54

    amiiinnn amiinnn Allahumma amiinnn....hati yang merindukan baitullah seperti dirimu, insyaAllah suatu saat dimudahkan untuk menuju kesana La, aku sungguh percaya itu, aku percaya itu karena Allah... *peluukkk*

    BalasHapus
  6. wahida ariffianti5 April 2010 pukul 02.55

    mb Arie, peluk aja dehh, nggak tau musti reply gimana :-)

    BalasHapus
  7. Subhanallah, Mbak, aku merinding, nangis bacanya... Sungguh merindukan untuk berada di sana...

    BalasHapus
  8. wahida ariffianti9 April 2010 pukul 06.53

    La, menulisnya aku juga mewek nggak keruan ini kemarin... :-D
    dan aku juga sudah rindu....huhuuuu... T_T

    BalasHapus