Sabtu, 17 Juli 2010

Ketika Si Jeki Puber

Sabtu, 17 Juli 2010. Sekarang jam 8 pagi dan baru saja kami (aku dan anak-anak) tiba di Coban Rondo - Batu untuk ikut menyaksikan kegiatan outbond para karyawan. Mas Iwan sudah dari kemarinnya datang.

Entah karena di perjalanan sama AbeA tadi sempat ngobrolin soal MONYET atau karena sekarang ini aku duduk beralas rumput di hutan yang udaranya sangat menyenangkan sementara AbeA seperti tak ada capek dan bosannya berlarian dengan gembira, aku jadi teringat JEKI.

*sungkem dulu sama ♏ba Jacqueline Rieza yang sangat kusayangi*

JEKI adalah nama MONYET yang pernah kami pelihara dirumah ibukku di Tulungagung. Jeki kami pungut semenjak dia masih bayi, sekitar tahun 2000, dan aku lupa bagaimana awalnya dia kami beri nama JEKI. Yang pasti Jeki jadi kesayangan semua orang dirumah ibukku.

Jeki diikat dengan rantai yang panjang di pohon mangga samping rumah ibuk. Dengan rantai sepanjang itu dia jadi leluasa bergerak, mengitari pohon atau memanjatnya. Kebetulan rumah ibukku jadi satu dengan toko, gudang dan kantor Bapak, jadilah si Jeki punya banyak teman main, dari para sopir yang akhirnya suka membawakannya aneka makanan sepulang kirim barang, sampai karyawan yang suka duduk bersama Jeki sambil sekedar menikmati mangga mateng yang jatuh dari pohon.

Ibukku terutama, paling dekat dengan Jeki, saban hari dia yang kasih makan si Jeki, mengajaknya bermain dan menggoda si Jeki dengan sayang. Setiap kami mudik ke Tulungagung (waktu itu Abe masih bayi) ibuk selalu mengajak Abe bermain-main juga dengan si Jeki.

Pokoknya Jeki jadi kesayangan semua orang. Dia monyet yang lincah, suka mengeluarkan suara riuh yang (paling tidak kami artikan) sangat ceria.

Kira-kira 2tahun setelah kami pelihara, suatu hari ibukku memergoki tiba-tiba Jeki "mengeluarkan darah". Perkiraan kami, Jeki sudah menstruasi, alias sudah puber. Dan sebagai sesama mamalia, harusnya kami tidak terkejut dengan perubahan sikap Jeki kemudian.

Suara-suara yang biasanya terkesan ceria ketika disamperin bermacam orang, berubah semakin bervariasi. Kadang terdengar nyolot, kadang mencicit dan agak menakutkan. Yang dudul, lama kelamaan semua orang setuju bahwa suara mencicit dan lain-lain yang kurang ceria itu cenderung Jeki lakukan kepada kami yang berjenis kelamin perempuan.

Lama-lama banyak yang merasa tidak nyaman lagi dengan Jeki karena bahkan sekarang tangan Jeki suka merayuk dengan sikap menyerang kepada orang yang mendekat atau sekedar lewat. Agresif, kadang siap mencakar dan ketika sekali dua dia berhasil mendaratkan telapak tangannya ke baju dan rambut (kerudung) seseorang, dia langsung tarik-tarik seakan tak mau melepas lagi.

Lama-lama, bahkan ibukku pun sudah menjadi korban keagresifan si Jeki. Padahal selama ini ibukku yang paling merawatnya. Yang lebih dudul lagi, si Jeki justru makin mesra kalau sama bapakku. Lembut, nurut, gak pernah tuh sampe nyolot apalagi mencakar. Heran kan??

Setiap kali ibukku curhat soal Jeki, aku sampai nggak bisa menahan tawa dan godain ibukku. Kubilang "Jangan-jangan Jeki sudah bikin Ibuk cemburu yaaa". Biasanya godaan itu manjur, karena tergantung moodnya ibuk akan selalu bereaksi, kalo nggak ngakak ya makin ngedumel hahaha.

Begitulah, makin lama makin parah kelakuan si Jeki. Aku pun lama-lama sudah tidak berani membiarkan Abe terlalu dekat dengan Jeki. Hal yang sulit karena Abe sangat menyukai binatang dan dia sangat tidak bisa diam. Dan bukan saja kami, korban keganasan Jeki sudah mencakup para tamu yang datang kerumah kita. Sudah nggak lucu lagi dan memang sangat mengganggu.

Akhirnya, seorang sopir menawarkan diri untuk membantu. "Biar saya lepas Jeki di hutan saja Bu"

"Dibuang maksudnya??" tanyaku dari seberang telepon di Surabaya, waktu Ibuk cerita soal ide pak sopir.

"Bukan dibuang, tapi dilepas di hutan, biar dia bisa menemukan pasangan hidupnya. Jeki kayaknya udah kebelet kawin banget itu. Dan aku sudah merasa cukup sama tingkahnya dia."

Sebenarnya aku masih ingin menyarankan ke Ibuk untuk memelihara monyet jantan saja. Tapi akhirnya kusimpan ide itu. Mungkin memang benar Uti sudah merasa cukup dengan tingkah Jeki yang sudah berubah sejak pubernya itu.

So, suatu hari ketika pak sopir tersebut berangkat kirim, dia membawa serta Jeki, dan menurunkannya di sebuah hutan diluar kota yang terkenal banyak monyetnya.

Ah, si Jeki.... :D

::::.....

Pengen deh posting kisah ini bersama foto Jeki, tapi apa boleh buat aku masih diatas gunung di alas Coban Rondo :D

10 komentar:

  1. Pertamaaa....asik ga ada yg biasa waham pertama
    ya ampuuuun, Wahida, Jeki kukira nama samarannya sapa gitu, ternyata munyuk :-D

    BalasHapus
  2. wahida ariffianti17 Juli 2010 pukul 07.31

    Hahahaha kak Mia, postingan yang di fb malah dudul karena waham nday ama wawa wkwkwkwk

    Aku sampe merasa perlu nulis SUNGKEM ke ♏ba Jacq kaakkk hahahaha :D

    BalasHapus
  3. gw dulu demen maen ama monyet punya Pak Nyoman tetangga pas di Lombok, sering ikutan ngasih makan..iseng gw ulur tarik pisang jatahnya..akhirnya malah di cakar ama monyetnya..jadi sampe sekarang ada kenang2an di jari telunjuk gw...hehehe...

    BalasHapus
  4. untuuung gak nular kesini yaa...
    Mbak Mia gak ada temennya...tuuuhh

    BalasHapus
  5. wahida ariffianti17 Juli 2010 pukul 18.24

    Mp IYa, wakakakak keknya ​kα♏ŭ bakalan cocok deh ama Jeki. Kamunya tengil, dia sensitif dan agresif. Bisa ribut tiap waktu kan?? Wkwkwk

    BalasHapus
  6. wahida ariffianti17 Juli 2010 pukul 18.25

    Mpok IYaaaa ngomong2 soal facebook kapan ​kα♏ŭ mau bikinnnnn?????

    BalasHapus
  7. hanya mengingatkan aku ABB loooh...

    BalasHapus
  8. tungguuu di pengkolan yaaaahh....maklom masiy gaptek neeh...

    BalasHapus
  9. arum barmadisatrio19 Juli 2010 pukul 00.24

    jeki cowok apa cewek???????apa ganda campuran????

    BalasHapus
  10. arum barmadisatrio19 Juli 2010 pukul 00.38

    ha...ha...ha...dah lama kayaknya nggak denger orang bilang munyuk

    BalasHapus