Rabu, 02 Februari 2011

Cina Or Not Cina

Judulnya "To Be Or Not To Be" banget ya hehe.

Sudah lama sebenarnya aku ingin menulis soal ini, sudah bertahun lalu, tapi entah kenapa baru sekarang moodnya keluar.

Aku ingin cerita. Meskipun lahir dari keluarga Jawa asli, kata Ibukku dari kecil bahkan mungkin sejak dari bayi orang-orang selalu bilang aku kayak Cina. Mungkin perpaduan kulit putih Ibuku dan mata sipit Bapakku yang jadi penyebabnya. Kata Bapak, kulitku bahkan lebih terang daripada anak-anak keluarga Cina yang sesungguhnya.

Seiring aku besar, menempel semua lah panggilan seperti nonik, meme, cik, MeiShin dan lain sebagainya. Seingatku, waktu kanak-kanak aku selalu menangis -entah sedih entah marah, pokoknya nggak suka- dengan panggilan2 itu. Kebetulan Bapak juga pedagang, dan salah satu hal yang membuat aku benci kalau diminta jaga toko (jadi kasir) adalah ketika ada pembeli yang membayar dan mengangsurkan uangnya dengan embel-embel "Ini cik uangnya". Walaupun begitu, aku juga tahu bahwa Bapak banyak berhubungan dagang dengan orang-orang Cina.

Bukan hanya aku yang kena dampaknya. Bulik-bulikku (adik-adiknya Bapak) juga cerita bahwa ketika bermain bersama aku dulu ketika aku masih balita, mereka sering dikira pengasuhku. Tapi yang paling membuat aku menangis di jaman itu adalah bila sudah ada yang meledek bahwa aku mungkin bayi yang tertukar waktu lahir di RS, dan tangisku baru akan berhenti kalau Ibuk sudah bersumpah (lagi dan lagi) bahwa aku lahir dirumah nenek, bukan di RS. Jadi tidak mungkin tertukar.

Cerita yang sama terus berlanjut. Lulus SMA, selain mendaftar UMPTN aku juga mendaftar di sebuah universitas swasta di Surabaya, untuk cadangan bila nanti ternyata aku tidak lulus UMPTN. Sudah menjadi rahasia umum bahwa universitas itu juga menjadi jujugan favorit calon mahasiswa dari kalangan Cina Tionghoa di Surabaya dan sekitarnya. Di meja pendaftaran, ketika menyerahkan berkas-berkas persyaratan aku sempat gontok-gontokan dengan petugas karena dia ngotot bahwa syarat pendaftaranku masih belum lengkap.

"Ijazah sudah, KTP, STTB, raport, lembar kesediaan orangtua sudah lengkap, apa lagi yang kurang, Pak?"

"Masih kurang Ce! Kalo pendaftar WNA kan harus ada surat WNA dan juga Surat Keterangan Nama Asli?? Punya Cece belum ada! Lhoooo belum adaaaa kannn??" sembur si Bapak sambil membeberkan seluruh isi mapku. Gubrak deh.

Kelak, aku baru bisa sedikit terbebas dari anggapan "orang cina" ini setelah aku berjilbab, di semester kedua kuliahku.

Selain sering dikira anak cina, ternyata aku kemudian bertemu banyak kawan yang memang asli Cina. Usia 6-12 tahun aku sempat aktif belajar di sebuah klub bulutangkis bernama PB. Tunas Harapan (TeHa) di Tulungagung. Tentu saja banyak teman-teman tionghoa disana, aku bahkan bersahabat dengan salah satunya, namanya Ay Chin (kelak dia sempat menjadi pemain nasional dengan nama Cindana).

Yang tidak pernah aku perkirakan sebelumnya adalah dua hal ini. Pertama, ketika aku menikah ternyata suamiku adalah seorang penggemar filsafat-filsafat Cina. Sekarang ini sih sudah tak terhitung banyaknya buku-buku filsafat Cina yang tersimpan dirumah. Dari yang bernuansa bisnis sampai ke soal life wisdom. Topik filsafat Cina tampak sama menonjolnya dengan buku-buku Agama Islam dan falsafah Jawa di koleksi pustaka kami.

Kedua, demi Tuhan aku tidak pernah sedikitpun menyadari bahwa didunia ini ada yang namanya diskriminasi anti-Cina dan dulu sempat parah terjadi di Indonesia (mungkin sampai sekarang, aku tak tahu pasti). Tadi pagi, di grup ВВМ seorang sahabat menceritakan bahwa dulu Bapaknya sering jadi korban salah sasaran diskriminan anti-Cina. Padahal bapaknya Jawa asli, cuma penampilannya mirip Cina. Mereka tinggal di Surabaya, ketika gerakan anti-Cina sedang meledak, beliau sempat lama nggak berani keluar rumah karena mobilnya pernah digebrak orang, diludahi dan dihujat pula.

Meskipun sering dibilang kayak Cina dan mengaku punya banyak teman orang Cina, mataku baru terbuka sekitar tahun 2007-2008 yang lalu, ketika aku berkenalan dengan Bang Benny Pangadian di Multiply.com. Awalnya sungguh aku mengira bahwa Bang Ben orangnya sangat penuh dengan negativitas, selalu mengeluhkan apa saja tentang Indonesia, apalagi kalau menyangkut perlakuan kepada orang-orang Tionghoa. Awalnya juga aku selalu menanggapi dengan kenaifan, dan seperti sibuk meyakinkan bahwa "Ohhh kok aku selama ini gak merasakan yang kayak gitu ya? Ohhh aku juga berhubungan dengan banyak orang Cina dalam kehidupan sehari-hari tapi kok gak kayak gitu ya? Semua biasa-biasa aja kok"

Singkat cerita, setelah aku bertemu dan sering sharing cerita dengan Bang Benny yang juga seorang fotografer ini, mataku pun terbuka lebar....bahwa ternyata versi cerita Bang Benny yang lebih dekat kepada realita disekitar kita. Mataku terbuka, dan mulut pikiranku pun seperti ternganga.

Sungguh, aku jadi makin sedih dengan diskriminasi seperti ini. Memang, ketika kecil aku menangis ketika semua orang meneriaki aku mirip anak Cina. Tapi aku tahu itu bukan karena kata-kata "Cina" nya. Toh aku masih balita, waktu itu aku pastilah masih polos lugu dan beringus, tak tahu ada apa dibalik kata Cina. Yang kutahu, waktu itu aku menangis karena aku merasa dianggap NGGAK MATCHING dengan anggota keluargaku yang lain. Bapak, Ibuk, adik-adik, om-tante, paklik-bulik semua berpenampakan Jawa, kenapa aku tidak?

Mau Cina, Jawa atau apapun sukunya, dipandang sebagai orang yang NGGAK MATCHING dengan lingkungan sekitar memang selalu tidak menyenangkan. Dan tahukah Anda, bahwa saat ini kawasan Pecinan selalu ada di hampir setiap kota besar di hampir semua negara di dunia ini? Orang-orang Cina selalu terkenal dengan keuletan dan kemampuannya bertahan hidup "nggak matching" ditengah-tengah bangsa apapun juga. Mau di negara Amerika, India, Indonesia atau daratan Eropa, selalu ada sekelompok orang-orang Cina yang eksis. Maka itu adalah sebuah kualitas.

Kembali kepada cerita Bang Benny. Apa daya, aku memang orang naif, itu sudah tak tertolong lagi. Yang membuat lebih sedih, diskriminasi biasanya berakhir dua arah. Seperti idiom "Mana yang lebih dulu, ayam atau telor?" ceritaku berikut ini membuktikan itu.

Suatu kali, di sebuah mall yang cukup prestisius di Surabaya, aku tertarik dengan sebuah handbag yang terpampang di sebuah butik. Tas itu bentuknya sederhana seperti yang biasa kusuka, dan bahannya terlihat bagus sekali. Sedangkan butiknya sendiri terlihat sangat mewah, ala HongKong sekali pokoknya. Sesuatu yang jarang terjadi, tapi aku memutuskan untuk sekali ini saja menuruti nafsu hati untuk membeli tas itu.

Mengesampingkan fakta bahwa aku berpenampilan "baju+jilbab kaus dan bersendal jepit" akupun memasuki butik itu. Pikirku, bukankah kalau mau membeli barang itu yang penting punya uang kan? Ternyata pelayan butik (yang maaf, walaupun tampak rapi tapi jelas2 sesuku banget dengan aku) seperti tak melihatku. Oh tidak, lebih buruk lagi. Dia melihatku tetapi dengan sebelah matanya, sementara mata yang satunya sibuk tertarik keatas sampai dagunya pun ikut-ikut tertarik keatas.

Menyerah, akupun ganti haluan menuju seseorang yang tampaknya bos disitu. Wanita Tionghoa yang cantik dan duduk anggun dibelakang meja kasir. Aku bertanya tentang tas yang kumaksud, dan tanpa menggeser sesentipun tempat duduknya, tahukah Anda apa jawabnya? "Itu tas mahal mbak"

Detik itu aku langsung keluar dari butik itu, dan bersumpah takkan kembali lagi kesitu atas alasan apapun. Bukan karena amarah, tapi lebih untuk bertekad melindungi diriku sendiri. Self-defence. Aku tak mau pengalamanku dengan orang-orang yang sangat kukasihani itu menjadi energi negatif yang akan menggerogoti prinsip yang selama ini aku yakini dalam hidupku.

Sebagai seorang muslim, aku percaya bahwa Tuhan Allah Sang Maha Pencipta itu SATU. Dan oleh karena itu membuat aku percaya, bahwa makhluk apapun yang hidup diatas bumi ini, diciptakan oleh satu Tuhan yang sama.

Selamat Tahun Baru Cina :-)

7 komentar:

  1. dian mardi safitri2 Februari 2011 pukul 18.51

    huaaaaa....

    mungkin kalo aku langsung njawab, "Mahalan mana sama kamu?" *komentar emosi tingkat tinggi, nggak pake mikir*

    upsss... sabaar... sabaar...

    btw, selamat tahun baru juga Cik Wahida...
    qiqiqiqiqiqiqi

    BalasHapus
  2. mb Dian, hihihhi tau nggak, Mas Iwan pernah loh berada di situasi seperti itu, di sebuah departemen store... mbak pelayan asli pilih kasih antara dia dan sepasang pembeli tionghoa.....dan berakhir dia pulang membawa selusin kemeja warna-warni merk terkenal huahahahahaha

    pas sudah dirumah, dia cuma getok2 kepala "aku kok yaaaa kepancing, jangan2 ini malah strategi mbak pelayan tadi biar aku beli banyak" wkwkwkwk

    BalasHapus
  3. Uniq jg matanya sipit walopun kulit gak seputih org cina, dan punya pengalaman mirip deh kita.. Ya bebaslah sejak make jilbab hehehe..

    Waktu mo nikah, sempat hunting nyari platinum di mks (kbtln kami gak mau emas) tuk cincin kawin kami. Disebuah mall, sempat nanya platinum, jawaban pelayannya "platinum itu mahal" dgn nada OMG membuatku mundur, tak mampu bersuara dan langsung memilih kabur dr sana..

    BalasHapus
  4. Oalah, ada tho yang senasib denganku...? Aq juga diminta 'surat warganegara' waktu dulu daftar Unpar, Cik! Padahal yang ngomong Tionghoa asli. Tapi saat itu masa defensif dikira Cina sudah berakhir, jadi aq gak tersinggung. Bahkan mungkin sejak itu aq makin bangga, ternyata yang Tionghoa aja sampe kecele... :-P Dan setahun di Unpar memang membuktikan hal itu. Udah banyak dan beragam cara lah mereka merasa kecele.

    Di Unpar juga aku belajar soal diskriminasi itu Cik. Aq dulu punya teman yang luar biasa baik hati, pinter, dan rendah hati. Tapi dia dari kelaurga sederhana, makanya belum mampu 'merubah nama' (lagi ngapain diubah yah? Orang kan boleh aja dong mengampilkan identitasnya... *ini masuk hot button q*). Makanya aq seneng sekarang, melihat Cina sudah diterima dijadikan salah satu 'etnik' Indonesia. Sudah saatnya kita merangkul mereka yang juga hidup bersama kita. Justru dengan cara begini lah insyaAllah kita bisa meredam perbedaan dan bisa bekerja sama.

    Eh, kalau kita ketemuan nanti Cik (kapan yah?), coba kita tandingkan, siapa yang lebih mirip Cina...xixixi...

    BalasHapus
  5. tak beli sak tokonya....

    BalasHapus
  6. wkwkwkwkwkwk.... cocooooook !!

    BalasHapus
  7. Benar mbak, Tuhan ada SATU tapi Kitab Sucinya BANYAK*

    * mode negativitas : ON


    he..he...

    Terkadang,...
    kita hanya ingin melihat apa yang ingin kita lihat,
    kita hanya ingin mendengar apa yang ingin kita dengar,dan
    kita hanya ingin tahu apa yang ingin kita tahu.

    tapi tidak mudah untuk melihat apa yang kamu lihat dan mendengar apa yang kamu dengar serta mengerti apa yang kamu ketahui.

    BalasHapus