
kabut yang menyelimuti pegunungan
Photo by Me with SE K810i cameraphone
Masih di hari yang sama dengan kisah ini (
http://cikicikicik.smaboy.com/images/45/), hari ke-2 kita di Bali...
Keluar dari Kebun Raya “Eka Karya”, dengan membawa kenangan sekaligus dendam dibawah siraman hujan, kita menuju ke list tempat selanjutnya, yaitu Taman Ayun dan Tanah Lot. Perjalanan penuh kabut selama menuruni gunung, sangat kami nikmati....(maklum karena tinggal di Surabaya, pemandangan kabut sejuk adalah suatu kemewahan buat kami, lihat saja cerita ini
http://cikicikicik.multiply.com/journal/item/25 ).
Tepat ketika kabut menipis, tak disangka tak diduga, kami mendapat terjangan kabut dalam bentuk lain. Kali ini bentuknya sangat jauh dari kesan sejuk, dan rasanya pun menyesakkan. Kabutnya benar-benar telak membuat hati kami menciut, memampat menyesakkan dada.
Kabut itu datang secara kejamnya melalui sebuah panggilan telepon dari Abah (bapak mertuaku, kakek Abe-Bea) yang mengabarkan sebuah berita.
Barusan tadi, hari ini Minggu, Tanggal 27 Januari 2008, Pukul 13.10 Bpk. H.M. Soeharto meninggal dunia.
Wajah mas Iwan waktu mengabarkan berita itu padaku, sama anehnya dengan wajahku yang mendengarnya. Kami berpandangan seperti “tidak tahu apa yang harus dikatakan atau dilakukan”. Di sisi lain, ada pandangan “menyalahkan” yang kontan kulemparkan ke mas Iwan, tak peduli lagi dengan pandangan “penuh penyesalan” yang terbentuk di wajahnya yang sama sekali tidak membantu.
Dadaku langsung sesak memikirkan kelangsungan dan kelanjutan liburan yang baru saja mulai hangat2nya ini, sebuah kesesakan yang sebenarnya tidak perlu kalau saja kejadian dudul 10 tahun yang lalu itu tidak terjadi....
Sekarang marilah kita sejenak kembali ke 10 tahun yang lalu. Ketika suasana di negeri ini panas, kalut berdebu dan berasap ditengah pergolakan Perjuangan Reformasi melawan tirani kekuasaan yang sudah bersinggasana selama 32 tahun. Waktu yang memang terlalu lama untuk bisa dihadapi manusia manapun yang masih punya tekad untuk terus menjejakkan kaki dan hatinya sebagai “human being” di Bumi ini. Ya, lebih tepatnya marilah kita kembali ke 21 Mei 1998, ketika keputusan pengunduran diri Presiden Soeharto berhasil menggetarkan republik ini sampai ke urat nadi pelosok seluruh negerinya.
Ketika itu, euforia para mahasiswa yang disebut-sebut sebagai lokomotif perubahan, membahana setinggi langit ketujuh. Atmosfer diatas negeri ini dipenuhi oleh adrenalin yang meletup-letup, membuat kemampuan berfikir logis menjadi merosot anjlok digantikan dengan merajanya sifat impulsif di setiap nuansa dan aliran darahnya. Tak terkecuali sekelompok mahasiswa di sebuah kantor Himpunan Mahasiswa Fakultas Teknik Sipil UPN Veteran Surabaya.
Si Ketua Himpunan, mahasiswa semester 8, rupanya paling parah terkena serangan euforia. Tetapi nuansa euforianya sedikit lain dengan kebanyakan mahasiswa waktu itu yang rata-rata rasa bencinya kepada Pak Harto telah mengurat daging. Pengalamannya menikah muda ketika semester 4 lalu mungkin membuatnya lebih bisa merasakan obyektifitas berpikir tentang dunia ini, walaupun kalau dipikir-pikir lagi, kok nggak ada hubungannya ya! (:-D).
Bagaimanapun, dalam benak si Ketua ini, di sisi tertentu, tak akan sempat ada rasa benci untuk Pak Harto, karena ada sebagian hatinya yang juga dipenuhi rasa kagum atas pribadi Presiden ke-2 RI itu. Juga atas tingginya penghargaan terhadap falsafah Jawa, yang seperti semua falsafah kuno lainnya, sangat dalam artinya dan di jaman sekarang ini, jarang bisa diselami dengan sedemikian anggunnya seperti yang dilakukan Pak Harto.
Walaupun dia berdiri paling depan dalam setiap demo, menjinjing TOA yang menjadikannya paling lantang menyerukan agar Soeharto lengser, tetapi ketika itu terjadi, perasaan yang menguasainya juga bertabur keharuan, bahwa ternyata secara pribadi Pak Harto masih mempunyai kebesaran hati yang mengagumkan sehingga masih cukup untuk menegakkan tubuh beliau ketika mengumumkan pengunduran diri itu dengan sikap yang anggun, khas persis seperti seorang pemimpin dan negarawan yang besar.
Dalam hati sang ketua himpunan ini, euforia datang berdesak-desakan dengan adrenalin yang menjadi puncak perjuangan berbulan-bulan demo dan meninggalkan dunia usaha yang baru saja dirintisnya, di sana-sini tersembul rasa keharuan, kekaguman, rasa bangga, dan rasa hormat yang tinggi untuk sesosok Pak Harto.
Yang jelas, dia pasti sudah trance ke dunia impulsif ketika kemudian dihadapan rekan-rekan seperjuangan demo, dikelilingi gegap gempita kemenangan ketika Pak Harto akhirnya benar-benar lengser, terucap janji dari mulutnya...
“Kalau sampai Pak Harto meninggal ketika aku masih hidup, maka aku berjanji akan berangkat ke Solo untuk menghadiri pemakamannya”
Atau yang jelas, ketika itu dia pasti tidak mendapat setitik pun petunjuk, bahwa di masa depan, Pak Harto akan meninggal dunia bersamaan dengan ketika dia sedang mendampingi anak-istrinya yang baruuu saja menginjakkan kaki untuk berlibur di Pulau Dewata...
Oke, sekarang mari kita kembali lagi ke masa kini, dengan suasana yang pasti Anda semua bisa membayangkannya...atau mungkin tidak! &*#(@**@_#*!()!#+_)+_#(+@)#$*(*
“Trus gimana? Apa Mas akan tetep berangkat ke Solo? Pemakamannya besok pagi kan...?”
“Aku juga bingung! Biar aku pikir dulu, kalo perlu ya nanti malam aku cari tiket pesawat ke Solo, tapi yang aku pikirkan, sehabis pemakaman mana gampang cari tiket kembali ke Denpasar? Bandaranya besok pasti ditutup untuk umum kalo memang dilewati jenazah. Paling parah ya aku ngebis ke Semarang atau gimana, trus baru naik pesawat ke Denpasar.”
“Alamak...” melihat wajahnya, aku sudah nggak tega deh mau ndudul2in janjinya seperti yang dulu sering kulakukan. Apalagi kalau melihat wajahku sendiri.
“Paling parah, aku baru bisa kembali ke Denpasar Hari Selasa”
“Hallah! Kita lho mau pulang ke Surabaya Hari Rabu! Mending sekalian aja kita semua pulang sekarang”, aku juga sudah impulsif, karena dikuasai kepanikan dan emosi, hikss...hikss...
“Ya itu juga yang aku pikirin! Meninggalkanmu sendirian sama anak-anak di Bali?? Walaupun cuma sehari tapi aku nggak akan tega melakukannya! Kalau pulang sekarang, anak-anak pasti kecewa –ibuknya juga-, dan rasanya rugi kalo sudah jauh-jauh kesini, tapi cuma disini sehari semalam thok.”
Perjalanan ke Taman Ayun dan Tanah lot, jadi terasa hambar....(jadi maklum kalo nggak ada banyak foto, hanya ada beberapa, itupun dengan wajahku yang tak ceria). Rasa hatiku sudah tak menentu membayangkan liburan yang berantakan disaat sedang seru-serunya...
Ketika hampir 2 minggu Pak Harto dirawat di RS, banyak kali aku –seperti juga teman2 kuliahnya yang pada nelpon mengingatkan janjinya- menggoda Mas Iwan karena itu berarti dia harus bersiap-siap untuk pergi ke Solo. Sampai bosan, dan akhirnya aku berhenti sendiri karena ternyata Pak Harto tak jua meninggal.
Ketika kita berangkat ke Bali, manalah aku mengira bahwa beliau ternyata benar-benar memilih waktu yang amat tepat untuk menghadap Allah SWT.... Hikss...
:-(((((((
:::::....
Next! :
Akankah kelanjutan liburan kita benar-benar terkubur bersama dengan jasad Jenderal Besar Bpk. HM Soeharto? (Bersambung....)