Sabtu, 16 Februari 2008

Bea Kena DB :-(

Sudah 2 hari ini Bea panas. Panas yang tidak terlalu dan on and off (kalau siang dingin, tapi kalo malam panas lagi). Terakhir dia begini, 1,5 tahun lalu dia ternyata terkena infeksi di paru2 parah sehingga harus seminggu menginap di RS.

Sekarang terjadi lagi. Dari kecil dokternya wanti2 untuk tidak meemehkan sakitnya Bea. Karena daya tahan tubuhnya, bier sakit parahpun Bea nggak kelihatan kaya orang sakit. Tetap ceria, aktif dan ceriwis. Tahu-tahu ketika dia ambruk, keadaan udah parah! Ngeri ya?

Setelah obat rumahan tak berhasil membendung panasnya, dan melihat Tante-nya yang baru saja keluar RS karena DB, firasatku sudah nggak enak. Tadi malam, via pemeriksaan darah yang membanggakan dan menggelikan (karena Bea yang nggak nangis sama sekali waktu diambil darahnya, malah ceriwis tanya macam2, baru kemudian setelah selesai tiba-tiba dia terkantuk-kantuk dan langsung tidur!!! Diam2 mabok juga ternyata dia lihat darahnya sendiri :-D), ternyata hasilnya POSITIF DB.

Jadi pagi ini kita mau berangkat ke RS untuk opname. Semoga Bea cepat sehat...



(Foto diatas adalah waktu Bea opname 1,5 tahun yang lalu itu)



Jumat, 15 Februari 2008

[Bali] Day 4 : Pasar Sukowati, Cuaca Buruk, Clara Dan Audi Yang Bikin Gemass!!


Poto keluarga didepan pasar, aneh juga ya??? hihihi

Photo by Mbak Prapti by Sony P100

Selasa, 29 Januari 2008

Jam 9 cabut dari hotel, sarapan nasi goreng (ala diangetin) yang dibeli tadi malam dari Sunset Food Court (http://sunsetfoodcourt.com/). What a lovely place to eat and hang-out. Suasananya bikin semangat Mas Iwan untuk buka restoran tumbuh lagi (setelah kejadian dudul 2005 yang memadamkan semangat itu).

Tujuan hari ini jelas : Pasar Sukowati!. Sebenarnya gak seberapa hobi shopping, tapi oleh-oleh harus dibeli, so I guess this would be the right place. Sampe disana masih sepi (rupanya kita agak terlalu kepagian), tapi beruntung deh karena walaupun sepi, kios-kios udah pada buka. Selama disitu, tertangkap obrolan para pedagang tentang cuaca yang tidak seperti biasanya, panas dan lembab yang nggak karuan!

Sesi pertama, mbak2 dipersilahkan belanja dulu. Anak-anak, setelah beli satu mainan kodok2an, menghabiskan waktu menunggu di innercourt tengah pasar. Setelah lebih 1 jam (rupanya mbak keasyikan belanja, hueheh), gantian Bapak dan Ibuk. Yang paling penting, oleh-oleh buat Bu Guru-nya Bea dan Ustadz-nya Abe (lagi!), buat adik2/ipar2/ponakan2, dan karyawannya Bapak. Setelah itu Ibuk pingin sekali beli alas piknik dan baju2 sehari2 buat kita.

Untungnya, kita langsung nemu penjual yang cocok dan enak diajak tawar-menawar. (Kata brosur online sebuah travel kan memang kegiatan tawar menawar adalah salah satu hal yang paling seru di Indonesia! Salah satunya di Sukowati ini). Hehe. Setelah kita borong dagangannya (cie borong, hihi gayanya... tapi bener kok, untuk karyawan Bapak aja udah 60 potong sendiri, lumayan akhirnya bisa dapet harga bagus, gile harga sampe bisa turun 80% alias dapet “cuma” seperlima dari harga yang ditawarkan), tiba-tiba Mas Iwan dapat kejutan. Pak Nyoman si penjual tiba-tiba saja tanpa permisi memasangkan “udeng” Bali ke kepala Mas Iwan, dan menyematkan bunga kamboja ditelinganya.

Langsung ge-er tuh, kabarnya itu adalah perlakuan orang Bali kalau memberikan penghormatan kepada orang lain, bahwa dia secara simbolis mengangkat kita sebagai “saudara”nya (katanya lho, entah benar atau cuma Mas Iwan yang ke ge-er an aja :-D). Singkatnya anak-anak juga ngiri, dan Bu Komang istrinya dengan senang hati memberikan “udeng”nya untuk anak-anak juga. Sempat puas towel2 Bea (karena katanya dia nggak punya anak cewe), trus foto-foto deh, buat kenang2an. Sempat saling crita2 keluarga masing2, orangnya cepet akrab dan menyenangkan. “Kalau ke Bali lagi, mampir kesini ya??” pesennya berkali-kali.

Sip! Habis dari Sukowati, kita melongok ke Sanur. Hanya “melongok” karena saat itu jam 1 siang! Or else, kita bakalan benar-benar kaya gorengan gosong! Tetapi terbukti, ternyata keluarga ini tidak bisa “hanya” melongok kalau itu menyangkut pantai. Anak-anak udah gatel aja pingin nyemplung. Demi mengalihkan perhatian, akhirnya Bapak memutuskan untuk sewa perahu motor dan keliling seputar pantai. Seru! Habis itu, dengan badan lengket kita pun balik ke apartemen untuk mandi.

Sorenya, kita berencana mengunjungi Kakung Badrus (http://bravobadrus.multiply.com). Beliau adalah adiknya Bapakku yang sudah lama tinggal di Bali dan adalah GM-nya Hotel Ayodya (dulu Hilton) Nusa Dua.

Sebelumnya kita pingin mampir dulu melihat pantai di gugusan Nusa Dua. Sayangnya hujan deras mengguyur dengan tiba-tiba. Duh, jadi ingat kata-kata Bu Komang tadi di Sukowati, bahwa sejatinya di Bali jarang sekali ada hujan. Tumben-tumbennya ya! Cuaca Bali benar-benar kalap hujan dimana-mana! Bli Gede (http://lensahati.multiply.com) malah cerita kalau ada teman yang menghubungkan hujan di Bali dengan kematian Pak Harto (ah masak sih? jujur saja aku udah rada males berurusan dengan kematian Pak Harto, huehheh)

Yahhhhh kecewa juga deh, karena cuma bisa menikmati pinggir pantai dari dalam mobil. Di Nusa Dua sebenarnya banyak sekali permainan dan wahana pantai yang bisa dinikmati. Dari kano, jetski sampai banana boat. Tambah lagi daftar dendam kesumat untuk kembali kesini :-(

Sebenarnya Kakung Badrus beserta keluarga lebih banyak tinggal didalam hotel sehari-harinya. Ketika telepon untuk janjian tadi, ternyata Uti Titin istrinya sedang berada dirumahnya di Taman Mumbul sedangkan Kakung sepertinya sedang sangat sibuk di hotel (sedang in-charge dan kebetulan sedang kedatangan tamu rombongan dalam jumlah besar). Oke deh, kita memutuskan untuk meluncur ke Taman Mumbul aja. Ternyata ada kejutan besar! Tante Wulan, putri sulung Kakung Badrus, yang setelah menikah tinggal di Jakarta, ternyata sedang pulang ke Bali!

Abe dan Bea langsung bersorak semangat begitu tahu akan ketemu lagi dengan Clara dan Audi (anak2nya Wulan). Clara (4tahun) dan Audi (3 tahun) benar-benar sangat menggemaskan! Kalo nggak percaya, lihat aja di foto, merekalah sepupu yang selalu berhasil membuat Bea (yang montok itu) jadi kelihatan mungil. Hahahaha!

We’re having soooo much fun! Rumah jadi meriah dengan jeritan anak-anak. Abe tentu saja jadi pembuat ulah tunggal, jadi monster yang mengejar-ngejar ketiga calon korban yang “ginuk-ginuk” dan kalo berteriak bisa bikin kaca jendela bergetar. Alamakkk!! It’s nothing but chaos there!! :-D

Duuhhhh maaf ya Uti Titin, kita berkunjung ternyata hanya membuat kacau rumah dan berantakan! Tapi jelas-jelas terlihat betapa senangnya anak-anak berkumpul dengan saudara yang karena tinggal berjauhan, jadi jarang bertemu. Kangen jadi terobati dan hampir 3 jam kemudian, pamitpun jadi hal yang sangat sulit dan lama untuk dilakukan. Anak-anak susah putus bermain dan yang dewasa susah putus ngobrol.

Goodbye Clara, Audi, kita besok rencana pulang ke Surabaya ya....semoga kita cepat bertemu kembali. Karena kesibukan Kakung Badrus dan Tante Era (adik Tante Wulan satu-satunya) di hotel yang sampai larut malam, kitapun nggak sempat menunggu mereka pulang. Maaf ya...thx so much for having us there!

Belum lagi sampai di apartemen, anak-anak udah ketiduran di mobil. What a lovely day, along with Clara and Audi. We love being with them so much.
Hari ini hari terakhir kita di Bali karena besok pagi, kita akan pulang kembali ke Surabaya. Udah rindu rumah juga ya... :-)

Next!
Day 5 : Layaknya sebuah film, hari terakhir liburan kita merupakan bagian adegan puncak full-thriller yang akan sangat menegangkan! It’s such a life-death situation if you ask my hiperbolic mind! :-D Wuah! Silakan tunggu postingannya (hang-on, tinggal satu itu aja...yang posting disini diam-diam udah capek juga hihihi).

Senin, 11 Februari 2008

[Bali] Day 3 : Pemakaman Ditengah Liburan Membawa Kami Kembali


sepulangnya, kayaknya hanya ini deh cita2 Abe... :-)

Photo by Mbak Prapti with Sony P100

Senin, 28 Januari 2008

Spoiler : Bagi yang belum baca cerita sebelumnya, mohon dengan sangat untuk membaca dulu disini http://cikicikicik.smaboy.com/images/46/

Kulihat saja dari tadi malam. Mas Iwan resah. Telpon sana, telpon sini. Jalan ngalor, balik lagi ngidul (atau ngetan-ngulon aku tak tau, wong dirumah sendiri saja sampe sekarang masih pake acara mikir kalo ditanya arah angin, apalagi disini). Garuk2 kepala, cubit2 dagu.

Acara di semua channel TV lokal non-stop menyiarkan berita persemayaman dan rencana penguburan Presiden Soeharto. Setelah tanya sana-sini (termasuk ortu dan ustadz), timbang begini-begitu (berat mana antara Pak Harto dan istri cempluknya ini), ukur manfaat-mudharat dari setiap pilihan (juga menyangkut pilihan antara Pak Harto yang sudah almarhum dan istri yang masih bisa ngomel), akhirnya Mas Iwan memutuskan untuk menunda kepergian ke Astana Giribangun Solo sampe sehabis liburan. Dengan begitu, janji masih bisa dia tepati somehow (sambil dalam hati istghfar terus :-D) dan perjalanan dengan anak-anak masih bisa diselamatkan.

:-D

What can I say? Aku cuma bisa tersenyum lebar tanpa henti (pasti seperti Anda juga sekarang ini kan?). Bukan tanda kemenangan lho (apalagi melawan Pak Harto alm, ugh aku tentu bukan tandingan beliau lah), tetapi lebih kepada rasa syukur karena rupanya dibalik euforia dudul suami 10 tahun lalu sudah tidak ada lagi bahaya laten apapun. Apalagi PKI (maklum suasana di TV lagi full soal Pak Harto jaman taun ‘66 nih :-D).

Tapi kalo dilihat-lihat lagi, pagi tadi itu sebenarnya sama dudulnya....

Now here we are, setelah menempuh perjalanan sejauh 500 km lebih dari Surabaya ke Bali, dengan niat menikmati habis-habisan alam indah Pulau Dewata, dan yang kita lakukan seharian hanyalah duduk-duduk nonton TV di apartemen yang kita sewa lumayan mahal ini. Ya! Inilah jalan tengah yang dimaksud Mas Iwan. Jalan tengah yang membawa 2 konsekuensi.

Satu. Sudah diputuskan dengan murah hatinya (paling nggak dibanding kalo kita benar2 pulang, ya kan? :-D), bahwa kita nggak bakalan meninggalkan apartemen sebelum siaran langsung acara penguburan Pak Harto paripurna. Dua. Bahwa ada beberapa tempat yang terpaksa harus mengalah menyingkir tercoret dari list tujuan liburan kita. Itu agar supaya Bapak bisa “menghadiri” pemakaman (dari jauh) dengan khidmat. Jadi ketika Pak Harto dikubur, terkubur juga kesempatan kita kali ini untuk mengunjungi Kintamani, Ubud, Uluwatu, Benoa, Jimbaran, alamaakkkk... :-((( Semoga suatu hari nanti kita masih diberi kesempatan untuk kesana.

Tapi memang harus kuakui, aku pun “menikmati” semua prosesi pemakaman Pak Harto. Yang dengan gengsi tak seberapa kutunjukkan ke Mas Iwan :-D. Yang agak mengganjal tentu adalah anak-anak.

“Bapak, kita boleh renang di kolam yaaa????” tanya Abe-Bea
“Boleehhh puas-puasin deh pagi ini renang!” jawab Bapak
“Asyiikkk” jawab anak-anak polos, kasian, mereka nggak tahu apa yang terjadi. Lebih kasihan lagi karena kemudian si Bapak mengerem mendadak.
“Eiittsss!!!! Tunggu dulu!!! Ada syaratnya!!!” (Oh, come on mas...??)
“Ibuk, siapkan kamera!” (kena juga nih??)

Ternyata syaratnya adalah...well, daripada dijelaskan, akan lebih dramatis kalau dilihat langsung, jadi silakan lihat foto pertama di bawah sana! Astaganaga si Bapak! Huahahahahahah anak-anakpun melakukan prosesi singkat “Upacara Penghrmatan” yang disuruh Jendralnya dengan wajah setengah khidmat setengah bloon tak paham akan apa yang terjadi (lihat aja wajah Bea):-D

Selepas Ashar baru kita cabut, tujuan ke Joger Pabrik Kata-Kata. Alamak penuhnya disanaaaaa, sampe mau bernapas pun rasanya harus kehabisan napas karena rebutan O2 dengan banyak orang!!

Selesai dengan Joger, jadwal baru tidaklah amat mengecewakan karena sore ini anak-anak akan mendapat kesempatan lagi ke Pantai Kuta. Tidak seperti hari pertama kemarin, kali ini sudah full-equipment emang niat nyemplung! Abe langsung tertarik ketika ditawari belajar surfing (for the first time ever, off course!). Jadilah, perkenalannya dengan Om Edo, pelatih surfing asal Medan menjadi sesuatu yang amat mengesankan buat Abe.

Abe berhasil “mengendarai” ombak di percobaan yang ke-2, which is amazing (according to Om Edo) dan kita semua bersorak dengan penuh kebanggaan. Senyum Abe yang lebar kayaknya membuat ujung bibirnya sampai mendekati telinga, sehingga entah berapa liter sudah air laut memenuhi esofagus dan karena kulihat ketawa Abe sampai tergelak-gelak, maka si air itu hanya akan mengalir lebih masuk lagi kedalam tubuhnya. Ironisnya, tepat ketika Abe terbatuk-batuk demi menelan secangkir lagi air laut, hampir 2 jam kemudian (masih dengan papan seluncur terikat di tubuhnya), Om Edo berujar “He’s natural” :-D

Bea juga ikut2an minta papan, dan apa yang terpampang kemudian adalah orang-orang sekitar pada ketawa gemas melihat tingkah Bea dan papannya. Beberapa bule mendekat hanya untuk mencowel perut atau pipinya. Oya, menyangkut ini ada beberapa hal yang menarikku dan menjadi catatan tersendiri, tentang bule, ah kapan2 aku tulis dan posting disini ah..insyaAlloh :-)

Ketika kembali ke mobil, nyaris kehabisan waktu Maghrib, semua berbincang seru di mobil! Topik utama tentu saja adalah keberhasilan Abe yang membuatnya kecanduan ingin surfing lagi. Topik yang lebih utama dan bikin dagelan tentu saja adalah Bea yang bukannya surfing, malah asyik “menggembalakan” papan surfing-nya.

Kembali ke Kuta definitely over the top!! Exceed my expectancy mengingat dudulnya jadwal hari ini. Terimakasih ya Bapak... Maaf kalo dari kemarin banyak omelan dari Ibuk... ^_^

:::::.....

Next!
Day 4 : Semua anggota keluarga kalap! Bahkan Pulau Dewata pun juga ikut-ikutan kalap! Kalap apa dan bagaimana, to be continued... :-)

Sabtu, 09 Februari 2008

[Bali] Day 2: Sejuknya Pegunungan, Akankah Memanggil Kita Untuk Pulang? (Bagian 2)


kabut yang menyelimuti pegunungan

Photo by Me with SE K810i cameraphone

Masih di hari yang sama dengan kisah ini (http://cikicikicik.smaboy.com/images/45/), hari ke-2 kita di Bali...

Keluar dari Kebun Raya “Eka Karya”, dengan membawa kenangan sekaligus dendam dibawah siraman hujan, kita menuju ke list tempat selanjutnya, yaitu Taman Ayun dan Tanah Lot. Perjalanan penuh kabut selama menuruni gunung, sangat kami nikmati....(maklum karena tinggal di Surabaya, pemandangan kabut sejuk adalah suatu kemewahan buat kami, lihat saja cerita ini http://cikicikicik.multiply.com/journal/item/25 ).

Tepat ketika kabut menipis, tak disangka tak diduga, kami mendapat terjangan kabut dalam bentuk lain. Kali ini bentuknya sangat jauh dari kesan sejuk, dan rasanya pun menyesakkan. Kabutnya benar-benar telak membuat hati kami menciut, memampat menyesakkan dada.

Kabut itu datang secara kejamnya melalui sebuah panggilan telepon dari Abah (bapak mertuaku, kakek Abe-Bea) yang mengabarkan sebuah berita.

Barusan tadi, hari ini Minggu, Tanggal 27 Januari 2008, Pukul 13.10 Bpk. H.M. Soeharto meninggal dunia.

Wajah mas Iwan waktu mengabarkan berita itu padaku, sama anehnya dengan wajahku yang mendengarnya. Kami berpandangan seperti “tidak tahu apa yang harus dikatakan atau dilakukan”. Di sisi lain, ada pandangan “menyalahkan” yang kontan kulemparkan ke mas Iwan, tak peduli lagi dengan pandangan “penuh penyesalan” yang terbentuk di wajahnya yang sama sekali tidak membantu.

Dadaku langsung sesak memikirkan kelangsungan dan kelanjutan liburan yang baru saja mulai hangat2nya ini, sebuah kesesakan yang sebenarnya tidak perlu kalau saja kejadian dudul 10 tahun yang lalu itu tidak terjadi....

Sekarang marilah kita sejenak kembali ke 10 tahun yang lalu. Ketika suasana di negeri ini panas, kalut berdebu dan berasap ditengah pergolakan Perjuangan Reformasi melawan tirani kekuasaan yang sudah bersinggasana selama 32 tahun. Waktu yang memang terlalu lama untuk bisa dihadapi manusia manapun yang masih punya tekad untuk terus menjejakkan kaki dan hatinya sebagai “human being” di Bumi ini. Ya, lebih tepatnya marilah kita kembali ke 21 Mei 1998, ketika keputusan pengunduran diri Presiden Soeharto berhasil menggetarkan republik ini sampai ke urat nadi pelosok seluruh negerinya.

Ketika itu, euforia para mahasiswa yang disebut-sebut sebagai lokomotif perubahan, membahana setinggi langit ketujuh. Atmosfer diatas negeri ini dipenuhi oleh adrenalin yang meletup-letup, membuat kemampuan berfikir logis menjadi merosot anjlok digantikan dengan merajanya sifat impulsif di setiap nuansa dan aliran darahnya. Tak terkecuali sekelompok mahasiswa di sebuah kantor Himpunan Mahasiswa Fakultas Teknik Sipil UPN Veteran Surabaya.

Si Ketua Himpunan, mahasiswa semester 8, rupanya paling parah terkena serangan euforia. Tetapi nuansa euforianya sedikit lain dengan kebanyakan mahasiswa waktu itu yang rata-rata rasa bencinya kepada Pak Harto telah mengurat daging. Pengalamannya menikah muda ketika semester 4 lalu mungkin membuatnya lebih bisa merasakan obyektifitas berpikir tentang dunia ini, walaupun kalau dipikir-pikir lagi, kok nggak ada hubungannya ya! (:-D).

Bagaimanapun, dalam benak si Ketua ini, di sisi tertentu, tak akan sempat ada rasa benci untuk Pak Harto, karena ada sebagian hatinya yang juga dipenuhi rasa kagum atas pribadi Presiden ke-2 RI itu. Juga atas tingginya penghargaan terhadap falsafah Jawa, yang seperti semua falsafah kuno lainnya, sangat dalam artinya dan di jaman sekarang ini, jarang bisa diselami dengan sedemikian anggunnya seperti yang dilakukan Pak Harto.

Walaupun dia berdiri paling depan dalam setiap demo, menjinjing TOA yang menjadikannya paling lantang menyerukan agar Soeharto lengser, tetapi ketika itu terjadi, perasaan yang menguasainya juga bertabur keharuan, bahwa ternyata secara pribadi Pak Harto masih mempunyai kebesaran hati yang mengagumkan sehingga masih cukup untuk menegakkan tubuh beliau ketika mengumumkan pengunduran diri itu dengan sikap yang anggun, khas persis seperti seorang pemimpin dan negarawan yang besar.

Dalam hati sang ketua himpunan ini, euforia datang berdesak-desakan dengan adrenalin yang menjadi puncak perjuangan berbulan-bulan demo dan meninggalkan dunia usaha yang baru saja dirintisnya, di sana-sini tersembul rasa keharuan, kekaguman, rasa bangga, dan rasa hormat yang tinggi untuk sesosok Pak Harto.

Yang jelas, dia pasti sudah trance ke dunia impulsif ketika kemudian dihadapan rekan-rekan seperjuangan demo, dikelilingi gegap gempita kemenangan ketika Pak Harto akhirnya benar-benar lengser, terucap janji dari mulutnya...

“Kalau sampai Pak Harto meninggal ketika aku masih hidup, maka aku berjanji akan berangkat ke Solo untuk menghadiri pemakamannya”

Atau yang jelas, ketika itu dia pasti tidak mendapat setitik pun petunjuk, bahwa di masa depan, Pak Harto akan meninggal dunia bersamaan dengan ketika dia sedang mendampingi anak-istrinya yang baruuu saja menginjakkan kaki untuk berlibur di Pulau Dewata...

Oke, sekarang mari kita kembali lagi ke masa kini, dengan suasana yang pasti Anda semua bisa membayangkannya...atau mungkin tidak! &*#(@**@_#*!()!#+_)+_#(+@)#$*(*

“Trus gimana? Apa Mas akan tetep berangkat ke Solo? Pemakamannya besok pagi kan...?”
“Aku juga bingung! Biar aku pikir dulu, kalo perlu ya nanti malam aku cari tiket pesawat ke Solo, tapi yang aku pikirkan, sehabis pemakaman mana gampang cari tiket kembali ke Denpasar? Bandaranya besok pasti ditutup untuk umum kalo memang dilewati jenazah. Paling parah ya aku ngebis ke Semarang atau gimana, trus baru naik pesawat ke Denpasar.”

“Alamak...” melihat wajahnya, aku sudah nggak tega deh mau ndudul2in janjinya seperti yang dulu sering kulakukan. Apalagi kalau melihat wajahku sendiri.
“Paling parah, aku baru bisa kembali ke Denpasar Hari Selasa”
“Hallah! Kita lho mau pulang ke Surabaya Hari Rabu! Mending sekalian aja kita semua pulang sekarang”, aku juga sudah impulsif, karena dikuasai kepanikan dan emosi, hikss...hikss...

“Ya itu juga yang aku pikirin! Meninggalkanmu sendirian sama anak-anak di Bali?? Walaupun cuma sehari tapi aku nggak akan tega melakukannya! Kalau pulang sekarang, anak-anak pasti kecewa –ibuknya juga-, dan rasanya rugi kalo sudah jauh-jauh kesini, tapi cuma disini sehari semalam thok.”

Perjalanan ke Taman Ayun dan Tanah lot, jadi terasa hambar....(jadi maklum kalo nggak ada banyak foto, hanya ada beberapa, itupun dengan wajahku yang tak ceria). Rasa hatiku sudah tak menentu membayangkan liburan yang berantakan disaat sedang seru-serunya...

Ketika hampir 2 minggu Pak Harto dirawat di RS, banyak kali aku –seperti juga teman2 kuliahnya yang pada nelpon mengingatkan janjinya- menggoda Mas Iwan karena itu berarti dia harus bersiap-siap untuk pergi ke Solo. Sampai bosan, dan akhirnya aku berhenti sendiri karena ternyata Pak Harto tak jua meninggal.

Ketika kita berangkat ke Bali, manalah aku mengira bahwa beliau ternyata benar-benar memilih waktu yang amat tepat untuk menghadap Allah SWT.... Hikss...

:-(((((((

:::::....

Next! :
Akankah kelanjutan liburan kita benar-benar terkubur bersama dengan jasad Jenderal Besar Bpk. HM Soeharto? (Bersambung....)

Selasa, 05 Februari 2008

25 Tahun Psikologi Unair dan Temu Alumni

Start:     Feb 8, '08 09:00a
End:     Feb 17, '08
Location:     Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya - Kampus B Jl. Dharmawangsa 10 Sby.
Info selengkapnya ada di www.psikologi.unair.ac.id

Sebelumnya sudah dilaksanakan juga Psyco-Cup (duh nostalgia, dulu aku sempat ikut pertandingan voli :-D) dan Temu Ilmiah Nasional IPPI & IPS.

Rangkaian acara peringatan "25 Tahun Psikologi Unair" berlangsung selama 10 hari Tanggal 8-17 Februari 2008. Dimulai dengan senam pagi bersama, seminar dan Bukan Bazaar Biasa, dan (ini yang kutunggu2) Temu Alumni Angkatan 1983-2008.

Ada juga Studium Generale oleh Prof. Dr. Fendy Suhariadi., M.T., Parade Musik Psikologi dan sebagai penutup rangkaian acara, akan diadakan Psikofest.

Untuk teman-teman yang belum mengetahui info ini, anggap saja ini sebagai undangan (bantu-bantu panitia nih :-D).

Aku pribadi, besok Rabu malam harus menghadiri undangan temennya mas Iwan di Lombok, dan baru kembali ke Surabaya hari Sabtu pagi dengan pesawat pertama, bela2in biar bisa dateng di Temu Alumni, pasti akan seru!! :-D

Buat teman-teman panitia (baca: adik2 mhs dan para dosen), selamat bekerja dan semoga sukses!

[Bali] Day 2 : Sejuk Pegunungan, Akankah Memanggil Kita Untuk Pulang? (Bagian 1)


Photo by Mas Iwan with Olympus E500

(Duhhh bagian paling susah ternyata adalah memilih-milih foto untuk diposting, karena jumlahnya yang bergambreng-gambreng! Hikss...)

Minggu, 27 Januari 2008

Tujuan hari ini : Bedugul – Kebun Raya Eka Karya – Pura Taman Ayun - Tanah Lot.
Cabut dari hotel jam 9 pagi dan perut sudah terisi sarapan roti, kita langsung menyusuri jalan kearah Bedugul.

Setelah melewati satu jam pertama, Abe mulai bosan. Tetapi tidak lama karena kemudian jalanan mulai menanjak dan berkelok-kelok khas pegunungan. Pemandangan sepanjang jalan indah sekali. Di kanan kiri didepan setiap rumah atau bangunan berjejer penjor (umbul-umbul) bambu dengan ornamen janur yang sudah kecoklatan mengering, artistik sekali. Tebakanku pasti ini sisa-sisa Hari Raya Galungan dan Kuningan yang baru saja beberapa hari yang lalu dirayakan.

Setelah perjalanan selama sekitar 2 jam, mata kita langsung terbelalak takjub demi melihat pemandangan Danau Beratan muncul dari jajaran pegunungan yang kita lihat. Suasananya bener-bener persis seperti penggambaran di novel-novel terkenal tentang alam ciptaan Allah yang maha indah.

Semua puas foto-foto. Ibuk dan anak-anak puas jadi model untuk Bapak yang hunting habis-habisan. Mbak Pin dan Mbak Prapti puas karena bisa foto dengan latar belakang seperti di kalender-kalender yang selama ini hanya bisa mereka lihat (ini persisnya kata mereka lho, yaitu perpaduan danau dan Pura di Bedugul itu maksudnya). Bapak dengan iseng malah bilang, “Minta tolong Ibuk aja untuk edit fotonya, dikasih kalender dan di print banyak, nanti biar bisa dibagi-bagikan ke seluruh saudara dan tetangganya di kampung di Magetan sana.” Hahahaha. Boleh juga tuh idenya :-D Mbak sampai ngakak tertawa.

Mbak Prapti –yang memang suka celemotan keceplosan kalo ngomong- sampai bilang “Mbak Pin, taruhan berapa, satu kampung cuman kita berdua yang pernah pergi ke Bali.”
“Iya kok!” sahut Mbak Pin dudul, diajak taruhan kok malah setuju.
-gubrax-

“Walah, kok tau? Memangnya kamu udah pernah tanya2 ke orang sekampungmu?” tanya Ibuk.
“Loh, iya Buk! Kampung kita kan kecil, jadi kita kenal semua orang, dan memang nggak ada yang pernah pergi ke Bali!” jawab Prapti meyakinkan.

Bukan salah Ibuk kalo selanjutnya, keisengan Bapak semakin menjadi. Tiap mbak foto-foto, Bapak pasti nyeletuk. Yang fotonya mau dipasang di kantor Kelurahan si mbak lah, kantor Kecamatan lah, di terminal Magetan lah, sampe Abe juga nyeletuk “dipasang di bis gede-gede kaya iklan ya mbak?” wahahahahaha :-D yang jelas kita ikut senang campur geli melihat mbak2 pada keluar “katrok”nya begitu, karena itu kan pertanda kalo mbak2 are having so much fun! :D

Oya, kalo di album ini ada foto kita berempat sekeluarga, itu semua hasil jepretan Mbak Prapti lho (yaay!! tepuk tangan dong). Untuk keperluan begini, selama 4 tahun ini tinggal dirumah kita, secara berkala Mbak memang mendapat kursus singkat bagaimana memakai kamera, dari kamera hp, pocket sampe SLR. Khusus berguru dari -tentu saja- fotografer amatiran in the house alias Bapak dan Ibuk :-D.

Puas menikmati suasana di Bedugul kita bermaksud cari tempat makan dan sholat. Kalau ada satu hal yang tidak bisa kita lakukan di Bali, itu jelas adalah Wisata Kuliner. Dengan menu “babi guling” bertebaran dimana-mana, tentu tak banyak pilihan tempat makan halal buat kita. Kalaupun ada, sulit untuk memenuhi selera anak-anak karena pilihan biasanya hanya berkisar di masakan Padang yang pedas dan warung Jawa yang tak tahu bagaimana rasa masakannya. Kayanya beberapa hari ini anak-anak akan susah jauh dari seputar fast-food macam McD, KFC atau Pizza Hut. Ya sudahlah, nothing perfect anyway, kind of emergency. Disiasati dengan banyak membujuk anak-anak makan buah-buahan sajalah. Untung dimana-mana ada salak Bali yang kecut segarnya disuka sama semua.

Putar-putar sekitar Bedugul, tak juga menemukan tempat makan yang sreg buat semua. Akhirnya demi melongok persediaan roti yang masih cukup, kita memutuskan untuk makan di mobil or (for better) menemukan tempat piknik. Tadi sepintas Bapak membaca didekat situ ada Kebun Raya Eka Karya (Bali Botanical Garden). Kitapun meluncur kesitu.

Ketika pertama masuk gerbang bertiket Rp. 10.000/orang itu, tak ada yang istimewa. Ah, ini sih hanya kebun biasa, tak ada binatang maupun tanaman yang fantastis atau apa. Tetapi ketika kita memutar ke kanan ke sisi lain, arah kembali ke pintu masuk tadi, mata kita serta merta terbelalak demi melihat hamparan rumput yang sangat luas dan hijau segaaarrrr!

Duuhhhh!!! Segaaaarr sekali! Sejauh yang kita lihat hanya hijaunya padang rumput dengan beberapa pohon peneduh yang sebenarnya perlu nggak perlu (karena hawa sejuk pegunungan membuat suasana seteduh mendung, sama sekali tidak terik dan sangat sempurna untuk piknik). Dibawah setiap pohon banyak sekali orang-orang yang piknik (tak heran parkir mobil penuh berjejer).

Langsung pada “ndeprok” di rumput, nyiapin sandwich buat semua. Abe-Bea sudah kalap lagi, kali ini berlarian mengitari padang rumput hijau yang seluas pandang. Agak jauh disana tampak ada tempat permainan outdoor. Demi melihat anak2 yang meluncur di flying-fox atau yang bergelantungan di rope-ladder, Abe udah langsung bertekad, sehabis makan nanti akan langsung kesitu! Duuhh anak2 bener2 menemukan tempat mereka disini.

Tapiii........

Baruuuuu aja gigitan pertama kudaratkan di sandwichku, tiba-tiba BRESS!!!! Hujan datang tanpa pengumuman sama sekali sebelumnya. MasyaAllah! It looks like quite impossible to distinguish between mountainous-nuance air and rapid-cloudiness in this beautiful greeny place! Kalau ada ungkapan “mendung tak berarti hujan”, maka sepertinya disini berlaku “tak ada mendung bukan berarti tak akan ada hujan”.

Ugghh!! Kulihat semua orang –seperti juga kita- panik membereskan peralatan piknik masing2. Banyak lho keluarga yang kulihat membawa panci2 besar! Juga tenda-tenda kecil. Semua langsung buru2 memasukkan barang-barang tadi ke mobil masing-masing karena hujan benar2 deras!!

Sesampai di mobil kita, terdengar dengungan menyesal dari jok depan sampai jok belakang. Sayang sekali yaaaa???? “Kita tunggu sebentar siapa tahu hujan cepat reda,” kata Bapak, tetapi setelah 15 menitan kita menunggu tampaknya hujan malah semakin deras. Mobil-mobil lain kulihat juga satu demi satu meninggalkan tempat piknik.

Yah...pasrah deh... Sambil dalam hati kita bertekad akan kembali lagi kesini suatu saat nanti (semoga ada jodoh dan umur), kitapun melewati bagian museum biji2an dan museum anggrek yang –tentu saja- tak bisa kita kunjungi lagi. Hikss... Semoga kita masih punya kesempatan kembali ke tempat indah ini dan memuaskan hasrat piknik menikmati indahnya alam pegunungan. Kalo perlu seharian!! Or even more!!

:::::.....

(Maap maap, berhubung tulisannya sudah cukup panjang sampai disini –dan foto2pun juga sudah segambreng- maka bersambung aja dulu ya :-D. Tentang peristiwa dudul menyangkut soal dudul si Bapak yang mengancam kelanjutan liburan kita itu, akan bisa diketahui di bagian selanjutnya, just stay tune! ;-D)

Sabtu, 02 Februari 2008

[Bali] Day 1 : Tersesat Indahnya Pantai Kuta


Fotonya ditaruh didepan biar jadi judul album dan muncul di inbox hueheheh

Photo by Mas Iwan with Olympus E500

Sabtu, 26 Januari 2008

Dari Bandara Juanda Surabaya, pesawat berangkat jam 10.55 dan mendarat 11.45 WIB di Bandara Ngurah Rai Denpasar. Dengan alasan yang kamipun tidak tahu kenapa, kami memutuskan untuk tetap memakai Waktu Indonesia Barat di semua penunjuk waktu kita selama di Bali.

Selama di airport sampai di penerbangan tadi, tidak ada yang istimewa terjadi. Abe-Bea cerewet tak pernah berhenti ngomong, tanya ini itu all the time, tak sabaran di semua proses menuju ke pesawat dan menjadikan semua bagian airport tempat bermain yang atraktif dan eksploratif sampai beberapa kali bikin aku deg2an terutama Bea yang masih balita (bergelantungan di setiap palang pembatas di ruang tunggu dan sempat berdiri2 di kursi pesawat). Sekali lagi, hari yang biasa (baru akan menjadi istimewa jika –misalnya- anak2ku tiba-tiba menjadi pendiam, pelamun dan puas hanya mendengarkan sepatah dua patah kata2 orangtuanya). Hehe...

Dari bandara Ngurah Rai, segera setelah berkumpul dengan mobil yang berisi Mbak Pin, Mbak Prapti dan Om Komo (begitulah kami memanggil Pak Solichin, salah satu sopir gudang) yang sudah berangkat lewat darat sejak tadi malam, kitapun berniat menuju hotel untuk “ngepos” terlebih dahulu. Bapak yang selamanya tidak pernah terbiasa duduk di kursi penumpang langsung saja pegang stir (kata banyak orang, inilah enaknya kerja sopir sama Bapak, karena kalau pergi sama Bapak, Pak Sopir malah akan lebih sering duduk di kursi penumpang :-D)

Nah! Disinilah kedudulan berawal....
(dan rentetan snare drum yang dipukul getar pun mulai berbunyi sebagai musik latar :-D)

Selama ini keperluan kantor mas Iwan sehari-hari bisa dibilang hanya sebatas saku bajunya, yang berisi komunikator dan pulpen. Maksimal sampe tas ranselnya deh, yang –biasanya- berisi laptop dan bendel2 laporan keuangan bulanannya. Dimanapun dia berada, disitulah dia bekerja. Termasuk siang ini. Sejurus setelah mendarat dan handphone ON lagi, seperti tak putus panggilan telepon dia lakukan (atau terima). Aku sudah terbiasa melihat ini. Sebagai gambaran saja, dia sudah terbiasa menyetir, sambil telepon dijepit oleh telinga dan bahu (dia benci handsfree) dan tangannya sambil menyetir sambil menulis di secarik kertas diatas stir mobil. Kalo saja kampanye melarang berhandphone sambil menyetir sudah benar-benar diterapkan, suamiku tercinta pasti akan sudah tertangkap di jam2 pertama.

Yang aku tidak terbiasa, adalah bahwa hari ini kami di Bali, tentu saja aku buta jalan dan rute. Aku juga kadung tidak terbiasa “kritis” soal jalan bila yang menyetir adalah mas Iwan. Buat apa? Dia sudah bak peta berjalan dan meskipun ini Bali, toh dia sudah beberapa kali ngubek-ngubek Bali dengan menyetir sendiri. Kalo kata iklan : sudah terbukti. :-D

Yang lain masih dengan amazing menikmati nuansa baru atmosfer Bali, dan Mas Iwan masih asyik dengan teleponnya ketika lama kemudian Om Komo bilang “Nggak kebablasen tah boss dalane?” (Nggak kebablasan nih jalannya?)

“Haa??” Si Bapak langsung celingukan lihat pinggir jalan kanan kiri dan seperti baru terkena lemparan batu di bagian yang tepat di otaknya (yaitu di lokus tempat keluarnya mr.insight alias pencerahan), diapun dengan suara meyakinkan mengumumkan,

“Kita tersesat!!!!

-gubraxxx- (ini adalah waktu dimana dalam film kartun atau komik Ninja Boy, kepala semua orang tiba-tiba menghilang dari layar kaca atau buku karena pingsan, dan hanya menyisakan kepala si pembuat ulah dan beberapa garis lengkung-lengkung pendek disekitarnya, tanda baru saja ada gerakan yang mendadak, mengejutkan dan dramatis)

Yang paling panik bereaksi tentu Abe “Gimana niiihhh???”
Bea cuman membeo “Kita tersesat ya?? Ibuk, kita tersesat lhooo”

Welcome to Bali everyone!

Rupanya ketika bertelepon, mas Iwan terlewat melihat bangunan ruko yang dia ingat sebagai penanda dekat tempat menginap kita, dan kita pun sudah jauuuh kebablasan melewati Jl. Bypass Ngurah Rai - Sanur, hampir 20 km dan ditambah lagi jalan kembar yang minim tempat berputar membuat acara tersesatnya menjadi 1 jam lebih! Puas deh Bapak “diomeli” sama dirinya sendiri, dan juga anaknya, dan juga istrinya, dan juga ketawa “maklum” om Komo (yang bagi Bapak pasti terdengar seperti omelan juga).

Karena tak ingin kehilangan dhuhur sampai ke penginapan, makan siangpun cukup beli di drive-thru McDonald dan kita pun bergegas menuju tempat menginap. Omelan untuk Bapak berubah menjadi pujian begitu kita sampai di tempat menginap pilihannya. Berbentuk apartemen dengan 2 kamar, masing-masing dengan kamar mandi dan TV didalamnya, livingroom dengan TV (lagi), dan dengan pantry yang lumayan lengkap, looks perfect!

Sehabis makan, anak-anak langsung kalap demi melihat kolam renang pas didepan kompartemen kita. Membujuk mereka untuk menunggu matahari agak condong kebarat rasanya seperti merangkak naik tebing curam saja beratnya. Begitu terik mereda anak-anak langsung menceburkan diri ke kolam renang. Setelah berenang, lapar lagi, makan lagi, baru anak-anak agak tenang.

Sorenya, habis Ashar kita pergi ke Pantai Kuta. Anak-anak –jelas- kalap lagi! Bapak juga kalap dengan kameranya. Terakhir kali aku kesini 4 tahun lalu, ketika menghadiri pernikahan sepupuku disini. Waktu itu Abe baru 2 tahun dan aku sedang hamil Bea 5 bulan. Tak urung kalimat tasbih meluncur berkali-kali, terutama dari mulut mbak yang baru pertama kali kesini. Seneng juga rasanya melihat mbak sama kalapnya dengan anak-anak :-D

Rencana awal untuk “hanya” duduk2 dan jalan2 di pantai, buyar! Hampir dua jam lamanya kemudian, nyaris maghrib ketika akhirnya aku berhasil “menggeret” anak-anak keluar dari air. Kukira akan gampang mengajak mereka keluar karena sudah cukup lama berenang di pantai (sambil nunggu Bapak yang pingin hunting foto sunset). Toh sebelum ke Kuta mereka juga sudah berenang di hotel. Tetapi ternyata mulutku pun harus berbusa bahkan lebih banyak dari busa deburan ombak sebelum akhirnya mereka mau masuk kemobil lagi. Dohhh!!

Sebelum sampai ke hotel, Bea sudah ketiduran diperjalanan –padahal belum mandi!- dan Abe sudah kelihatan persis seperti pisang goreng, lengket dan coklat gelap. Hahaha. Bea pun terpaksa dimandiin dalam keadaan tidur (can you imagine that??).

Sehabis menidurkan anak-anak yang – pasti- sudah gempor, aku ikut menemani mas Iwan mengantar Om Komo ke Terminal Ubung untuk kemudian kembali ke Surabaya dengan bus patas. Sempat menikmati suasana malam di jalanan sepanjang Bypass Ngurah Rai - Sanur-Denpasar-Ubung, sambil beli kebutuhan logistik di Circle-K terdekat, mampir di RM Padang untuk makan dan bungkus nasi Padang buat mbak2.

Sesampainya di hotel kita pun ikut nggelosor menyusul anak-anak yang sudah terbawa mimpi...mimpi “tersesat” di keindahan Pantai Kuta...

:::::.....

Next!

Day 2 : Baru saja hari kedua kita di Bali, gara-gara soal dudul si Bapak, nasib liburan kita sudah terancam buyar berakhir dan berantakan! Ada apa gerangan, tunggu kelanjutan cerita dudulnya! :-((

(To Be Continued)