Tampilkan postingan dengan label artikel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label artikel. Tampilkan semua postingan

Rabu, 05 Agustus 2009

Kisah Ajaibnya Kata "JANGAN"

Just wanna share this. Tulisanku di Majalah Sekolah "Al Hikmah" bulan ini. Versi lengkapnya, pdf, bisa didownload disini.


KISAH AJAIBNYA KATA “JANGAN”
Oleh : Wahida Ariffianti  

Sekitar 25 tahun yang lalu, saya punya seorang teman sepermainan. Dia laki-laki dan galaknya minta ampun. Suatu hari tanpa sengaja saya terpukul oleh dia cukup keras, pas di mata kanan saya. Saya pun menangis kesakitan. Apa yang kemudian dilakukan teman saya itu? Dia berseru “Jangan menangis!”. Akibatnya, saya pun semakin keras menangis.  

Sebagai orangtua, kita tentu pernah mengalami, bahwa ketika kita melarang anak-anak kita berbuat sesuatu (misalnya : jangan ribut, jangan ganggu adik, atau jangan rewel), yang terjadi adalah sebaliknya, anak-anak malah semakin menjadi, malah melakukan apa yang kita larang tadi.  

Sudah lama saya diam-diam menyadari (mungkin sejak terpukul di mata 25 tahun yang lalu itu), bahwa kata “JANGAN” seringkali sangat tidak efektif untuk menghentikan sebuah perilaku. Karena apatis dengan kata ini jugalah, saya pun akhirnya seringkali memilih untuk melakukan trik “pengalihan perhatian” ketika anak-anak berbuat sesuatu yang tidak saya kehendaki. Mengalihkan perhatian sekedar supaya dia berhenti melakukan perbuatannya yang tadi, dan seringkali ini pun sangat susah dilakukan (yang dalam banyak kejadian, mengalihkan perhatian juga sangat menyita waktu, tenaga dan juga emosi).

Yang sungguh-sungguh tidak saya pahami, adalah KENAPA? Kenapa kata “JANGAN” ini sangat tidak efektif?? Sangat ajaib karena efeknya seringkali justru berlawanan dengan maksud diucapakannya kata itu sendiri.  

Jawabannya secara ilmiah baru saya temui beberapa waktu lalu di sebuah kelas pelatihan NLP for Parenting yang saya ikuti. Waktu itu dr. A. Fadly Noor (narasumber yang juga seorang dokter dan master NLP) membeberkan tentang bagaimana struktur dan fungsi otak kita. Dan bagaimana perilaku kita sangat ditentukan oleh apa yang sedang terjadi di otak kita.  
Selain membeberkan betapa luar biasanya organ tubuh ciptaan Allah ini dalam menentukan perilaku kita, dr. Fadly juga menggambarkan bagaimana cara kerja sel-sel neuron-neuron dalam otak kita. Sel-sel neuron adalah sel-sel pembentuk otak yang bertanggung-jawab pada proses penerimaan dan pengolahan data yang kita terima dari alat indera, dan karenanya sel-sel neuron bertanggungjawab pada suatu tindakan kita. Tetapi rasanya bukan ini yang ingin saya bahas disini, karena saya tentu akan sangat tidak kompeten menjelaskan hal yang sangat tidak saya kuasai ini.  

Satu fakta dari hasil penelitian yang dikemukakan dr. Fadly adalah, bahwa dalam melaksanakan tugasnya neuron otak kita cenderung jauh lebih gampang menerima VERB (KATA KERJA). Dan ah, berbarengan dengan ucapan dr. Fadli selanjutnya saya juga langsung membatin, tentu saja, kata “JANGAN” bukanlah merupakan kata kerja! Karena bukan merupakan kata kerja, maka kata “JANGAN” atau “DON’T” atau yang sejenisnya, akan jauh lebih sulit diterjemahkan oleh neuron kita.  

Jadi, lanjut dr. Fadly memberi contoh, ketika kita menyerukan “Jangan Berteriak” kepada anak kita, maka yang cepat direspon oleh otak si kecil adalah jenis kata verb, yaitu “Berteriak” nya sehingga otomatis si kecil akan cenderung malah berteriak!  

Kata “JANGAN” juga seringkali tidak efektif menghentikan suatu perbuatan karena kata “JANGAN” lebih merujuk pada suatu pencegahan (sebelum sesuatu itu terjadi). Misal, ketika anak kita akan berangkat main sepeda dan kita memberi pesan “Jangan jauh-jauh” itu akan lebih mudah diterima karena toh si anak belum memulai kegiatan bersepedanya. Tetapi ketika 25 tahun yang lalu saya menangis (perbuatan “menangis” sudah kadung saya lakukan), maka kata-kata “Jangan Menangis” tidak akan efektif lagi menghentikan perbuatan saya, karena perbuatan itu sudah terjadi, tak dapat dicegah lagi. Neuron otak saya malah sangat cepat menangkap verb “menangis” sehingga tangisan saya pun malah semakin menjadi.  

Lantas, bagaimana caranya kalau suatu waktu kita harus menghentikan suatu perbuatan yang sudah kadung dilakukan, sedangkan perbuatan itu tidak kita inginkan (misalnya dilakukan oleh anak kita)?

Waktu itu, dr. Fadly memberikan alternatif, gunakanlah kata “BERHENTI”. Karena “BERHENTI” adalah merupakan kata kerja.  

Ah..seandainya waktu itu teman saya berkata “Berhentilah Menangis”, apalagi dengan intonasi yang lembut, mungkin serta merta saya akan menghentikan tangisan saya ya...



:::::.....

Rabu, 05 Maret 2008

Bintang Kelas dan Ranking Pertama

Menyambung postingan ini, dan seorang teman yang mengeluh tak bisa buka Friendster, maka ini adalah reposting. Postingan aslinya bisa dilihat disini. Semoga bermanfaat.
:::::.....

(Seperti dimuat di Majalah "Al-Hikmah") ( www.alhikmahsby.com )

RANKING SATU DAN BINTANG KELAS

Sudah lama saya merasa prihatin dengan istilah diatas, bahkan jauh semenjak saya belum menjadi orangtua dan wali murid. Sebenarnya keprihatinan saya bukanlah terarah kepada denotasi atau artinya, tetapi lebih kepada konotasi atau maknanya, terutama di kalangan orangtua dan wali murid yang selama ini banyak saya temui.

Menurut saya, makna ‘ranking satu’ dan ‘bintang kelas’ selama ini telah banyak mengalami overrated, terlalu dibesar-besarkan dan akibatnya, pengaruhnya terhadap perkembangan anak kita (siswa) juga menjadi agak berlebihan dari porsi yang semestinya. Kata-kata itu seolah-olah mempunyai kekuatan sihir magis yang bisa membuat para orangtua menempuh apa saja supaya si anak bisa menyandangnya. 

Sekali lagi, saya tidak punya masalah dengan arti denotatif dari istilah tersebut. Adalah hal yang sangat bagus dan membanggakan bila kita bisa mempunyai anak yang menyandang ‘label’ bintang kelas atau ranking satu di kelasnya. Siapapun orangtua –termasuk saya- pasti akan merasakan kebanggaan yang sama. Masalahnya, dalam satu kelas (yang terdiri dari berpuluh murid) hanya akan ada sebagian kecil (atau hanya satu) yang akhirnya mendapat predikat itu. Dari sinilah keprihatinan saya berawal.

Pertama, menyangkut proses yang harus ditempuh anak-anak tersebut sebelum akhirnya berhasil menjadi ranking satu atau bintang kelas di sekolahnya. Ada anak-anak yang memang dilahirkan untuk mempunyai kemampuan akademik yang cemerlang. Kemampuan akademik yang saya maksud disini mengacu pada hal-hal yang ‘dinilai dengan angka’ oleh guru-guru di sekolah. Mungkin si anak pandai matematika (meskipun tidak semua anak yang pandai berhitung bisa mandapat nilai matematika yang bagus), mungkin juga hebat dalam menghafal teori dan rumus-rumus, dan lain sebagainya. Mungkin pernah kita jumpai ada anak yang walaupun jarang (atau malah tidak pernah) belajar, tetapi selalu bisa menjawab ulangan dan melalui ujian dengan nilai sempurna. Intinya, anak model ini bisa menjadi ranking satu tanpa mengorbankan keseimbangan sisi-sisi perkembangan lainnya. 

Tetapi ada anak-anak yang demi mengejar predikat ini, mereka harus melalui serangkaian jam belajar harian ekstra disiplin, jadwal les yang amat ketat, ‘cambukan’ yang cukup keras dan terus-menerus dari orangtua, terkadang (seakan belum cukup) disertai dengan sedikit ‘ancaman’ bahwa si anak tidak akan mendapat hadiah ini dan itu kalau sampai semester ini tidak ranking di sekolah. Memang, mungkin mereka akan berhasil menjadi ranking pertama. Mungkin. Tetapi, sudah menjadi kepastian mereka akan kehilangan banyak hal yang bisa mengancam keseimbangan perkembangannya. Sebutlah, waktu bermain (saya selalu memimpikan suatu waktu dimana semua orangtua menganggap kegiatan bermain bebas sebagai hal yang serius dan berpengaruh besar untuk perkembangan anak-anak kita) dan bergaul secara luas dalam lingkungan sosial. Menimbang hal ini, rasanya usaha yang harus ditempuh si anak demi menjadi ‘ranking satu’ seperti tersebut diatas sudah agak berlebihan. Saya pernah melihat seorang anak berusia 8 tahun yang karena kecewa tidak mendapatkan nilai sempurna dalam suatu ulangan, harus kehilangan nafsu makan dan keceriaannya selama beberapa hari. Tentu menjadi keprihatinan saya bahwa si anak bisa-bisa tumbuh menjadi pribadi yang perfeksionis dan secara emosi mengalami kesulitan dalam menghadapi suatu kegagalan.

Kedua, keprihatinan saya menyangkut reaksi sebagian orangtua yang ketika anaknya gagal mencapai prestasi akademik yang mereka inginkan, seakan-akan merasa bahwa itu adalah akhir dari keberhasilan mereka sebagai orangtua. Menyangkut hal ini, ada satu cerita yang mudah-mudahan akan berguna untuk saya bagi (semoga Allah SWT menjauhkan saya dari riya’ lewat cerita ini, amin). 

Semenjak saya duduk di bangku TK sampai bertahun-tahun kemudian, predikat ranking satu dan bintang kelas sudah melekat begitu saja di diri saya. Sejauh yang saya ingat, saya tidak pernah mendapat jadwal belajar khusus (saya malah jarang sekali belajar) atau les dan kursus pelajaran ini itu dari orangtua. Yang dilakukan orangtua saya malah memasukkan saya ke sebuah klub badminton karena memang saya meminta. Saya sangat menikmati hari-hari penuh latihan dan  beberapa kali menang di kejuaraan menjadi kenangan yang sampai sekarang masih terasa manis dan membanggakan (lebih dari kenangan tentang ranking satu itu sendiri). Asyik dengan badminton, pun, tetap saja predikat ranking satu masih melekat, sampai saya berhasil menyelesaikan SD dalam waktu 5 tahun saja (saya coba diikutkan Ebtanas oleh sekolah ketika saya duduk di kelas 5, dan karena NEM saya mencapai 3 besar se-Kecamatan, akhirnya saya langsung dinyatakan lulus SD).

Keadaan berubah drastis ketika beberapa tahun kemudian saya berkenalan dan aktif di OSIS. Saya sangat menikmati dunia organisasi dan merasa disinilah saya bisa berkembang dengan sangat baiknya. Saking drastisnya, waktu kelas 2 SMA saya pernah berada di ranking 46 dari 48 siswa! Alias menjadi satu dari 3 siswa yang paling buruk nilai rapornya! Aktif di OSIS lah yang menjadi biang keladi. Apa komentar orangtua saya? Mereka hanya bilang, apa yang ada di buku rapor hanyalah angka bagi mereka, dan bila saya bisa tumbuh menjadi pribadi yang bisa menempatkan diri dengan baik, sebagai hamba Alloh dan anggota masyarakat, maka itulah prestasi mereka yang sebenarnya sebagai orangtua. Subhanalloh... (Ya Alloh, robbighfirli wali wali dayyaa, warhamhumaa kamaa robbayani shoghiroo...) 

Yang ingin saya sampaikan dari cerita ini, adalah ketika sekarang saya menoleh kebelakang, hal-hal yang saya dapatkan di organisasi (ketika saya belajar bekerjasama dan berhubungan dengan banyak orang, mengalami jatuh bangun dan kesulitan menyelenggarakan berbagai event di sekolah/kampus, dlsb.) jauh lebih banyak memberikan manfaat dalam hidup saya sekarang, dibandingkan prestasi akademik saya (saya akan angkat tangan kalau Anda tanya apa rumus luas lingkaran, atau nama kimiawi belerang atau menyebutkan diluar kepala pasal-pasal UUD 1945, hal-hal yang dulu saya kuasai dengan baiknya).

Intinya, kalau memang anak kita tidak menjadi ranking satu atau dua atau tiga (atau dua puluh sekalipun), so what? Sama seperti semua anak-anak lain di seluruh penjuru dunia, dia pasti (PASTI !!) mempunyai minimal satu bidang yang akan bisa mengantarkan dia menjadi pribadi yang sukses di kemudian hari. Entah itu berawal dari kegemarannya bermain sepeda dan sepakbola, atau keahliannya mendebat dan bernegoisasi dengan kita orangtuanya, atau kemampuannya berkreativitas dan menghayalkan hal-hal fantastis yang diluar realita (hal-hal yang seringkali justru kita sepelekan). Yang perlu kita lakukan hanyalah percaya akan hal ini, menemukan potensi dan mendukungnya dengan cara mengusahakan agar anak-anak kita tumbuh secara optimal, seimbang dan penuh dengan keceriaan. 

***

Saya seringkali mendapat pertanyaan dari teman, “menurut kamu, sekolah yang baik itu yang gimana, sih?”

Menurut saya, sekolah yang baik itu (diantaranya) adalah sekolah yang tidak mendewakan muridnya yang mendapat ranking satu.

Kalau sekolah terbaik?

Menurut saya, sekolah terbaik adalah sekolah yang bisa menjadikan semua siswanya (SEMUA, TANPA TERKECUALI) menjadi “BINTANG” di kelasnya masing-masing.

Wallohua’lam bishawab....

***