Tampilkan postingan dengan label pendidikan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pendidikan. Tampilkan semua postingan

Rabu, 05 Agustus 2009

Kisah Ajaibnya Kata "JANGAN"

Just wanna share this. Tulisanku di Majalah Sekolah "Al Hikmah" bulan ini. Versi lengkapnya, pdf, bisa didownload disini.


KISAH AJAIBNYA KATA “JANGAN”
Oleh : Wahida Ariffianti  

Sekitar 25 tahun yang lalu, saya punya seorang teman sepermainan. Dia laki-laki dan galaknya minta ampun. Suatu hari tanpa sengaja saya terpukul oleh dia cukup keras, pas di mata kanan saya. Saya pun menangis kesakitan. Apa yang kemudian dilakukan teman saya itu? Dia berseru “Jangan menangis!”. Akibatnya, saya pun semakin keras menangis.  

Sebagai orangtua, kita tentu pernah mengalami, bahwa ketika kita melarang anak-anak kita berbuat sesuatu (misalnya : jangan ribut, jangan ganggu adik, atau jangan rewel), yang terjadi adalah sebaliknya, anak-anak malah semakin menjadi, malah melakukan apa yang kita larang tadi.  

Sudah lama saya diam-diam menyadari (mungkin sejak terpukul di mata 25 tahun yang lalu itu), bahwa kata “JANGAN” seringkali sangat tidak efektif untuk menghentikan sebuah perilaku. Karena apatis dengan kata ini jugalah, saya pun akhirnya seringkali memilih untuk melakukan trik “pengalihan perhatian” ketika anak-anak berbuat sesuatu yang tidak saya kehendaki. Mengalihkan perhatian sekedar supaya dia berhenti melakukan perbuatannya yang tadi, dan seringkali ini pun sangat susah dilakukan (yang dalam banyak kejadian, mengalihkan perhatian juga sangat menyita waktu, tenaga dan juga emosi).

Yang sungguh-sungguh tidak saya pahami, adalah KENAPA? Kenapa kata “JANGAN” ini sangat tidak efektif?? Sangat ajaib karena efeknya seringkali justru berlawanan dengan maksud diucapakannya kata itu sendiri.  

Jawabannya secara ilmiah baru saya temui beberapa waktu lalu di sebuah kelas pelatihan NLP for Parenting yang saya ikuti. Waktu itu dr. A. Fadly Noor (narasumber yang juga seorang dokter dan master NLP) membeberkan tentang bagaimana struktur dan fungsi otak kita. Dan bagaimana perilaku kita sangat ditentukan oleh apa yang sedang terjadi di otak kita.  
Selain membeberkan betapa luar biasanya organ tubuh ciptaan Allah ini dalam menentukan perilaku kita, dr. Fadly juga menggambarkan bagaimana cara kerja sel-sel neuron-neuron dalam otak kita. Sel-sel neuron adalah sel-sel pembentuk otak yang bertanggung-jawab pada proses penerimaan dan pengolahan data yang kita terima dari alat indera, dan karenanya sel-sel neuron bertanggungjawab pada suatu tindakan kita. Tetapi rasanya bukan ini yang ingin saya bahas disini, karena saya tentu akan sangat tidak kompeten menjelaskan hal yang sangat tidak saya kuasai ini.  

Satu fakta dari hasil penelitian yang dikemukakan dr. Fadly adalah, bahwa dalam melaksanakan tugasnya neuron otak kita cenderung jauh lebih gampang menerima VERB (KATA KERJA). Dan ah, berbarengan dengan ucapan dr. Fadli selanjutnya saya juga langsung membatin, tentu saja, kata “JANGAN” bukanlah merupakan kata kerja! Karena bukan merupakan kata kerja, maka kata “JANGAN” atau “DON’T” atau yang sejenisnya, akan jauh lebih sulit diterjemahkan oleh neuron kita.  

Jadi, lanjut dr. Fadly memberi contoh, ketika kita menyerukan “Jangan Berteriak” kepada anak kita, maka yang cepat direspon oleh otak si kecil adalah jenis kata verb, yaitu “Berteriak” nya sehingga otomatis si kecil akan cenderung malah berteriak!  

Kata “JANGAN” juga seringkali tidak efektif menghentikan suatu perbuatan karena kata “JANGAN” lebih merujuk pada suatu pencegahan (sebelum sesuatu itu terjadi). Misal, ketika anak kita akan berangkat main sepeda dan kita memberi pesan “Jangan jauh-jauh” itu akan lebih mudah diterima karena toh si anak belum memulai kegiatan bersepedanya. Tetapi ketika 25 tahun yang lalu saya menangis (perbuatan “menangis” sudah kadung saya lakukan), maka kata-kata “Jangan Menangis” tidak akan efektif lagi menghentikan perbuatan saya, karena perbuatan itu sudah terjadi, tak dapat dicegah lagi. Neuron otak saya malah sangat cepat menangkap verb “menangis” sehingga tangisan saya pun malah semakin menjadi.  

Lantas, bagaimana caranya kalau suatu waktu kita harus menghentikan suatu perbuatan yang sudah kadung dilakukan, sedangkan perbuatan itu tidak kita inginkan (misalnya dilakukan oleh anak kita)?

Waktu itu, dr. Fadly memberikan alternatif, gunakanlah kata “BERHENTI”. Karena “BERHENTI” adalah merupakan kata kerja.  

Ah..seandainya waktu itu teman saya berkata “Berhentilah Menangis”, apalagi dengan intonasi yang lembut, mungkin serta merta saya akan menghentikan tangisan saya ya...



:::::.....

Senin, 24 Maret 2008

4M : Apakah Itu??

Jadi inget soal ini gara-gara baca postingannya Kak Mia yang ini.

Beberapa waktu yang lalu, dalam rangka merumuskan mekanisme Quality Control (QC) untuk Sekolah Al Hikmah, diadakan hearing dengan para ahli manajemen pendidikan sekolah. Salah satunya adalah Prof. Dr. Ibrahim Bafadal, M.Pd, Dosen Universitas Negeri Malang yang juga seorang ahli manajemen pendidikan sekolah. Beritanya ada disini.  

Anyway. Salah satu poin yang bisa diambil dari konsultasi kepada beliau ini, adalah tentang kondisi pendidikan dasar sekarang ini di Indonesia. Beliau cerita, suatu waktu diadakan penelitian. Dari penelitian itu bisa disimpulkan, bahwa pengetahuan anak-anak SD Indonesia ternyata melesat tinggi, jauh melebihi anak-anak negara lain, bahkan negara-negara maju macam Singapore, Jepang, USA atau bahkan beberapa negara di Eropa. Standar kesulitan pelajaran-pelajaran di SD kita ternyata lebih tinggi dibanding negara-negara itu.

Tetapi... –menghela napas-... keadaan menjadi berbalik 180 derajad ketika anak-anak ini menginjak usia SMP-SMA bahkan masuk bangku kuliah. Kita amat jauh tertinggal. Kenapa pasal?? 

Menurut Pak Ibrahim, ini karena ketika di SD, anak-anak Indonesia memang dicekoki dengan beban pelajaran yang banyak. Karena itu pengetahuan mereka pun sudah mampu melebihi anak-anak negara lain. Dengan bercanda, beliau mengatakan bahwa semua pengetahuan memang diusahakan dijejalkan, baik itu pengetahuan yang “perlu” maupun yang “nggak perlu”. Salah satu contoh yang dibilang “nggak perlu” itu misalnya, menghapal nama-nama menteri (toh ketika siswa hapal, kemudian kabinet berganti lagi kan?).

Nah, di sisi lain disaat anak-anak Indonesia sibuk menghapal rumus-rumus rumit matematika dan nama-nama menteri ini, apa yang dilakukan siswa2 SD negara2 maju? Memang membosankan, tetapi yang mereka pelajari dalam kurikulum mereka hanyalah seputar 4M : Membaca, Menulis, Melisankan dan Menghitung (Matematika Dasar). 

MEMBACA : meliputi semua serba-serbi membaca, dari pelajaran dan latihan teknik membaca cepat (speed reading) sampai dengan bagaimana memahami berbagai bahasa sastra, memahami berbagai bentuk gambar dan tulisan. Pokoknya membaca dalam arti yang luas!

MENULIS : juga menulis dalam arti luas, dari membuat review, narasi sampai menulis fiksi dan menggambarkan bagaimana perasan mereka lewat tulisan. 

MELISANKAN : melisankan disini meliputi segala macam kemampuan komunikasi, dari mengemukakan pendapat, mengulas apa yang dibaca, apa yang ditulis sampai dengan diskusi interaktif.

MENGHITUNG : memahami dan menguasai dasar-dasar menghitung dan logika yang menjadi dasar dan muara munculnya segala macam rumus-rumus (yang di Indonesia mati2an dihafal satu-persatu itu). 

Intinya, 4M ini adalah dasar-dasar keilmuan. Dengan ditumbuhkannya 4M sedari usia dini diharapkan siswa akan mempunyai kepekaan dan keingintahuan yang tinggi akan ilmu, apapun ilmu itu! Siswa dilatih untuk merasa ingin tahu terhadap segala hal, dan dibekali dengan kemampuan untuk memuaskan rasa ingintahunya itu, mencari tahu dan menemukan jawaban dengan kemampuan dan keinginannya sendiri. Budaya inilah yang akan terbawa sampai mereka sampai di pendidikan menengah atau pendidikan tinggi sekalipun. Mereka menjadi mandiri dalam mencari ilmu.

Sekarang mari kita kembali ke SD di Indonesia... 

Apa yang akan mereka pelajari hari ini, sudah diatur oleh kurikulum sekolah. Hari ini mereka dikasih tahu apa rumusnya mengukur luas lingkaran, besoknya luas segitiga, besok laginya luas jajaran genjang. Pelajaran membaca hanya ada di beberapa jam dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia. Apalagi menulis dan menceritakan kembali??

Segala hal yang mereka ketahui, berasal dari petunjuk guru atau buku paket. Bahkan kalau mereka sedang penasaran dengan biografi Einstein atau Thomas Alfa Edison sekalipun, kadang-kadang rasa ingin tahu mereka harus terbunuh karena sebelum mereka ada waktu memenuhinya, waktu mereka sudah keburu habis untuk menghafal hukum-hukum relativitas atau listrik atau menghapal luar kepala berpuluh rumus yang bisa muncul dari teori Einstein dan Edison. Rumus yang sebenarnya bisa mereka temukan sendiri begitu memahami hukum2 dan teorinya.

Akibatnya, siswa-siswa di Indonesia ini terbiasa didikte dalam mencari ilmu. Bahkan Pak Ibrahim bilang, akibat lainnya adalah bila ada guru di kelas, anak-anak bisa belajar dengan baik tetapi giliran gurunya tak ada, mereka kebingungan. Mereka tidak terbiasa mencari ilmu dengan mandiri. Bahkan tak jarang, tidak masuknya gurupun menjadi kabar gembira yang salah kaprah. “Asyiikkk kelas kosoonggg...berarti kita bisa bebas bermaiinnnn!!!!” Bebas bermain ketika guru tak ada? Sungguh menyedihkan, karena ini berarti ketika para guru ada, siswa-siswa itu merasa terpenjara, merasa tak bisa bebas dalam mendapatkan ilmu pengetahuan....

(Mimpi itu...tentang suatu saat dimana dunia pendidikan bagi seluruh anak-anak Indonesia bisa sangat sangat menyenangkan..)

:::::.....

Postingan ini aku dedikasikan untuk Afra, yang sedang menghadapi ujian kelulusan SD. Tante Wahida selalu berdoa semoga Afra bisa melaluinya dengan baik...

“Just do the best, and let God do the rest” ya Afra...apapun hasil yang nanti kita capai lewat usaha maksimal, berarti itulah yang dipilihkan Allah untuk kita...dan karenanya, itulah yang terbaik buat kita. 

^_^

**Hug buat Afra dan juga Bunda Mia**

 :::::.....

 

Rabu, 05 Maret 2008

Bintang Kelas dan Ranking Pertama

Menyambung postingan ini, dan seorang teman yang mengeluh tak bisa buka Friendster, maka ini adalah reposting. Postingan aslinya bisa dilihat disini. Semoga bermanfaat.
:::::.....

(Seperti dimuat di Majalah "Al-Hikmah") ( www.alhikmahsby.com )

RANKING SATU DAN BINTANG KELAS

Sudah lama saya merasa prihatin dengan istilah diatas, bahkan jauh semenjak saya belum menjadi orangtua dan wali murid. Sebenarnya keprihatinan saya bukanlah terarah kepada denotasi atau artinya, tetapi lebih kepada konotasi atau maknanya, terutama di kalangan orangtua dan wali murid yang selama ini banyak saya temui.

Menurut saya, makna ‘ranking satu’ dan ‘bintang kelas’ selama ini telah banyak mengalami overrated, terlalu dibesar-besarkan dan akibatnya, pengaruhnya terhadap perkembangan anak kita (siswa) juga menjadi agak berlebihan dari porsi yang semestinya. Kata-kata itu seolah-olah mempunyai kekuatan sihir magis yang bisa membuat para orangtua menempuh apa saja supaya si anak bisa menyandangnya. 

Sekali lagi, saya tidak punya masalah dengan arti denotatif dari istilah tersebut. Adalah hal yang sangat bagus dan membanggakan bila kita bisa mempunyai anak yang menyandang ‘label’ bintang kelas atau ranking satu di kelasnya. Siapapun orangtua –termasuk saya- pasti akan merasakan kebanggaan yang sama. Masalahnya, dalam satu kelas (yang terdiri dari berpuluh murid) hanya akan ada sebagian kecil (atau hanya satu) yang akhirnya mendapat predikat itu. Dari sinilah keprihatinan saya berawal.

Pertama, menyangkut proses yang harus ditempuh anak-anak tersebut sebelum akhirnya berhasil menjadi ranking satu atau bintang kelas di sekolahnya. Ada anak-anak yang memang dilahirkan untuk mempunyai kemampuan akademik yang cemerlang. Kemampuan akademik yang saya maksud disini mengacu pada hal-hal yang ‘dinilai dengan angka’ oleh guru-guru di sekolah. Mungkin si anak pandai matematika (meskipun tidak semua anak yang pandai berhitung bisa mandapat nilai matematika yang bagus), mungkin juga hebat dalam menghafal teori dan rumus-rumus, dan lain sebagainya. Mungkin pernah kita jumpai ada anak yang walaupun jarang (atau malah tidak pernah) belajar, tetapi selalu bisa menjawab ulangan dan melalui ujian dengan nilai sempurna. Intinya, anak model ini bisa menjadi ranking satu tanpa mengorbankan keseimbangan sisi-sisi perkembangan lainnya. 

Tetapi ada anak-anak yang demi mengejar predikat ini, mereka harus melalui serangkaian jam belajar harian ekstra disiplin, jadwal les yang amat ketat, ‘cambukan’ yang cukup keras dan terus-menerus dari orangtua, terkadang (seakan belum cukup) disertai dengan sedikit ‘ancaman’ bahwa si anak tidak akan mendapat hadiah ini dan itu kalau sampai semester ini tidak ranking di sekolah. Memang, mungkin mereka akan berhasil menjadi ranking pertama. Mungkin. Tetapi, sudah menjadi kepastian mereka akan kehilangan banyak hal yang bisa mengancam keseimbangan perkembangannya. Sebutlah, waktu bermain (saya selalu memimpikan suatu waktu dimana semua orangtua menganggap kegiatan bermain bebas sebagai hal yang serius dan berpengaruh besar untuk perkembangan anak-anak kita) dan bergaul secara luas dalam lingkungan sosial. Menimbang hal ini, rasanya usaha yang harus ditempuh si anak demi menjadi ‘ranking satu’ seperti tersebut diatas sudah agak berlebihan. Saya pernah melihat seorang anak berusia 8 tahun yang karena kecewa tidak mendapatkan nilai sempurna dalam suatu ulangan, harus kehilangan nafsu makan dan keceriaannya selama beberapa hari. Tentu menjadi keprihatinan saya bahwa si anak bisa-bisa tumbuh menjadi pribadi yang perfeksionis dan secara emosi mengalami kesulitan dalam menghadapi suatu kegagalan.

Kedua, keprihatinan saya menyangkut reaksi sebagian orangtua yang ketika anaknya gagal mencapai prestasi akademik yang mereka inginkan, seakan-akan merasa bahwa itu adalah akhir dari keberhasilan mereka sebagai orangtua. Menyangkut hal ini, ada satu cerita yang mudah-mudahan akan berguna untuk saya bagi (semoga Allah SWT menjauhkan saya dari riya’ lewat cerita ini, amin). 

Semenjak saya duduk di bangku TK sampai bertahun-tahun kemudian, predikat ranking satu dan bintang kelas sudah melekat begitu saja di diri saya. Sejauh yang saya ingat, saya tidak pernah mendapat jadwal belajar khusus (saya malah jarang sekali belajar) atau les dan kursus pelajaran ini itu dari orangtua. Yang dilakukan orangtua saya malah memasukkan saya ke sebuah klub badminton karena memang saya meminta. Saya sangat menikmati hari-hari penuh latihan dan  beberapa kali menang di kejuaraan menjadi kenangan yang sampai sekarang masih terasa manis dan membanggakan (lebih dari kenangan tentang ranking satu itu sendiri). Asyik dengan badminton, pun, tetap saja predikat ranking satu masih melekat, sampai saya berhasil menyelesaikan SD dalam waktu 5 tahun saja (saya coba diikutkan Ebtanas oleh sekolah ketika saya duduk di kelas 5, dan karena NEM saya mencapai 3 besar se-Kecamatan, akhirnya saya langsung dinyatakan lulus SD).

Keadaan berubah drastis ketika beberapa tahun kemudian saya berkenalan dan aktif di OSIS. Saya sangat menikmati dunia organisasi dan merasa disinilah saya bisa berkembang dengan sangat baiknya. Saking drastisnya, waktu kelas 2 SMA saya pernah berada di ranking 46 dari 48 siswa! Alias menjadi satu dari 3 siswa yang paling buruk nilai rapornya! Aktif di OSIS lah yang menjadi biang keladi. Apa komentar orangtua saya? Mereka hanya bilang, apa yang ada di buku rapor hanyalah angka bagi mereka, dan bila saya bisa tumbuh menjadi pribadi yang bisa menempatkan diri dengan baik, sebagai hamba Alloh dan anggota masyarakat, maka itulah prestasi mereka yang sebenarnya sebagai orangtua. Subhanalloh... (Ya Alloh, robbighfirli wali wali dayyaa, warhamhumaa kamaa robbayani shoghiroo...) 

Yang ingin saya sampaikan dari cerita ini, adalah ketika sekarang saya menoleh kebelakang, hal-hal yang saya dapatkan di organisasi (ketika saya belajar bekerjasama dan berhubungan dengan banyak orang, mengalami jatuh bangun dan kesulitan menyelenggarakan berbagai event di sekolah/kampus, dlsb.) jauh lebih banyak memberikan manfaat dalam hidup saya sekarang, dibandingkan prestasi akademik saya (saya akan angkat tangan kalau Anda tanya apa rumus luas lingkaran, atau nama kimiawi belerang atau menyebutkan diluar kepala pasal-pasal UUD 1945, hal-hal yang dulu saya kuasai dengan baiknya).

Intinya, kalau memang anak kita tidak menjadi ranking satu atau dua atau tiga (atau dua puluh sekalipun), so what? Sama seperti semua anak-anak lain di seluruh penjuru dunia, dia pasti (PASTI !!) mempunyai minimal satu bidang yang akan bisa mengantarkan dia menjadi pribadi yang sukses di kemudian hari. Entah itu berawal dari kegemarannya bermain sepeda dan sepakbola, atau keahliannya mendebat dan bernegoisasi dengan kita orangtuanya, atau kemampuannya berkreativitas dan menghayalkan hal-hal fantastis yang diluar realita (hal-hal yang seringkali justru kita sepelekan). Yang perlu kita lakukan hanyalah percaya akan hal ini, menemukan potensi dan mendukungnya dengan cara mengusahakan agar anak-anak kita tumbuh secara optimal, seimbang dan penuh dengan keceriaan. 

***

Saya seringkali mendapat pertanyaan dari teman, “menurut kamu, sekolah yang baik itu yang gimana, sih?”

Menurut saya, sekolah yang baik itu (diantaranya) adalah sekolah yang tidak mendewakan muridnya yang mendapat ranking satu.

Kalau sekolah terbaik?

Menurut saya, sekolah terbaik adalah sekolah yang bisa menjadikan semua siswanya (SEMUA, TANPA TERKECUALI) menjadi “BINTANG” di kelasnya masing-masing.

Wallohua’lam bishawab....

***


Senin, 25 Februari 2008

SDN Ngagel Rejo III, Kelas Kreatif di Kampung Padat

Setelah kemarin sempat ngomongin Sekolah Mahal disini dan disini, pagi ini di koran aku baca sesuatu yang sangat inspiratif dan sangat menyegarkan. Para pembaca, inilah dia satu cahaya lilin yang tetap menerangi sebidang jendela ilmu ditengah gebyarnya lampu kota biaya sekolah di negeri kita tercinta. Beliaulah sosok tempat bersandar letihnya para orangtua murid memikirkan nasib masa depan anak-anaknya karena mahalnya pendidikan yang berkualitas di negeri ini.

SHE, is just simply inspiring!!


Jawa Pos, Selasa, 26 Feb 2008,
SDN Ngagel Rejo III, Kelas Kreatif di Kampung Padat

Dikira Sekolah Mahal, Sempat Tak Dapat Murid
Ada anggapan, belajar di kelas kreatif perlu biaya besar dan hanya bisa dilakukan oleh sekolah-sekolah maju. Ternyata, anggapan itu tak sepenuhnya benar. SD Negeri Ngagel Rejo III mampu mewujudkan kelas kreatif di tengah perkampungan padat penduduk.

ANGGIT SATRIYO NUGROHO

SEBUAH televisi 21 inci dan koleksi DVD hiburan tertata rapi di pojok kelas di sebelah papan tulis. Kadang, setelah jenuh belajar atau saat istirahat, para siswa mengoperasikan DVD tersebut, berjoget poco-poco. Pun, bangku-bangku di kelas itu berbentuk beragam. Ada persegi panjang, bujur sangkar, jajaran genjang, sampai trapesium dengan aneka warna. Itulah kelas kreatif SDN Ngagel Rejo III.

"Kami memesan bangku-bangku itu di pusat mebel di Pasuruan," jelas Pascalina Sugiyarti, kepala sekolah.

Aneka bentuk tersebut, kata dia, memudahkan siswa mempelajari bentuk. "Bangkunya pun saya rancang sendiri. Bahannya kami pilih kayu ringan agar siswa gampang memindah-mindahkan," ungkapnya.

Sebab, sekali waktu, dalam hitungan menit, siswa harus cekatan membentuk kelompok belajar di kelas.

Suasana ruangan pun tak monoton seperti di kelas-kelas konvensional. Tapi, mirip arena bermain. Dinding-dindingnya berwarna ceria khas anak-anak, merah, hijau, juga kuning. "Banyak orang bertanya, SD kok mirip TK," ujar alumnus STKIP Tribuwana tersebut.

Kelas kreatif memang banyak ditemui di sekolah-sekolah maju. Padahal, SDN Ngagel Rejo III berlokasi di kampung padat penduduk, Jalan Bratang Wetan I. Sebagian besar warga berpandangan, sekolah di perkampungan padat identik dengan kelas kumuh dan murid banyak. Sugiyarti ingin mengubah image tersebut.

"Sejak jadi kepala sekolah pada 1998, saya memang punya cita-cita, mengubah citra sekolah negeri di kampung," jelasnya.

Namun, ambisi itu baru terwujud pada 2002, ketika dia dimutasi ke SDN Ngagel Rejo III. Sebelumnya, ibu empat putra tersebut menjabat Kasek di SDN Ngagel Rejo VI. Dia belum bisa merealisasi keinginannya karena banyak kegiatan. Selain menjadi Kasek, dia juga ndobel di sebuah sekolah swasta di Bratang. "Cita-cita itu bisa terwujud juga karena anak-anak saya sekarang sudah mapan semua," ungkap wanita 59 tahun tersebut.

Dia ingin membangun dua kelas kreatif sekaligus, kelas satu dan dua. "Saya merintis dulu, tapi tidak tahu tahap-tahap apa yang harus dilakukan," katanya.

Sugiyarti mengaku terkesan pada kesuksesan yang dicapai SD Mangunan, Sleman, Jogjakarta, yang dirintis Y.B. Mangunwijaya. Kebetulan, bu guru itu kenal dengan Kaseknya. Sekolah tersebut berdinding gedhek (anyaman bambu), bayarnya murah, tapi bisa melahirkan murid pintar-pintar. "Resepnya apa, harus saya cari. Tapi, belajar ke Jogja kan perlu banyak uang," tegasnya.

Maka, warga Bratang Wetan itu pun membuat kebijakan di sekolahnya. Di antaranya, laba penjualan lembar kerja siswa (LKS) untuk guru sebesar 10 persen harus ditabung untuk modal ke Jogja. Keuntungan koperasi sekolah yang tak seberapa juga disisihkan. "Untungnya, para guru mendukung," katanya.

Waktu itu, ada sepuluh guru yang mengajar di situ. Kini membengkak jadi 24 orang, termasuk honorer. Tahun itu juga, ketika libur sekolah, semua guru berangkat ke Sleman. "Ternyata, memang banyak yang dipelajari di sana (Sleman, Red)," ujar Sugiyarti.

Misalnya, belajar-mengajar tak melulu dilakukan di kelas. Belajar tentang alam, siswa diajak langsung ke sawah. Belajar tentang aliran air, diajak menyusuri sungai. "Di sekolah negeri, guru dan siswa terlibat dalam objek, belum banyak dilakukan," katanya.

Sugiyarti juga mengundang beberapa guru senior SD Mangunan ke hotel tempat mereka menginap. "Saya minta para guru mendengarkan, kemudian menerapkannya ketika kembali ke Surabaya. Awalnya mereka bingung. Tapi, saya yakin bisa diterapkan," jelasnya.

Untuk mengembangkan kelas rintisannya itu, Sugiyarti rela pontang-panting mencari tambahan materi pelajaran untuk siswanya. Waktu itu, di Surabaya sedang populer metode kumon dan mega-brain. Untuk mengetahui metode tersebut, dia mengajak cucunya ke tempat bimbingan itu. "Saya menyamar sebagai pendaftar. Padahal, saya ingin terapkan metode tersebut di kelas kreatif," ungkapnya.

Tertarik, dia pun menggandeng guru khusus untuk mengajarkan dua materi tersebut. Dia juga melibatkan teman-temannya, para dosen Unesa, sebagai konsultan. Sekali waktu, para guru mendapatkan pengarahan dari mereka. Langkah itu dilakukan untuk memastikan perubahan paradigma pengajaran di kelas.

Namun, membangun kelas kreatif bukan persoalan gampang. Tahun pertama kelas kreatif dibuka, sekolah menerima 43 siswa. Tapi, tahun kedua murid baru merosot tajam, hanya 17 orang. "Saya patah arang. Sangat kecewa. Mengapa masyarakat tak mau diajak maju," katanya.

Dia penasaran, kemudian mencari penyebabnya. Melibatkan para guru, kepala sekolah itu mencari informasi ke warga sekitar. Mengapa para orang tua tidak tertarik lagi belajar di SD Ngagel Rejo III? Jawabannya mengejutkan. Di kalangan warga berkembang pandangan bahwa sekolah yang dipimpinnya tersebut mahal.

Sugiyarti pun bergerak untuk menangkal isu itu. Dia dan para guru gencar berpromosi dari kampung ke kampung. Tentang pengajaran di sekolahnya, tentang biayanya. Setiap kampung punya gawe, SD Ngagel Rejo III selalu menyumbangkan acara seperti tari-tarian. "Sampai drum band keliling pun kami lakukan agar wali murid tahu bahwa di sekolah kami bisa belajar banyak hal," tegasnya.

Kini, enam tahun setelah studi banding di SD Mangunan, Kali Tirto, Kecamatan Berbah, Sleman, Jogjakarta, Sugiyarti dan para guru merasakan hasilnya. Saat ini, sudah banyak warga Ngagel Rejo yang memercayakan pendidikan anak-anaknya di SD Ngagel Rejo III. Tiap tahun, murid baru yang mendaftar sesuai pagu, 33 siswa.

Tak jarang para siswa itu belajar di luar kelas. Waktu pelajaran berhitung misalnya, mereka diajak ke pasar tradisional. Di situ, siswa bisa berbelanja dan menghitung uang kembalian. "Belajar tentang matematika, anak-anak juga langsung saya kirim ke bank, meski sekadar menyaksikan," jelasnya.

Untuk menjelaskan air laut pasang, siswa diajak ke Pantai Kenjeran. "Pokoknya, jangan sampai guru ngoceh terus di depan kelas," ujarnya.

Wanita berambut keriting itu juga tak segan membawa akuarium ke kelas. Dia ingin siswa belajar berhitung sekaligus warna ikan dalam akuarium. "Itu juga jembatan bagi siswa untuk menyayangi sesama makhluk hidup," ungkapnya.

Setiap ada siswa yang berulang tahun, mereka boleh membawa koleksi fotonya dan memajang di kelas. "Itu salah satu cara untuk mengapresiasi kegembiraan siswa," katanya.

Hal-hal kecil, termasuk perasaan siswa, tak luput dari perhatian. Karena itu, para guru mengoleksi banyak gambar wajah orang dengan berbagai mimik. Misalnya, senang, sedih, menangis, atau tertawa. Setiap pagi, para siswa harus absen di bawah gambar-gambar tersebut. Misalnya, yang sedang sedih absen di gambar orang sedih atau menangis dan seterusnya.

"Dengan demikian, guru tahu perasaan siswa. Sebagai pendamping belajar, guru akan lebih paham mendekati siswa dengan cara yang ampuh. Siswa kelas satu dan dua kan belum bisa menggambarkan perasaannya dengan jelas," ujarnya. (cfu)