Rabu, 05 Maret 2008

Bintang Kelas dan Ranking Pertama

Menyambung postingan ini, dan seorang teman yang mengeluh tak bisa buka Friendster, maka ini adalah reposting. Postingan aslinya bisa dilihat disini. Semoga bermanfaat.
:::::.....

(Seperti dimuat di Majalah "Al-Hikmah") ( www.alhikmahsby.com )

RANKING SATU DAN BINTANG KELAS

Sudah lama saya merasa prihatin dengan istilah diatas, bahkan jauh semenjak saya belum menjadi orangtua dan wali murid. Sebenarnya keprihatinan saya bukanlah terarah kepada denotasi atau artinya, tetapi lebih kepada konotasi atau maknanya, terutama di kalangan orangtua dan wali murid yang selama ini banyak saya temui.

Menurut saya, makna ‘ranking satu’ dan ‘bintang kelas’ selama ini telah banyak mengalami overrated, terlalu dibesar-besarkan dan akibatnya, pengaruhnya terhadap perkembangan anak kita (siswa) juga menjadi agak berlebihan dari porsi yang semestinya. Kata-kata itu seolah-olah mempunyai kekuatan sihir magis yang bisa membuat para orangtua menempuh apa saja supaya si anak bisa menyandangnya. 

Sekali lagi, saya tidak punya masalah dengan arti denotatif dari istilah tersebut. Adalah hal yang sangat bagus dan membanggakan bila kita bisa mempunyai anak yang menyandang ‘label’ bintang kelas atau ranking satu di kelasnya. Siapapun orangtua –termasuk saya- pasti akan merasakan kebanggaan yang sama. Masalahnya, dalam satu kelas (yang terdiri dari berpuluh murid) hanya akan ada sebagian kecil (atau hanya satu) yang akhirnya mendapat predikat itu. Dari sinilah keprihatinan saya berawal.

Pertama, menyangkut proses yang harus ditempuh anak-anak tersebut sebelum akhirnya berhasil menjadi ranking satu atau bintang kelas di sekolahnya. Ada anak-anak yang memang dilahirkan untuk mempunyai kemampuan akademik yang cemerlang. Kemampuan akademik yang saya maksud disini mengacu pada hal-hal yang ‘dinilai dengan angka’ oleh guru-guru di sekolah. Mungkin si anak pandai matematika (meskipun tidak semua anak yang pandai berhitung bisa mandapat nilai matematika yang bagus), mungkin juga hebat dalam menghafal teori dan rumus-rumus, dan lain sebagainya. Mungkin pernah kita jumpai ada anak yang walaupun jarang (atau malah tidak pernah) belajar, tetapi selalu bisa menjawab ulangan dan melalui ujian dengan nilai sempurna. Intinya, anak model ini bisa menjadi ranking satu tanpa mengorbankan keseimbangan sisi-sisi perkembangan lainnya. 

Tetapi ada anak-anak yang demi mengejar predikat ini, mereka harus melalui serangkaian jam belajar harian ekstra disiplin, jadwal les yang amat ketat, ‘cambukan’ yang cukup keras dan terus-menerus dari orangtua, terkadang (seakan belum cukup) disertai dengan sedikit ‘ancaman’ bahwa si anak tidak akan mendapat hadiah ini dan itu kalau sampai semester ini tidak ranking di sekolah. Memang, mungkin mereka akan berhasil menjadi ranking pertama. Mungkin. Tetapi, sudah menjadi kepastian mereka akan kehilangan banyak hal yang bisa mengancam keseimbangan perkembangannya. Sebutlah, waktu bermain (saya selalu memimpikan suatu waktu dimana semua orangtua menganggap kegiatan bermain bebas sebagai hal yang serius dan berpengaruh besar untuk perkembangan anak-anak kita) dan bergaul secara luas dalam lingkungan sosial. Menimbang hal ini, rasanya usaha yang harus ditempuh si anak demi menjadi ‘ranking satu’ seperti tersebut diatas sudah agak berlebihan. Saya pernah melihat seorang anak berusia 8 tahun yang karena kecewa tidak mendapatkan nilai sempurna dalam suatu ulangan, harus kehilangan nafsu makan dan keceriaannya selama beberapa hari. Tentu menjadi keprihatinan saya bahwa si anak bisa-bisa tumbuh menjadi pribadi yang perfeksionis dan secara emosi mengalami kesulitan dalam menghadapi suatu kegagalan.

Kedua, keprihatinan saya menyangkut reaksi sebagian orangtua yang ketika anaknya gagal mencapai prestasi akademik yang mereka inginkan, seakan-akan merasa bahwa itu adalah akhir dari keberhasilan mereka sebagai orangtua. Menyangkut hal ini, ada satu cerita yang mudah-mudahan akan berguna untuk saya bagi (semoga Allah SWT menjauhkan saya dari riya’ lewat cerita ini, amin). 

Semenjak saya duduk di bangku TK sampai bertahun-tahun kemudian, predikat ranking satu dan bintang kelas sudah melekat begitu saja di diri saya. Sejauh yang saya ingat, saya tidak pernah mendapat jadwal belajar khusus (saya malah jarang sekali belajar) atau les dan kursus pelajaran ini itu dari orangtua. Yang dilakukan orangtua saya malah memasukkan saya ke sebuah klub badminton karena memang saya meminta. Saya sangat menikmati hari-hari penuh latihan dan  beberapa kali menang di kejuaraan menjadi kenangan yang sampai sekarang masih terasa manis dan membanggakan (lebih dari kenangan tentang ranking satu itu sendiri). Asyik dengan badminton, pun, tetap saja predikat ranking satu masih melekat, sampai saya berhasil menyelesaikan SD dalam waktu 5 tahun saja (saya coba diikutkan Ebtanas oleh sekolah ketika saya duduk di kelas 5, dan karena NEM saya mencapai 3 besar se-Kecamatan, akhirnya saya langsung dinyatakan lulus SD).

Keadaan berubah drastis ketika beberapa tahun kemudian saya berkenalan dan aktif di OSIS. Saya sangat menikmati dunia organisasi dan merasa disinilah saya bisa berkembang dengan sangat baiknya. Saking drastisnya, waktu kelas 2 SMA saya pernah berada di ranking 46 dari 48 siswa! Alias menjadi satu dari 3 siswa yang paling buruk nilai rapornya! Aktif di OSIS lah yang menjadi biang keladi. Apa komentar orangtua saya? Mereka hanya bilang, apa yang ada di buku rapor hanyalah angka bagi mereka, dan bila saya bisa tumbuh menjadi pribadi yang bisa menempatkan diri dengan baik, sebagai hamba Alloh dan anggota masyarakat, maka itulah prestasi mereka yang sebenarnya sebagai orangtua. Subhanalloh... (Ya Alloh, robbighfirli wali wali dayyaa, warhamhumaa kamaa robbayani shoghiroo...) 

Yang ingin saya sampaikan dari cerita ini, adalah ketika sekarang saya menoleh kebelakang, hal-hal yang saya dapatkan di organisasi (ketika saya belajar bekerjasama dan berhubungan dengan banyak orang, mengalami jatuh bangun dan kesulitan menyelenggarakan berbagai event di sekolah/kampus, dlsb.) jauh lebih banyak memberikan manfaat dalam hidup saya sekarang, dibandingkan prestasi akademik saya (saya akan angkat tangan kalau Anda tanya apa rumus luas lingkaran, atau nama kimiawi belerang atau menyebutkan diluar kepala pasal-pasal UUD 1945, hal-hal yang dulu saya kuasai dengan baiknya).

Intinya, kalau memang anak kita tidak menjadi ranking satu atau dua atau tiga (atau dua puluh sekalipun), so what? Sama seperti semua anak-anak lain di seluruh penjuru dunia, dia pasti (PASTI !!) mempunyai minimal satu bidang yang akan bisa mengantarkan dia menjadi pribadi yang sukses di kemudian hari. Entah itu berawal dari kegemarannya bermain sepeda dan sepakbola, atau keahliannya mendebat dan bernegoisasi dengan kita orangtuanya, atau kemampuannya berkreativitas dan menghayalkan hal-hal fantastis yang diluar realita (hal-hal yang seringkali justru kita sepelekan). Yang perlu kita lakukan hanyalah percaya akan hal ini, menemukan potensi dan mendukungnya dengan cara mengusahakan agar anak-anak kita tumbuh secara optimal, seimbang dan penuh dengan keceriaan. 

***

Saya seringkali mendapat pertanyaan dari teman, “menurut kamu, sekolah yang baik itu yang gimana, sih?”

Menurut saya, sekolah yang baik itu (diantaranya) adalah sekolah yang tidak mendewakan muridnya yang mendapat ranking satu.

Kalau sekolah terbaik?

Menurut saya, sekolah terbaik adalah sekolah yang bisa menjadikan semua siswanya (SEMUA, TANPA TERKECUALI) menjadi “BINTANG” di kelasnya masing-masing.

Wallohua’lam bishawab....

***


47 komentar:

  1. Seandainya ada...
    Terima kasih mbak Wahida atas postingannya...
    aku ngga tahu apakah orang2tua sekarang sudah cenderung "pushy" seperti itu ke anak2 mereka. tekanan yang dialami anak luar biasa, lho. Temanku yang dulunya di"dorong" seperti itu sekarang malah terkesan punya "dendam" sama orang tuanya. Dia sadar hal itu ngga baik, tapi tetap saja ga bisa hilang. Dan sampai sekarang pun tekanan itu tetap ada.
    Kalau aku santai... Ayah mungkin punya pengharapan sendiri terhadapku, tapi tetap dibebaskan memilih jalan hidup.

    BalasHapus
  2. Gimana ya? Di Indonesia kan semuanya pada kena penyakit latah?
    Mereka lupa bahwa keberhasilan seseorang di masyarakat tidak saja tergantung dari kemampuan akademisnya, tapi lebih tergantung dari kemampuan komunikatif dan sosialnya.

    BalasHapus
  3. aku terlalu ngga ya? dari dulu nyari sekolah anak adalah berbasis Islam dan yang tidak menerapkan sistem ranking, aku ngga mau anak jadi stress urusan ranking, main dan kreatif tetep harus dilakukan
    walau pada akhirnya,seperti Afra di kelas 6 ini harus rajin belajar, karena try out ujian SD akan diumumkan, jadi kalau dapet 4 ya dipasang 4 (masih tanpa nama, hanya no. induk anak saja)

    BalasHapus
  4. wahida ariffianti5 Maret 2008 pukul 17.46

    nggak heran Mal, karena tekanan seperti ini, selama bertahun-tahun pasti akan membekas di alam bawah sadarnya, dan ini sulit sekali hilang walaupun alam sadarnya berkata bahwa ini harus dihilangkan...

    beruntunglah kita Mal, yang tidak mendapat tekanan semacam itu dari orangtua kita...semoga kita bisa meneladani mereka ya... :-)

    BalasHapus
  5. Alhamdulillah... :)

    BalasHapus
  6. wahida ariffianti5 Maret 2008 pukul 17.48

    iya ya Pak Mar, dan penyakit latah memang susahhhhh disembuhkannya... jadi inget, jaman dulu kan sampe ada lagu ya pak, kalo pinter nanti bisa jadi dokter....kayaknya Pak Dokter yang ini bukan hanya pinter, tapi juga punya kemampuan komunikatif yang bagus nih...salut :-)

    BalasHapus
  7. wahida ariffianti5 Maret 2008 pukul 17.51

    betul Kak Mia...

    kasus kaya Afra ini, sayangnya kan kita berhadapan dengan suatu sistem besar yang sudah kadung salah kaprah dan bahka pemerintahpun kesulitan mengubahnya (berkenaan dengan UN itu).... insyaalloh, yang sudah dilakukan Kak Mia ke Afra adalah "mendorong" bukan "menekan". Mendorong sampai batas terbaik yang Afra bisa, dan begitu hasilnya keluar, kita memeluknya dengan kasih sayang sebagai bentuk penghargaan kita padanya, apapun hasilnya..

    **salam dan doaku untuk Afra ya kak, semoga dia bisa melalui ujian ini dengan baik....**hug**

    BalasHapus
  8. Ini juga keprihatinan saya. masalahnya..bukan hanya orangtua sih..., sistem-nya juga sudah begitu. Mau masuk SMP setelah lulus SD, yang dillihat juga nilainya. Begitu dst. Makin favorit sekolah yang dituju.., makin tinggi nilai akademis yang diminta. Mumet saya.... Tahun depan dua jagoan saya bakal mengikuti UAN (atau UN) SD dan SMP. Nah..mumet lagi kan...? Cerita tentang UAN jadi episode sendiri lagi...

    BalasHapus
  9. wahida ariffianti5 Maret 2008 pukul 17.56

    kalo udah begini, pasti Kak Lily berharap masih tinggal di Leeds aja ya kak...hehe...

    wah, taun depan borongan tuh berdua barengan?? ini pasti seru yang jadi ibuknya tuh...insyaalloh dengan ibuk seperti Kak Lily, pasti bisa :-)

    ngomong-ngomong Bu Dosen sibuk banget ya, biasanya bentar2 ada postingan perkembangan Ilman dan Irham disekolah nih....kangen saya Kak... :-)

    BalasHapus
  10. Da, makasih remindernya, kadang, saking takutnya anak ngga masuk SMP negeri, aku jadinya kok mendorong dan sedikit "menekan" Afra ya Da? SMP Negri yg bagus disini minta nilai 25 untuk 3 mata pelajaran, rata2 nya harus 8,3333

    Duh...kalau anak lagi sehat, kalau pas ujian flu? atau mbulet2in ketebelan/ketipisan?
    tapi sesudah itu (ngepush anak untuk latian soal2 lebih banyak), ya aku ijinkan dia main, menggambar, sambil aku istighfar (pengakuan niy) dan meluk2 Afra
    makasih pencerahannya, jadi aku bisa lebih santai menghadapi UN anak2 ini.

    *makasiy doanya te Cikicik (sebutan Afra ke Wahida)*

    BalasHapus
  11. kayaknya sekolah model gini ada di negara Finlandia...sama persis mereka tdk menerapkan sistem belajar mengajar yg gila2 an yg tentunya bisa membuat anak menjadi stress. Miris deh lihat sistem pendidikan di indonesia (ditambah sekolah menjadi ajang bisnis...yg kadang2 ada ortu yg bangga dan maksain diri masukin anaknya ke sekolah yg berjuta2 biayanya..."harga diri ' katanya !! ) Padahal gak harus begitu..kasihan anak dan juga ortunya..apalagi kalo si anak nilai akademiknya 'biasa2 saja'...pasti akan selalu di banding2 kan dengan anak2 yg 'rangking satu'...Mudah2an seiring waktu indonesia bisa membawa kita di bidang pendidikan khususnya ke arah yg lebih baik demi generasi selanjutnya yg akan memimpin bangsa ini..

    BalasHapus
  12. wahida ariffianti5 Maret 2008 pukul 18.08

    nah....kan? Kak Mia memang salah satu mommies favoritku :-)

    hehehe ingat aja kata2 Tante Cikicik ini Afra, memiliki orangtua Ummi Mia dan Bapak Budi, insyaalloh semua akan baik-baik saja dalam hidup Afra, sayang... :-)

    BalasHapus
  13. wahida ariffianti5 Maret 2008 pukul 18.11

    sebenarnya patut disyukuri dan didorong, sekarang ini di Indonesia sudah ada segelintir sekolah yang mulai menerapkan sistem begini Mbak...tapi ya itu, rata-rata sekolah swasta, karena yang negeri kan memang masih kebentur sistem pemerintah secara bulat-bulat...

    **mengamini doa Mbak Lussy....untuk pendidikan Indonesia...**

    BalasHapus
  14. Tuntutan jaman makin tinggi yah mbak? masuk smp/sma minta nilai tinggi, masuk umptn juga gitu, mau masuk kerja ipk mesti tinggi juga.."Anak adalah milik jamannya" begitu bunyi salah satu hadist, semoga anak2 kita bisa mengikuti tuntutan jamannya yang tidak seramah jaman ibu - bapaknya :D
    *jadi inget adik2ku yang masih berjalan merancang masa depan, semoga Allah memudahkanmu*

    BalasHapus
  15. seandainya semua sekolah begitu ya...


    *prihatin sama kurikulum anak TK & SD jaman sekarang*

    BalasHapus
  16. Isman H. Suryaman5 Maret 2008 pukul 18.44

    Iya, Wahida, saya juga menulis dalam buku Bertanya atau Mati, bahwa kebiasaan seperti ini bukan hanya dilakukan oleh orangtua, namun juga masyarakat secara kolektif (padahal banyak individu yang sebenarnya tidak setuju, seperti terlihat di komen-komen di atas).

    Contoh paling sederhana adalah syarat IP untuk pekerjaan, padahal IP (sampai saat ini, minimal) masih sekadar mengukur prestasi akademik. Belum otomatis menunjukkan bahwa ia akan menjadi rekan kerja yang berguna bagi perusahaan. Saya sempat berkomentar di salah satu blog dosen yang membahas ini, bahwa dalam kantor saya saja, minimal sudah ketemu dua orang yang IP-nya di atas 3, tapi pemahaman etika dan logika bisnis (maupun sosialnya) rendah.

    Ini terlihat dari perilaku mereka yang dengan gagah menyanggupi komitmen menjalani masa inisiasi di perusahaan selama tiga bulan. Namun kemudian dalam dua hari langsung mengundurkan diri secara sepihak (dan mendadak) karena diterima di perusahaan lain. Lebih hebat lagi, mereka hanya berani mengundurkan diri via telepon. Ketemu langsung saja nggak mau.

    BalasHapus
  17. wihhh..baru tau kalu di TK dah ada system pe-ranking-an..:-(
    sebenernya social comparison itu perlu jg, spy kita tau seberapa normal/tidak normalkah kita (secara definisi normal/tidak kan bisa kita tau dimana "letak" kita secara statistik)
    cmn klu untuk anak2 ya lom waktunya..
    lebih bijak klu org tuanya yg dikasih tau..dengan catatan..orang tua diberi pesan2 sebelumnya bagaimana memanfaatkan informasi itu untuk mengarahkan anak menjadi lebih baik.

    cheers,

    BalasHapus
  18. Syanti Dewi Erawati5 Maret 2008 pukul 19.11

    waahhhh seneng baca-nya mba... mudah2an bermanfaat buat tie dikemudian hari , tfs :)

    BalasHapus
  19. ayoo sekolah....
    baca baca dan baca

    BalasHapus
  20. wahida ariffianti5 Maret 2008 pukul 19.46

    betul Dwin, tugas para orangtualah supaya menjadikan anak kita tetap merasa bahwa "jaman tetap ramah pada kita" apapun kondisi jaman itu...

    **ikut mendoakan adik2nya** :-)

    BalasHapus
  21. jadi... biarkan Abe dan Bea puas bermain mbak :D

    BalasHapus
  22. wahida ariffianti5 Maret 2008 pukul 19.48

    iya ya... seandainya :-)

    sebenarnya sudah ada segelintir sekolah yang kurikulumnya sudah mulai ramah sama anak-anak, tapi ya itu, biasanya sekolah swasta dan akhirnya **lagi2** terbentur dengan segala sistem dan kualifikasi dari negara yang harus dipenuhi...misalnya nilai minumum UN dan lain sebagainya itu....duhh...

    BalasHapus
  23. wahida ariffianti5 Maret 2008 pukul 19.52

    saya jadi penasaran baca bukunya Mas Isman nih...hehe...**ntar nyari di toko buku ah** :-D

    wah lha iya, mundur sepihak, lewat telepon lagi, itu kan sudah pertanda betapa payahnya kemampuan sosial mereka.... saya juga sering denger di radio bisnis **terpaksa, karena semobil dg suami hihi* kata Tanadi Santoso, untuk menjadi orang yang suskes di pekerjaan apapun, hanya dibutuhkan 30% kemampuan akademik, sisanya 60% adalah kemampuan non-akademik seperti ketrampilan komunikasi, mental dan fighting spirit yang tinggi dan kematangan emosi dan sosial, dan lain sebagainya itu...

    yang di sekolah2 di indonesia, dibanding kemampuan akademik masih sangat sedikit diberikan porsinya...

    BalasHapus
  24. wahida ariffianti5 Maret 2008 pukul 19.54

    huwehehe ini aku cerita anak-anak secara umum...kalo ada TK yang bikin ranking mending kita demo aja tuh TK..!!

    betul buk, setuju...secara emosi kita harus siap dulu sebelum mengalami social comparison, dan jelas dalam hal ini, anak-anak TK-SD atau SMP sekalipun, belum waktunya!

    **mbokyo ngene to, rajin2 komen disini hihihi**

    BalasHapus
  25. yusy sriwindawati5 Maret 2008 pukul 19.57

    kalo aku tidak menuntut anak harus jadi rangking....tiap anak kemampuannya berbeda...jadi aku menghargai kemampuan masing2 anak....karena bentuk penghargaan itu memotivasi untuk lebih maju...Insha Allloh dunia dan akheratnya....Amiiiiiiiiiiin...

    BalasHapus
  26. Arie - Bunda Icha Anakku Sayang5 Maret 2008 pukul 21.20

    makasih sharenya mbak..ada sekolah di Depok tempat sekolah anaknya temen saya, disitu tidak diberlakukan ranking kelas, masing-masing anak punya sertifikat "star of the month" di masing2 kelebihannya, bagus banget jadi anak ngga merasa lebih satu sama yang lain..semua punya kelebihan..

    BalasHapus
  27. saya setuju dengan tulisan mbak Wahidah.
    alhamdulillah sekolah anak2 waktu di jerman dan di sini juga gak memberlakukan sistem rangking. klo sekolahnya yg di sini anak2 hanya diberikan sertifikat penghargaan misalnya, perfect homework untuk subjek ini, atau full mark in test untuk subjek apa. Jadi semua anak pasti nenteng sertifikat, meskipun beda2 subjeknya. Yg jelas anak tuh ngrasa mereka semua sama, punya sertifikat. dan cara ini memang saya rasa betul, karena semua anak punya kelebihan masing2...

    BalasHapus
  28. Akuurrr...setiap anak adalah BINTANG !!!

    Duh...mulianya ya kasih ibu...yang tiada pamrih mengantarkan anaknya meraih bintang !!
    -terasa sekali kalau udah jadi ortu-

    BalasHapus
  29. Ibu Ranger Harley5 Maret 2008 pukul 22.09

    kayaknya gw dah sering nulis ini deh..
    tapi gw tulis lagi aja aah..


    gw prihatin sama temen2 di sekolah (ortu2nya gitu...)
    kok semangat banget ngelesin anaknya disana-sini..
    baru TK A aja udah belajar fonem (baca), sempoa, nari, ngaji (yg ini jelas lah..), dll etc etc...
    masuk TK B nambah lagi bahasa inggris, mandarin, etc etc etc...

    semuanya dengan dalih "demi masa depan..."

    bagaimana dengan masa sekarang? :/

    BalasHapus
  30. wahida ariffianti6 Maret 2008 pukul 01.13

    sama-sama Teh....iya, mudah2an bermanfaat :-)

    BalasHapus
  31. wahida ariffianti6 Maret 2008 pukul 01.14

    "baca"nya dengan cara bermain, bergaul, bekerja, dll juga ya mas... :-D

    BalasHapus
  32. wahida ariffianti6 Maret 2008 pukul 01.14

    ho'oh mbok, eh kliru, Bli... :-D

    BalasHapus
  33. wahida ariffianti6 Maret 2008 pukul 01.15

    Amiiinnnn beruntung sekali anak-anak mempunyai ibu seperti Mbak Yusy... **hikss aku jadi rindu ibukku di kampung hikss** ^_^

    BalasHapus
  34. wahida ariffianti6 Maret 2008 pukul 01.16

    iya, sama-sama, semoga bermanfaat Mbak...

    di sekolah anakku juga... sekarang sebenarnya udah mulai banyak sekolah2 yang seperti ini lho, harus didorong bagaimanapun caranya :-)

    BalasHapus
  35. wahida ariffianti6 Maret 2008 pukul 01.21

    menarik juga ya Mbak Inci sistemnya di jerman...makasih juga udah berbagi cerita :-)

    BalasHapus
  36. wahida ariffianti6 Maret 2008 pukul 01.24

    iya mas, memang terasa sekali ya kalo udah jadi ortu gini.... semoga kita bukan golongan ortu yang memaksa anak-anak meraih bintang KITA ya, semoga yang mereka kejar itu adalah bintang MEREKA sendiri2...**amiinn** :-)

    BalasHapus
  37. wahida ariffianti6 Maret 2008 pukul 01.29

    sama Har!!

    padahal masa sekarang lah yang akan menjadi dasar masa depannya....di sekolah2 TK-SD itu liat aja, akan banyak ditemukan mata2 tidak bahagia dari para anak2 yang ortunya kaya gini...kesian banget ya..

    **satu2nya les yang sekarang Abe ikuti adalah les privat internet di ibuknya sendiri...hihihih jadi sama kecanduannya tuh anak sama emaknya, repot :-D

    BalasHapus
  38. kalau tempat lesnya bagus dan membuatnya jadi seperti bermain sih ga papah, asal si anak enjoy, kalau si anak udah ga mau terus dipaksa itu yang jadi masalah...
    Kalau udah masuk sekolah SD langsung disuruh bimbel... hiyyy gw jadi inget anak2 di Jepang sana yang banyak bunuh diri karena stress belajar...
    kalau anaknya cewek jarang ya yang ngelesin anaknya bela diri, padahal berguna tuh, melatih sensitivitas dan kewaspadaan.

    BalasHapus
  39. Wahahahahahahaha XD XD

    BalasHapus
  40. wahida ariffianti6 Maret 2008 pukul 05.59

    sing bener rosa rosa

    BalasHapus
  41. kangeeeeeeen...
    *gak nyambung ma postingannya..cuma mo bilang kangen setelah sekian lama gagal terus buka MP nya mbak wahida hiks :(..iNetnya lemot

    BalasHapus
  42. wahida ariffianti12 Maret 2008 pukul 20.53

    **peluk Rela**

    duuhhh kangen juga!!! ini aku juga udah 4 hari nggak ngurusin MP :-(
    semoga kehamilanmu sehat ya dek... **masih peluk-peluk** :-)

    BalasHapus
  43. hmmm... alhamdulillah ortuku ngg kayak gitu. hahha klw kayk gitu, bs2 sy stres ni skrng..
    alhamdulillah.. ortuku ngg pernh nuntut aneh2 yg tll macem2 gt..
    tp untk adek2ku yg 'bintang' itu, ortuku tntuny jg bngga tnp mengurangi kebanggaan thd anak2 yg lain jg, krn kami smw kan berbeda. :-)

    BalasHapus
  44. wahida ariffianti15 Maret 2008 pukul 20.05

    alhamdulillahhh..ikut bersyukur untuk Rakhma, beruntunglah dikau teman... :-) hehe...

    BalasHapus
  45. Hmm, lumayan merasakan bedanya karena sejak SMA tiga besar nggak pernah di tangan, bahkan waktu kuliah IP pas-pasan banget. Kalau udah gitu yang paling berpengaruh ya dukungan ortu, bagaimana biar anak nggak makin sedih (karena penurunan itu kadang bikin menyalahkan diri berlarut-larut). Jujur aku baru tahu kalau ada sekolah yang nggak menerapkan sistem ranking dan itu menurutku bagus.

    BalasHapus
  46. wahida ariffianti16 Maret 2008 pukul 03.08

    iya juga ya La, waktu aku jeblok pelajaran memang jadi muncul perasaan bersalah, untungnya ortu mendukung sebegitu rupa...

    sekarang sudah banyak sekolah-sekolah yang tidak pake sistem ranking, bukan berarti meniadakan sense of competition anak didiknya, tetapi lebih menekankan bahwa tidak adil kalau meranking prestasi anak-anak HANYA dengan ukuran prestasi akademik...

    BalasHapus
  47. wahida ariffianti19 Maret 2008 pukul 05.21

    wah, oleh-olehnya sangat membuka wawasan mas...tfs :-)

    BalasHapus