Tampilkan postingan dengan label renungan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label renungan. Tampilkan semua postingan

Senin, 05 Januari 2009

Dari Semua Tulisan Tentang Palestine...

:::::.....

Sudah sedemikian banyak postingan dan tulisan tentang kekejaman Israel terhadap warga muslim Palestine, semua membuat hati miris memekakkan kebesaran ALLAH. Kemarin, baru saja baca tulisan yang membuatku tercenung. Tulisannya dimuat di MP nya Mbak Ros. Tulisan yang membawaku mengenal sosok penulisnya, yaitu Mbak Dina (bundakirana.multiply.com).

 

Postingan selengkapnya "Mengapa Kita Harus Dukung Palestine" HARUS anda baca di sini. Tulisan mbak Dina ini sedikit banyak menjawab berbagai reaksi banyak orang seperti :

 

“Buat apa sih demo-demo? kalo mau bantu yang kongkrit-kongkrit ajalah” (jujur aku ragu apakah orang-orang ini SUDAH memberikan bantuan kongkrit apa belum)

 

“Ngapain ngurusin negara lain, mending urusin negeri sendiri yang sedang kesusahan kenapa??” (keraguanku ada dua untuk orang2 yang bertanya ini : 1. aku ragu dia muslim dan 2. aku juga ragu apakah dia SUDAH ikut mengurusi negeri kita ini)

 

So....

Aku akan comot disini bagian akhirnya saja ya, bagian yang bikin aku tercenung itu...

 

:::::.....

 

Sungguh hendaknya kita TIDAK KHAWATIR terhadap mereka (saudara-saudara kaum Palestina yang terkubur di bawah tanah Palestina oleh musuh mereka) dan TIDAK KHAWATIR terhadap tempat Isra’ Rasulullah saw. (karena mereka PASTI sudah dalam perlindungan ALLAH dan menjadi syahidin sekarang ini -wahida)


Namun hendaknya kita KHAWATIR TERHADAP DIRI KITA SENDIRI jika membiarkan mereka sehingga kita akan ditimpa apa yang diperingatkan oleh Rasulullah saw.

“Tidaklah seseorang yang membiarkan seorang Muslim di tempat dimana kehormatannya dilanggar dan dilecehkan, kecuali Allah akan membiarkannya di tempat yang ia menginginkan pertolongan-Nya di sana. Tidaklah seseorang menolong seorang Muslim di tempat yang kehormatannya dilanggar kecuali Allah akan menolongnya di tempat yang menginginkan ditolong oleh-Nya,” (Abu Daud dan Imam Ahmad). (bn-bsyr)

 

:::::.....

 

Astaghfirullahal adzimm.... Sungguh tak ada pertolongan lagi untuk kita di hari kiamat kecuali pertolongan Allah SWT...



Kamis, 01 Januari 2009

Berkacamata (Banyak)

Sudah banyak yang tahu kan kalo sudah 2 minggu ini aku berkacamata (lagi). Dari umur 17 tahun sebenarnya aku berkacamata karena mata kananku minus 0,25. Setahun kemudian, ternyata mataku kembali netral dan dengan senang hati aku melepas kacamataku. Beberapa tahun lalu, ternyata minusnya datang lagi, masih dalam level 0,25. Tapi kali ini aku bandel, gak mau pake kacamata. Terakhir ketika periksa lagi 3 minggu lalu, ternyata ada silindris. Akhirnya aku menyerah, dan siapapun yang berkacamata pasti tahu bahwa 2 minggu sampe sebulan pertama adalah bagian adaptasi tersulitnya. Kepala sering banget berat dan pusing kalo beberapa waktu memakai kacamatanya. Belum lagi iritasi di kulit wajah, bikin intensitasku lepas kacamata dan mengusap2 wajahku tak masuk akal seringnya. Ugh...

 

Speaking of which, nggak enak memang berkacamata. Tetapi dalam hidup adalah sebaliknya. Melihat segala sesuatu, harus pake kacamata yang banyak! Nggak boleh hanya pake satu kacamata saja. Hal ini sudah lama kupelajari dan terlintas kembali tadi malam, ketika aku dan Mas Iwan “terpaksa” keluar pada malam tahun baru, untuk membeli sesuatu di supermarket.

 

Malam tahun baru di Surabaya kemarin basah oleh hujan. Seperti biasa, tak pernah ada yang khusus di malam tahun baruku. Hampir seumur hidupku malam tahun baru berarti 2 hal : nonton TV atau tidur dirumah. Oleh karena itu, seringkali keriuhan tahun baru yang terjadi diluar sana sama sekali tak terlihat jelas dari “kacamata”ku, tak kumengerti esensi dan intinya.  

 

“Lihat deh mas, aduhhh hujan-hujan begini lho padahal” seruku gemas ketika kulihat tadi malam, bahkan jalanana depan kompleks perumahan pun macet. Padahal waktu itu masih sekitar jam 20.00 WIB. Disekitar mobil kami, sarat kulihat banyak sekali sepeda motor. Bukan hanya mengangkut penumpang, tapi juga pernak-pernik tahun baru macam terompet. Bukan hanya orang dewasa, tapi juga kulihat banyak keluarga yang nekad membawa anak-anak kecil (kadang 2 anak dan akhirnya 4 orang itu berdesakan di sepeda motor), dibawah guyuran hujan bahkan kulihat beberapa duduk di motor begitu saja, tanpa jas hujan atau sekedar ponco untuk melindungi dari basah. Itu baru di jalanan depan kompleks perumahan lho! Untunglah supermarket yang kami tuju masih jauh dari pusat kota, nggak tahulah seperti apa keadaan di downtown metropolis Surabaya malam itu. Hemm...perayaan malam tahun baru...dalam kacamataku, jelas sangat overrated!

 

Tapi...

Satu kacamata (yaitu kacamataku sendiri) tentu tidak cukup memandang kehidupan. Sekali lagi, sudah lama aku belajar akan hal ini. Sedetik setelah aku berseru gemas, aku langsung teringat kejadian lama, kalo tidak salah sekitar tahun baru 1996 (aku ingat karena waktu itu aku masih kos, belum menikah). Malam tahun baru pertamaku di tempat kos (karena pertengahan 1995 aku mulai kuliah), sekaligus yang terakhir (karena Mei 1996 aku menikah). Adalah Mbak Sri, penjaga kos kami yang waktu itu “memberikan” aku kacamata baru. Mbak Sri orangnya rajin kerja, tetapi banyak omong, lumayan genit dan memang seringkali menjadi sasaran ledek2an kami para anak kos. Malam itu aku geli sendiri demi melihat persiapannya menjelang perayaan malam tahun baru. Setting baju berwarna ngejreng dan make-up full action (pokoknya tergolong dalam usaha yang terlampau keras dan berlebihan, hanya demi untuk tampil cantik), rupanya dia sudah janjian dengan beberapa temannya untuk melihat pawai tahun baru di jalan-jalan protokol di Surabaya naik sepeda. Tak tanggung-tanggung, dari kawasan kost ku waktu itu didaerah Kertajaya, dia dan geng bertekad akan mancal sepeda melihat perayaan dari Kertajaya-Ngagel-Darmo-Wonokromo sampai ke sekitaran Bundaran Waru (baca : jauhnyaaaa!!).

 

“Mbelain banget sih mbakk??” seruku keheranan, setengah protes karena malam itu sekali lagi aku tak habis pikir dengan orang-orang ini, yang pada heboh tiap malam tahun baru. Apalagi itu malam tahun baru pertamaku di Surabaya, terus terang anak udik ini pun sedang keheranan, tapi dengan cara yang lain. Bukan heran takjub atas kemeriahannya, tetapi malah heran betapa banyak yang dibela-belain banyak orang hanya untuk sebuah perayaan. Jawaban Mbak Sri berikutnya, selaksa godam batu raksasa menghantam langsung di kepalaku. Begitu aku sadar, ternyata kacamataku sudah bertambah satu, dalam melihat kehidupan. Kacamata dari Mbak Sri...

 

“Yahhh kalo orang-orang seperti Mbak Wahida gini memang sudah nggak perlu hiburan. Hidupnya sudah enak tak ada kekurangan. Mau beli ini itu bisa, mau punya teman bergaul yang seperti apa juga gampang dan banyak. Lha kalo saya ya lain mbaakkk....Ini mumpung ibu ngasih ijin libur, malam tahun baru begini, saya pingin bergembira!!”

 

Hiburan...

Ya..tiba-tiba ada suatu pencerahan di kepala dan hatiku waktu itu. Sadar atau tidak, semua orang memang perlu hiburan. Sesuatu yang bisa membuat kita senang walaupun harus dibayar dengan badan capek. Yang bisa menyuntikkan sedikit semangat pada hati kita dalam menjalani hidup ini.

 

Bagiku, itu mungkin ketika selesai membaca halaman terakhir sebuah buku. Atau kalau sekarang, mungkin seperti ketika disaat-saat seperti ini, ketika aku nyaris sampai pada akhir sebuah tulisan. Atau ketika aku akhirnya terduduk lemas capai dibelakang panggung, ketika suatu event selesai dengan lancar, di tempat yang sama sekali tak terlihat oleh penonton didepan panggung, tetapi dengan senyuman puas dibibirku. Banyak orang yang sudah mengungkapkan keheranan, buat apa aku menjadi orang paling capek padahal terkadang justru orang lain yang dilihat oleh para penonton. Tapi bagiku, bagi kacamataku, itulah hiburan buatku... Dan seperti Mbak Sri, rasanya aku rela melakukan banyak hal yang banyak orang lain malas melakukannya kan??

 

Kacamata baru...

 

Seiring bertambah umur, rasanya kacamata kita memang harus lebih banyak ya. Dan harus lengkap versinya, dari yang minus sampe yang plus, yang silindris bahkan kalau perlu kacamata kuda! Dengan begitu kita bisa menerapkan salah satu falsafah Jawa untuk tidak gampang “nggumun” pada orang lain. Tidak gampang berkomentar seenak udel kita sendiri ketika melihat ada orang lain yang beda dengan kita, karena sebanyak apapun yang kita tahu tentang sesuatu atau seseorang itu, sesungguhnya jauh lebih sedikit daripada yang kita tidak tahu.

 

Ternyata, berapapun umur kita, kita masih perlu banyak kacamata lagi untuk bisa melihat kehidupan ini seluas yang sesungguhnya...

Rabu, 19 Maret 2008

'Cos We'll Never Ever Ever Know...

Ada satu sifat yang paling aku takuti. Setiap saat aku selalu mohon kepada Allah agar aku terhindarkan dan terjaga dengan sifat yang satu ini. Karena bagiku, sifat yang satu ini adalah salah satu dari beberapa sifat yang paling mengerikan bila ada pada diri seorang manusia.

Merasa lebih baik dari orang lain...siapapun itu...

Naudzubillah... 

Pagi ini kok kebetulan, aku baca postingan Rakhma ini (baca deh, Anda akan mengerti apa yang kumaksud). Juga tadi malam, waktu acara maulid Nabi, diingatkan lagi tentang kisah seorang ustadz dan pelacur.

Sekedar mengingatkan, itu cerita seorang ustadz yang tinggal berhadapan dengan rumah seorang pelacur. Pada akhirnya, si pelacur bisa lebih dulu memasuki surga Allah setelah dengan penuh keikhlasan pernah sekali memberi makan dan minum seekor anjing yang hampir mati kelaparan. Sedangkan si ustadz, dia yang ibadahnya baik dan kesalehannya sudah terkenal di seantero negeri, masuk surga jauh dibelakang si pelacur, karena ternyata terganjal satu sifat yang selama ini dimilikinya, yaitu merasa lebih baik. Merasa lebih suci daripada si pelacur yang tinggal didepan rumahnya. Merasa dia memiliki hati yang lebih bening untuk pantas memasuki surga Allah lebih dulu sementara ketika dia melihat si pelacur lewat, dia membatin “Astaghfirullah, kasihan dia, wanita itu mungkin akan menjadi kayu yang membuat neraka terus menggelegak”. 

Ya Allah... Engkaulah Yang Maha Pengasih yang benar-benar Kasih....dan Maha Penyayang yang benar-benar sayang...Rahasia hati kita, sesungguhnya sedalam itu... Sedalam itu bahkan kita sendiripun seringkali tidak akan pernah tahu...

Maka ketika kita merasa telah mempelajari dan mengamalkan satu ayat Al-Qur’an lagi hari ini, akankah kita masih berani merasa lebih baik dari mereka yang tidak mampu untuk sekedar membacanya?? 

Maka ketika kita merasa telah mengeluarkan banyak harta di jalan Allah, masih beranikah kita merasa lebih dermawan dari mereka yang tak berharta atau orang-orang yang mungkin selalu kita nilai “pelit” itu??

Maka ketika kita melihat seseorang yang tampilannya –sebutlah- tidak Islami, masih beranikah kita merasa bahwa hati kita masih lebih bening dari dia dan karenanya kita merasa lebih dekat dengan Sang Pencipta dibanding dia??

Maka ketika kita lebih berilmu dari seseorang, masih beranikah kita merasa lebih tahu??

Maka ketika kita berhadapan dengan satu orang manusia, siapapun dia, bagaimanapun dia, masih beranikah kita menakar dan menilainya dibawah kita??

Karena kita sama-sama manusia yang bisa dengan mudah terbutakan bahkan oleh mata hati kita sendiri tanpa kita menyadarinya, maka sesungguhnya kita sama sekali tidak berhak untuk itu... 

‘Cos we’ll never ever ever know....

::::....

Ya Allah yang Maha Suci dan Mensucikan...lindungilah aku dari segala perasaan bangga dan suci diri...peliharalah hatiku dari segala macam penyakit hati yang tersembunyi...dan tetapkanlah diriku ditempatku disini, sebagai manusia, makhlukMu yang tak akan pernah bisa merasa tahu akan rahasiaMu... Amin...

Karena sesungguhnya Ya Allah, mata hatikupun sudah siap untuk menipu dan membutakanku sekarang ini...ketika aku mulai merasa lebih baik dari orang-orang yang selama ini selalu menilai sesamanya itu...Astaghfirullahal adziimm... T_T

:::::.....