
Sudah banyak yang tahu
kan kalo sudah 2 minggu ini aku berkacamata (lagi). Dari umur 17 tahun sebenarnya aku berkacamata karena mata kananku minus 0,25. Setahun kemudian, ternyata mataku kembali netral dan dengan senang hati aku melepas kacamataku. Beberapa tahun lalu, ternyata minusnya datang lagi, masih dalam level 0,25. Tapi kali ini aku bandel, gak mau pake kacamata. Terakhir ketika periksa lagi 3 minggu lalu, ternyata ada silindris. Akhirnya aku menyerah, dan siapapun yang berkacamata pasti tahu bahwa 2 minggu sampe sebulan pertama adalah bagian adaptasi tersulitnya. Kepala sering banget berat dan pusing kalo beberapa waktu memakai kacamatanya. Belum lagi iritasi di kulit wajah, bikin intensitasku lepas kacamata dan mengusap2 wajahku tak masuk akal seringnya. Ugh...
Speaking of which, nggak enak memang berkacamata. Tetapi dalam hidup adalah sebaliknya. Melihat segala sesuatu, harus pake kacamata yang banyak! Nggak boleh hanya pake satu kacamata saja. Hal ini sudah lama kupelajari dan terlintas kembali tadi malam, ketika aku dan Mas Iwan “terpaksa” keluar pada malam tahun baru, untuk membeli sesuatu di supermarket.
Malam tahun baru di Surabaya kemarin basah oleh hujan. Seperti biasa, tak pernah ada yang khusus di malam tahun baruku. Hampir seumur hidupku malam tahun baru berarti 2 hal : nonton TV atau tidur dirumah. Oleh karena itu, seringkali keriuhan tahun baru yang terjadi diluar sana sama sekali tak terlihat jelas dari “kacamata”ku, tak kumengerti esensi dan intinya.
“Lihat deh mas, aduhhh hujan-hujan begini lho padahal” seruku gemas ketika kulihat tadi malam, bahkan jalanana depan kompleks perumahan pun macet. Padahal waktu itu masih sekitar jam 20.00 WIB. Disekitar mobil kami, sarat kulihat banyak sekali sepeda motor. Bukan hanya mengangkut penumpang, tapi juga pernak-pernik tahun baru macam terompet. Bukan hanya orang dewasa, tapi juga kulihat banyak keluarga yang nekad membawa anak-anak kecil (kadang 2 anak dan akhirnya 4 orang itu berdesakan di sepeda motor), dibawah guyuran hujan bahkan kulihat beberapa duduk di motor begitu saja, tanpa jas hujan atau sekedar ponco untuk melindungi dari basah. Itu baru di jalanan depan kompleks perumahan lho! Untunglah supermarket yang kami tuju masih jauh dari pusat kota, nggak tahulah seperti apa keadaan di downtown metropolis Surabaya malam itu. Hemm...perayaan malam tahun baru...dalam kacamataku, jelas sangat overrated!
Tapi...
Satu kacamata (yaitu kacamataku sendiri) tentu tidak cukup memandang kehidupan. Sekali lagi, sudah lama aku belajar akan hal ini. Sedetik setelah aku berseru gemas, aku langsung teringat kejadian lama, kalo tidak salah sekitar tahun baru 1996 (aku ingat karena waktu itu aku masih kos, belum menikah). Malam tahun baru pertamaku di tempat kos (karena pertengahan 1995 aku mulai kuliah), sekaligus yang terakhir (karena Mei 1996 aku menikah). Adalah Mbak Sri, penjaga kos kami yang waktu itu “memberikan” aku kacamata baru. Mbak Sri orangnya rajin kerja, tetapi banyak omong, lumayan genit dan memang seringkali menjadi sasaran ledek2an kami para anak kos. Malam itu aku geli sendiri demi melihat persiapannya menjelang perayaan malam tahun baru. Setting baju berwarna ngejreng dan make-up full action (pokoknya tergolong dalam usaha yang terlampau keras dan berlebihan, hanya demi untuk tampil cantik), rupanya dia sudah janjian dengan beberapa temannya untuk melihat pawai tahun baru di jalan-jalan protokol di Surabaya naik sepeda. Tak tanggung-tanggung, dari kawasan kost ku waktu itu didaerah Kertajaya, dia dan geng bertekad akan mancal sepeda melihat perayaan dari Kertajaya-Ngagel-Darmo-Wonokromo sampai ke sekitaran Bundaran Waru (baca : jauhnyaaaa!!).
“Mbelain banget sih mbakk??” seruku keheranan, setengah protes karena malam itu sekali lagi aku tak habis pikir dengan orang-orang ini, yang pada heboh tiap malam tahun baru. Apalagi itu malam tahun baru pertamaku di Surabaya, terus terang anak udik ini pun sedang keheranan, tapi dengan cara yang lain. Bukan heran takjub atas kemeriahannya, tetapi malah heran betapa banyak yang dibela-belain banyak orang hanya untuk sebuah perayaan. Jawaban Mbak Sri berikutnya, selaksa godam batu raksasa menghantam langsung di kepalaku. Begitu aku sadar, ternyata kacamataku sudah bertambah satu, dalam melihat kehidupan. Kacamata dari Mbak Sri...
“Yahhh kalo orang-orang seperti Mbak Wahida gini memang sudah nggak perlu hiburan. Hidupnya sudah enak tak ada kekurangan. Mau beli ini itu bisa, mau punya teman bergaul yang seperti apa juga gampang dan banyak. Lha kalo saya ya lain mbaakkk....Ini mumpung ibu ngasih ijin libur, malam tahun baru begini, saya pingin bergembira!!”
Hiburan...
Ya..tiba-tiba ada suatu pencerahan di kepala dan hatiku waktu itu. Sadar atau tidak, semua orang memang perlu hiburan. Sesuatu yang bisa membuat kita senang walaupun harus dibayar dengan badan capek. Yang bisa menyuntikkan sedikit semangat pada hati kita dalam menjalani hidup ini.
Bagiku, itu mungkin ketika selesai membaca halaman terakhir sebuah buku. Atau kalau sekarang, mungkin seperti ketika disaat-saat seperti ini, ketika aku nyaris sampai pada akhir sebuah tulisan. Atau ketika aku akhirnya terduduk lemas capai dibelakang panggung, ketika suatu event selesai dengan lancar, di tempat yang sama sekali tak terlihat oleh penonton didepan panggung, tetapi dengan senyuman puas dibibirku. Banyak orang yang sudah mengungkapkan keheranan, buat apa aku menjadi orang paling capek padahal terkadang justru orang lain yang dilihat oleh para penonton. Tapi bagiku, bagi kacamataku, itulah hiburan buatku... Dan seperti Mbak Sri, rasanya aku rela melakukan banyak hal yang banyak orang lain malas melakukannya kan??
Kacamata baru...
Seiring bertambah umur, rasanya kacamata kita memang harus lebih banyak ya. Dan harus lengkap versinya, dari yang minus sampe yang plus, yang silindris bahkan kalau perlu kacamata kuda! Dengan begitu kita bisa menerapkan salah satu falsafah Jawa untuk tidak gampang “nggumun” pada orang lain. Tidak gampang berkomentar seenak udel kita sendiri ketika melihat ada orang lain yang beda dengan kita, karena sebanyak apapun yang kita tahu tentang sesuatu atau seseorang itu, sesungguhnya jauh lebih sedikit daripada yang kita tidak tahu.
Ternyata, berapapun umur kita, kita masih perlu banyak kacamata lagi untuk bisa melihat kehidupan ini seluas yang sesungguhnya...