Jumat, 29 Februari 2008

[..::LOMBOK::..] Part 1 : Dari Menega ke Gili Nanggu


iseng

Bismillah, aku akan coba agak pede menulis catatan perjalananku kali ini, dengan menyingkirkan batasan “panjang tulisan” yang selama ini membelengguku setiap ngeblog. Karena ternyata, banyak hal dari perjalanan ke Lombok ini yang menarik untuk kutulis, karena ini adalah kunjungan pertamaku ke pulau bersimbol cicak ini dan secara tidak langsung akan menjadi semacam dokumentari pribadiku.

Mohon maaf untuk yang membaca, yang bisa kulakukan hanyalah berusaha membuat tulisanya semenarik mungkin untuk meminimalisasi kebosanan Anda. So God speed ;-D

:::::.....

[LOMBOK TRIP] Part 1 : Dari Menega ke Gili Nanggu

Dua hari setelah pulang dari Bali, Jumat pagi ketika seisi rumah masih serasa babak belur, Mas Iwan sudah on trip lagi! Nggak tahu dimana suamiku ini membuang urat capeknya, baru melihatnya berangkat saja sakit pinggangku sudah berdenyut-denyut lagi (untunglah kali ini dia mau mengajak sopir). Tujuannya jelas ke Solo, memenuhi janji yang tertunda. Janji yang ini lho http://cikicikicik.smaboy.com/images/46 , ingat kan?? Hehe...

Dari Solo lanjut ke Tulungagung demi jadwal rutinnya inspeksi kantor dan gudang disana, Minggu malam barulah dia pulang. Dan hari itu, Rabu, 6 Februari 2008 ketika senja sudah mulai buram, tiba-tiba Mas Iwan dan aku sudah turun dari pesawat, menjejakkan kaki di Bandara Selaparang, Mataram.

Ya, hanya seminggu setelah pulang dari Bali, tiba-tiba sekarang kita berdua sudah berada di Lombok. Untuk kedua kalinya aku meninggalkan anak-anak dirumah bersama in-laws. Apa kubilang kan? Sekali melakukannya (ketika ke Jakarta dulu itu), akan lebih mudah terjadi lagi. Mas Iwan bilang ini hal yang perlu though, itung2 latihan berpisah sementara dengan anak-anak, sehingga aku tidak lagi punya alasan menolak ajakannya umroh berdua.

Still, I’m not feeling comfort just any yet. Trying hard, disela-sela banyak telpon kerumah, aku pun memutuskan untuk menikmati perjalanan ini sambil dalam hati berkesimpulan, bahwa untuk pasangan yang sudah mempunyai anak, istilah “second honeymoon” tanpa anak-anak ternyata cukup menyiksa. Baru saja turun pesawat, aku sudah rindu anak-anak dan sibuk membayangkan bagaimana tingkah mereka kalau berada disini.

Anyway. Kepergian ke Lombok ini atas undangan this lovely couple, dear friends of our family, Mas Yosep dan Mbak Daning. Undangan “double-date” nya sendiri sudah lama, dan kami selalu menggantung jawabannya (so sorry Mas, Mbak..) sekali lagi dengan satu alasan dari pihakku : berat ninggalin anak-anak. Mbak Yosep dan Mbak Daning sekarang ini bisa dibilang masih newlywed, sedang giat2nya program hamil dan tak tanggung-tanggung, untuk “memaksa” kita menerima undangannya, they directly handed us 2 flight tickets to Mataram that date. So we (or I) have nothing left to say, but got packing and take our butts off to that plane!

Waktu itu rencana ada cuti bersama yang berbuah weekend panjang, tapi tiba-tiba dibatalkan pemerintah. Akhirnya Mas Yosep-Mbak Daning pun dengan sukses memilih meneruskan perjalanan ke Lombok dan harus mengambil jatah cuti tahunannya, gimana lagi udah kadung beli tiket, dan mumpung ada yang sampai hati meninggalkan anak-anaknya (hiks hiks...)

Turun dari pesawat, kita berempat dijemput sahabat Mas Yosep sejak SMP, namanya Mas Anom ( http://rumahkomik.blogspot.com/ ). Dan by the way, ternyata Mas Anom inilah yang menjadi alasan kenapa Mas Yosep ngotot mengajak kita kesini. Mumpung Mas Anom masih bertugas di Lombok alias mumpung tersedia guide dan host gratis (ampun, dudul deh...hehe).

Perjalanan Mataram menuju Sengigi (tempat kita menginap) kurang berorientasi keluar (maklum malam hari, dan lampu-lampu Kota Mataram pun ternyata tidak segemerlap Surabaya). Kita lewatkan waktu dengan chit-chat berkenalan dengan Mas Anom. And he turned out to be such a nice person to hang out. Kesimpulannya, dia tenang2 saja menerima dirinya “dimanfaatkan” sebagai guide gratisan. (Hihihi makasih yaa).

Langsung nyari tempat makan malam. Our first culinary-layoff, a fantastic seaside-seafood restaurant called “Menega”. Suasana temaram pinggir pantai yang romantis, nggak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan citarasa makanannya. Cumi bakarnya, it was like THE BEST I’ve ever had so far!! Bumbunya top habis, merasuk dengan pas dan dalam sampai2 aku curiga itu bumbu “disuntikkan” kedalam seafoodnya (:D) dan Mas Iwan yang memang kritikus ulung kalo urusan makanan (baca: pilih-pilih :-b), ternyata berpendapat sama dengan ikan bakarnya! Setelah memutuskan rencana untuk besok, dengan perut kekenyangan, kita pun menuju Senggigi Beach Hotel, sampai disana sekitar Pukul 9 malam dan langsung beristirahat. Mas Anom pun pamit pulang.

Besoknya, Kamis 7 Februari 2008, Jam 9 pagi Mas Anom sudah nongol di hotel, kali ini mengajak seorang teman, Mas Slamet yang lucu dan njawani. We all got along with each other so well instantly. Kita langsung cabut ke tujuan kita hari ini.

Pulau Gili Nanggu...

Dengan pede yang luar biasa ngawurnya, kita langsung bertekad menyambut tantangan Mas Anom untuk mencoba snorkling. Kubilang ngawur karena selain ini akan menjadi yang pertama buat kami semua (not to mention that I cannot swim!), lidah kami juga masih dengan medoknya menyebut aktivitas itu dengan “senor..keling”. Bahkan, demi Tuhan aku merasa yakin bahwa ketika menyanggupi ajakan Mas Anom malam itu di Menega, Mas Yosep sebenarnya sedang melamun memandang laut yang gelap sembari bilang “Ok, terserah kamu ajalah Nom, kita ikut mau diajak apapun”. Hahaha! Tapi kabarnya pemandangan dasar laut di Gili Nanggu adalah salah satu yang terindah, so we’re in!

Sebagai persiapan, sebelum keluar dari Mataram kita mampir di salah satu deretan warung pinggir jalan yang menjual “Nasi Balap”, sebutan untuk nasi bungkus di Lombok. Satu lagi sebutan yang agresif dan sadis untuk nasi bungkus. Di Tulungagung namanya “sego bantingan”, di Jogja-Jateng “sego kucing”, di Surabaya “sego sadukan”, entah kenapa kok semuanya bernuansa sadis agresif ya??

Dengan mengikuti rumus nasi bungkus, porsi 1 orang sama dengan 2-3 bungkus, kamipun membeli satu kresek besar berisi 20 bungkus lebih! Rumus apaan tadi?? Ini sih 6 orang2 yang pada takut kelaparan semua namanyaaa!! Hahaha. Dengan satu kresek lainnya penuh dengan krupuk, kayaknya akan menjadi menu makan siang yang sempurna di pinggir pantai nanti ketika kita selesai ber-senorkeling. Tak lupa kamipun menyiapkan roti tawar yang nantinya dimasukkan kedalam botol plastik minuman, dan akan menjadi umpan supaya para makhluk laut yang nanti kami lihat mau mendekat ke kita. Thanks to Mas Anom yang memberi semua pengetahuan ini.

Setelah itu selama hampir 3 jam kami disuguhi perjalanan yang menantang. Tepatnya menantang kekuatan stabilitas kimia tubuh kita (baca: ketahanan mabok). Menuju ke Gili Nanggu kita harus melewati perjalanan naik turun gunung yang mempunyai tingkat perkelokan yang lumayan berat. Mas Anom bahkan cerita, tak ada yang mau menempuhnya di malam hari (+ gelap karena sama sekali nggak ada lampu jalan yang cukup) dan karenanya wanti-wanti kita nanti harus sudah kembali sebelum gelap.

Yang sangat menawan hatiku disepanjang perjalanan adalah banyaknya Pohon Kelapa!! Dimana-mana mereka bahkan merumpun dengan lebat! Pemandangan jurang di kanan atau kiri jalan berisi pohon kelapa yang kelihatan dari ketinggian dan kejauhan membentuk semacam pulau, rimbunan daunnya yang berbentuk khas dan jujur saja, tiba-tiba membuatku rindu masa kecil. Masa kecilku kuhabiskan ditengah2 kebun kelapa kakek, yang sekarang sudah banyak tumbang berganti semen dan bangunan gudang-gudang milik Bapakku, bahkan di kota sekecil Tulungagung pun sudah sulit menemukan kebun kelapa. Kata Mas Iwan, Kepulauan Nusa Tenggara memanglah salah satu penghasil kopra.

Setelah 2 jam rollercoaster didarat, kita harus melanjutkan dengan menyeberang, rollercoaster di laut. Kita pun sampai di sebuah pelabuhan kecil (aku ragu apakah itu pantas disebut pelabuhan, saking kecilnya), menyewa peralatan snorkling dan berangkat dengan kapal bermotor. Yang ini lebih dahsyat lagi goncangannya, bukan dari kelokan jalan yang naik turun, tetapi ombak yang menggulung. Padahal bapak pemilik kapal cerita kalau laut sedang lumayan tenang, tetapi kulihat setelah 15 menit (baru separuh perjalanan) wajah kita berempat sudah berubah warna antara keunguan dan kehijauan. Ekspresi pun jadi aneh, seperempat ngantuk, seperempat mual, seperempat seperti stress berpikir dengan kaku, dan empat perempat persis orang mabok! Mbak Daning paling parah. Aku mencoba terus mengajak mengobrol, which is not a hard thing to do (what can I do, I am a chatty person :D). Dan ini bukan hanya kulakukan untuk makhluk-makhluk mirip manusia tapi berwajah ungu dan hijau disekitarku itu, tetapi juga untuk diriku sendiri, yang pasti tak kalah ungu dan hijaunya. Obrolan ternyata lumayan berhasil untuk mendistraksi rasa mual yang sempat menyemprot sekali-kali. Siapa tahu teknik ini suatu saat bisa dibuktikan secara ilmiah, mengatasi mabok perjalanan dengan terapi mengobrol. Hahaha.

Pulau Gili Nanggu kecil saja, bahkan dari tempat berdiri, kita akan bisa melihat separuh lingkaran pantainya. Pasirnya putih, agak kasar tetapi sangat berkilauan, indah sekali. Waktu kita datang suasana masih sepi, hanya terlihat 4 kapal lainnya. Penumpangnya kemungkinan adalah beberapa pasang bule yang sedang berjemur disitu. Disitu juga ada sebuah hotel yang menyediakan cottage dengan arsitektur khas Lombok. Rumah panggung dengan teras terbuka di bawah panggungnya. Dihubungkan dengan tangga monyet dari kayu, diatasnya terdapat ruangan utama berupa attic tepat dibawah atap sirap yang menggelembung. Kecil saja, tetapi bahkan dari luar kelihatan sangat eksotik dan menarik. Secara langsung , model bangunan seperi inilah yang membangun suasana Lombok di kepalaku selama ini, persis seperti yang kulihat di brosur2 dan gambar2 Pulau Lombok.

Begitu sampai, agak terlalu semangat kita pun langsung action (maunya..), tetapi ternyata terganjal urusan celana pendek Mas Iwan yang rupanya ketinggalan nggak ikut terbawa ransel kita (my fault hiksss). Walaupun disitu ada satu hotel yang lengkap dengan toko souvenir yang menjual celana, ternyata tak membantu karena stok ukuran untuk Mas Iwan kosong! Ada satu biji saja yang cukup di badannya, tetapi itu adalah celana pendek cewek dan sangat centil. Warnanya perpaduan krem dan oranye muda, dengan motif bunga kamboja lengkap dengan tali temali dan rimpel kecil dipinggir bawahnya. Persis celana2 yang kupilihkan buat Bea gitu! Jadi jangan bayangkan jadinya, dan maklumi juga kalau di foto manapun, tak akan bisa terlihat bagian pinggang kebawah Mas Iwan disana. Itu semata-mata adalah aturan main dari pengarah gayanya (baca : Mas Iwan sendiri). Hahahaha! Walaupun merasa bersalah, jangan salahkan aku –dan kami semua- kalau hal ini menjadi bahan kepingkal-pingkalan kami semua! :D

Lebih seru lagi ketika ada sebuah keluarga yang terdiri seorang ibu paruh baya dan 6-7 anak abg yang bergabung dengan kami di pantai itu. Rasanya kalau nggak memperdulikan kesopanan, pasti lebih banyak lagi manusia yang terpingkal-pingkal saat itu.

:::::.....

Anyway, kemudian nyemplunglah kita, suatu permulaan akan kedudulan yang tak terkira...

(Bersambung)

Kamis, 28 Februari 2008

Nonton Bareng "Ayat-Ayat Cinta"


Lumayan hobi nonton, biasanya aku pergi berdua dengan suami. Tapi tadi siang adalah waktu nonton yang istimewa.

Pertama, karena filmnya adalah “Ayat-Ayat Cinta” (dan karenanya, Mas Iwan tentu tak akan bersedia ikut), sebuah filem yang belum-belum sudah menjadi besar, thanx to novelnya Kang Abik. Berdasarkan pengalamanku nonton filem2 yang diangkat dari novel, aku sudah tak banyak berharap. Bagiku, belum-belum aku sudah setengah yakin bahwa membaca novelnya pasti akan tetap lebih mengasyikkan daripada nonton filemnya.

Kedua, siang ini bener-bener Mommies Day Out buat kita bertujuh. Eh, kliru ternyata ber-8 karena ada satu yang mengajak si kecilnya ikut. Udah lama nggak ngumpul di sekolah (kebetulan kita bertemu dan berteman karena anak2 kita bersekolah di sekolah yang sama), sekalinya ini kita berkesempatan nonton bareng (well, paling nggak buat aku hehe).

Ketiga, kita nontonnya di mall baru, Surabaya Town Square (Sutos) sehingga tak bisa dicegah, ada dua faktor dudul disini. Faktor “kita ngumpul” dan faktor “tempat baru”. Maka keluarlah semua katrok dan ndeso (hahahaha) apalagi mall dengan konsep innercourt baru kali ini ada di Surabaya. Padahal beberapa sudah melihat Cilandak Town Square Jakarta yang menjadi pilot project mall konsep begini, tapi tetep...karena kali ini ada faktor “ngumpul” itu tadi, semua jadi dudul bertingkah lebih kekanak-kanakan daripada anak-anak. Yang pasti, kebanyakan pada nyerah melawan hasrat “poto-poto” ku yang sudah dalam taraf memalukan itu. Hihihihi...

Khusus di Cinema XXI suasana sangat ramai! Penuh dengan ibu-ibu, remaja2 putri yang jelas sekali penggemar berat novel Kang Abik. Dari salah satu teman yang ketemu disitu, kabarnya sore ini akan ada juga berpuluh penggiat ESQ yang mau nonton bareng, wah bisa-bisa menyewa seluruh ruangan sendiri tuh! Ah, aku kok jadi inget Mas April, salah satu dari sedikit kaum adam yang kukenal yang sangat tersentuh dengan novel AAC dan dengan gentlemen mengakui berapa box tisu yang dihabiskannya setelah baca itu novel. Kapan itu sempat terpikir untuk kopdar sekalian nonton bersama filem AAC, karena aku juga sudah kepingin kenal istrinya. Maaf ya Mas, karena penentuan tempat nonton yang mendadak, aku jadi nggak bisa punya kesempatan untuk menghubungi sampeyan. :-(

Filmnya sendiri, sangat sesuai dengan yang kuharapkan sebelumnya, yaitu TIDAK SEASYIK NOVELNYA. Namun begitu, tak urung ada beberapa scene yang cukup memancing airmata haru, memperlihatkan dengan jelas selera romantisme yang menghujam hati ala Hanung Bram. Tapi tak ada separuh novelnya, bahkan kuingat hanya dua kali air mataku sempat mengambang, itupun nggak sampai jatuh (salah satu kerugian nonton bareng2, jadi pada cekikikan dan kurang menghayati drama :-D). Itu adalah ketika melihat tokoh Aisa hancur hatinya demi menyaksikan Fahri menikahi Maria atas desakannya sendiri. Satu lagi adalah ketika Maria yang sekarat mengambil tayamum dan mengajak Fahri dan Aisa sholat bersama-sama, kemudian meninggal.

Akting Rianti Cartwright dan Fedi Nuril juga biasa saja, aku malah lebih kepincut dengan Carissa Puteri (pemeran Maria) yang menurutku sangat natural dan menggemaskan. Dia jelas-jelas mampu menghidupkan karakter Maria di novel, berbeda dengan Rianti (pemeran Aisa) yang kelihatan agak lebih tegas dan kurang ikhlas dibandingkan dengan karakter Aisa di novelnya. Ending yang sempat di twist juga cukup memberi kejutan tetapi tidak mengecewakan juga, karena cerita jadi lebih hidup dan mengurangi kadar ‘klise’ novelnya.

Film ini juga jelas-jelas hanya menyorot sisi romantisme dari keseluruhan isi novelnya. Ayat-ayat Al Qur’an yang membangun iman, puisi-puisi sarat makna yang menghujam dalam, suasana urat nadi kehidupan di Mesir, intinya semua hal yang menjadi kekuatan dan membuat novelnya ISTIMEWA, tak banyak ditemukan disini. Aku paling kehilangan ketika tak menemukan puisi yang diberikan Fahri kepada Aisa di malam pengantin mereka didalam novel. Prinsip-prinsip pergaulan dalam Islam pun hanya terasa sebagai background saja. Tak heran si penulis novelnya sendiri mencatat beberapa ketidakpuasan terhadap film ini.

But, terlepas dari filemnya sendiri, nonton bersama keenam teman-teman (dan si kecil Amel yang manissss sekali) ini, sangat menyenangkan. Apalagi sekarang aku sedang getol-getolnya “memaksa-maksa” mereka untuk ngeblog di Multiply (hahahaha heran kok kalian pada belum ada yang cari surat perintah pengadilan supaya bisa menghindari bertemu denganku ya?? :-D).

Mbak Agustin, Mbak Itok, Mbak Novi, Mbak Olif, Mbak Sisil (plus the sweetie Amel) dan Mbak Lucky... Thx a lot for today, girls...I really9x had a great time there... :-)

Senin, 25 Februari 2008

[Curhat Keprihatinan] Anak dan Popularitas

Keprihatinan yang sama sekali lagi membuncah demi membaca postingan Leila ini : http://niwanda.multiply.com/journal/item/251/Idola_Semua_Idola

 

Yang berikut ini maaf, reposting dari blog yang lain... I just wanna share it here also, and see what you guys would say about it... Mommies out there, please be concern about this thing. It’s been like a dangerous monster to our next generation..

 

Postingan aslinya ada disini : http://cikicikicik.blogspot.com/2007/05/mamamia-show.html#links

 

:::::.....

 

Thursday, May 31, 2007

MamaMia Show

Aku sama sekali bukan TV freak (apalagi sinetron, aduh ndak banget). Tapi akhir2 ini sempat kuliat di Indosiar gencar diiklankan acara baru bertajuk MamaMia . Pertama-tama kali liat iklannya I was like “what the heck?” another adaptation show again? Kabarnya ini show adalah hasil adaptasi (versi Indonesia) dari acara dengan judul yang sama di negara Brazil sana. Kalo pingin tahu kunjungi aja websitenya tapi it comes in spanish he he.

Show nya tentang kontes menyanyi (or popularity contest??) yang diikuti para abg cewe (+ibunya sebagai sang manajer). Audisi dilakukan di beberapa kota besar, lalu 75 pasangan anak-ibu yang terpilihpun terbang ke Jakarta untuk mengikuti kontes on air nya di Indosiar. Slogan yang dipake untuk acaranya “cuma buat perempuan” ha ha...but to me, (i hope) it’s not for ALL woman exactly... at least not for myself... :D

Tetek bengek rating, I don’t care. Kalopun nantinya aku nonton acara ini, I’m 100% sure because it’s just out of my curiousity. Thats all. Tapi, hanya dari melihat iklannya sekarang aja, ada beberapa hal yang really2 come to my concern already...(saat ini acaranya belum airing lho...tapi prihatinku sudah muncul membabi buta)

Pertama, basicly aku selalu prihatin melihat bagaimana kata “popularitas” hits people like hell !! What is up with that? Media2, buku2, diskusi, dll. rasanya perlu sekali lebih banyak mengulas bahwa masyarakat kita sekarang ini terlalu melebih2kan popularitas. Sebutan “artis dan selebritis” sangat dipuja, tanpa disadari bahwa segala sesuatu yang ada di muka bumi ini, tanpa terkecuali, selalu datang dengan 2 sisi : plus-minus, keuntungan-kerugian, kebaikan-keburukan, enaknya-susahnya. Itu pasti !.

Masyarakat sekarang kayanya perlu banget lebih aware bahwa dibalik gemerlap menjadi “terkenal” dan “bintang” banyak sekali konsekuensi yang harus siap dihadapi dan seringkali sangat tidak mengenakkan (kalo mau ditulis apa saja itu, bisa2 sekarung sendiri postingan blognya).

Kedua, masih menyangkut poin pertama. Dalam hal ini di acara MamaMia ini kan pesertanya adalah kalangan remaja putri. Menghadapi konsekuensi menjadi “terkenal” buat orang dewasa saja sudah terbukti susah (banyak kita lihat para artis korban popularitas yang hidupnya jadi kacau kan??), apalagi ini harus dihadapi para remaja. Teenagers who are struggling like hell to be human, to find their own identity and their reason to live. Struggling just being what they are, being themselves and turned out to be happy with it. And now they have to be consumed by a monster named “popularity contest”?? Oh come on, like their teenage world isn’t too hard to bear already or what??

Ketiga, the mommies. Coba sekali lagi simak beberapa komentar para peserta audisi MamaMia ini. Ada salah satu peserta bernama Martha, ini kisahnya :

“Kekompakan mama dan putrinya ini terlihat dari Martha dan mamanya, Lasma,.........bahkan menurut Martha, sang mamalah yang memaksa dirinya untuk ikut audisi Mama Mia.”

Well, just grab your sense, I wouldn’t need to write no more bout it... –sigh-... It’s hard enough to be a mother (and father) who wouldn’t push anything we want (or dream of) to our kids, in fact, it’s almost impossible to do that. Sure, we told the kids to do this and that all the time, to behave in front of other, etc. but I truly hope that I won’t ever (ever!) tell my kids to do anything so they can be in a popularity contest and eager to be a celebrity. Never!

Jujur, aku sudah cukup prihatin melihat pasangan anak-ibu yang dengan sama centilnya menyatakan antusias mereka untuk meraih “bintang” dan menjadi penyanyi terkenal (dan ibu dari penyanyi terkenal. Lebih prihatin lagi deh melihat para “stage-mom” yang justru lebih antusias dari si anaknya sendiri, malah “memaksa” anaknya untuk menjadi populer ini...

Hhhhh.......**prihatiiinnnnnn** :-(

 

SDN Ngagel Rejo III, Kelas Kreatif di Kampung Padat

Setelah kemarin sempat ngomongin Sekolah Mahal disini dan disini, pagi ini di koran aku baca sesuatu yang sangat inspiratif dan sangat menyegarkan. Para pembaca, inilah dia satu cahaya lilin yang tetap menerangi sebidang jendela ilmu ditengah gebyarnya lampu kota biaya sekolah di negeri kita tercinta. Beliaulah sosok tempat bersandar letihnya para orangtua murid memikirkan nasib masa depan anak-anaknya karena mahalnya pendidikan yang berkualitas di negeri ini.

SHE, is just simply inspiring!!


Jawa Pos, Selasa, 26 Feb 2008,
SDN Ngagel Rejo III, Kelas Kreatif di Kampung Padat

Dikira Sekolah Mahal, Sempat Tak Dapat Murid
Ada anggapan, belajar di kelas kreatif perlu biaya besar dan hanya bisa dilakukan oleh sekolah-sekolah maju. Ternyata, anggapan itu tak sepenuhnya benar. SD Negeri Ngagel Rejo III mampu mewujudkan kelas kreatif di tengah perkampungan padat penduduk.

ANGGIT SATRIYO NUGROHO

SEBUAH televisi 21 inci dan koleksi DVD hiburan tertata rapi di pojok kelas di sebelah papan tulis. Kadang, setelah jenuh belajar atau saat istirahat, para siswa mengoperasikan DVD tersebut, berjoget poco-poco. Pun, bangku-bangku di kelas itu berbentuk beragam. Ada persegi panjang, bujur sangkar, jajaran genjang, sampai trapesium dengan aneka warna. Itulah kelas kreatif SDN Ngagel Rejo III.

"Kami memesan bangku-bangku itu di pusat mebel di Pasuruan," jelas Pascalina Sugiyarti, kepala sekolah.

Aneka bentuk tersebut, kata dia, memudahkan siswa mempelajari bentuk. "Bangkunya pun saya rancang sendiri. Bahannya kami pilih kayu ringan agar siswa gampang memindah-mindahkan," ungkapnya.

Sebab, sekali waktu, dalam hitungan menit, siswa harus cekatan membentuk kelompok belajar di kelas.

Suasana ruangan pun tak monoton seperti di kelas-kelas konvensional. Tapi, mirip arena bermain. Dinding-dindingnya berwarna ceria khas anak-anak, merah, hijau, juga kuning. "Banyak orang bertanya, SD kok mirip TK," ujar alumnus STKIP Tribuwana tersebut.

Kelas kreatif memang banyak ditemui di sekolah-sekolah maju. Padahal, SDN Ngagel Rejo III berlokasi di kampung padat penduduk, Jalan Bratang Wetan I. Sebagian besar warga berpandangan, sekolah di perkampungan padat identik dengan kelas kumuh dan murid banyak. Sugiyarti ingin mengubah image tersebut.

"Sejak jadi kepala sekolah pada 1998, saya memang punya cita-cita, mengubah citra sekolah negeri di kampung," jelasnya.

Namun, ambisi itu baru terwujud pada 2002, ketika dia dimutasi ke SDN Ngagel Rejo III. Sebelumnya, ibu empat putra tersebut menjabat Kasek di SDN Ngagel Rejo VI. Dia belum bisa merealisasi keinginannya karena banyak kegiatan. Selain menjadi Kasek, dia juga ndobel di sebuah sekolah swasta di Bratang. "Cita-cita itu bisa terwujud juga karena anak-anak saya sekarang sudah mapan semua," ungkap wanita 59 tahun tersebut.

Dia ingin membangun dua kelas kreatif sekaligus, kelas satu dan dua. "Saya merintis dulu, tapi tidak tahu tahap-tahap apa yang harus dilakukan," katanya.

Sugiyarti mengaku terkesan pada kesuksesan yang dicapai SD Mangunan, Sleman, Jogjakarta, yang dirintis Y.B. Mangunwijaya. Kebetulan, bu guru itu kenal dengan Kaseknya. Sekolah tersebut berdinding gedhek (anyaman bambu), bayarnya murah, tapi bisa melahirkan murid pintar-pintar. "Resepnya apa, harus saya cari. Tapi, belajar ke Jogja kan perlu banyak uang," tegasnya.

Maka, warga Bratang Wetan itu pun membuat kebijakan di sekolahnya. Di antaranya, laba penjualan lembar kerja siswa (LKS) untuk guru sebesar 10 persen harus ditabung untuk modal ke Jogja. Keuntungan koperasi sekolah yang tak seberapa juga disisihkan. "Untungnya, para guru mendukung," katanya.

Waktu itu, ada sepuluh guru yang mengajar di situ. Kini membengkak jadi 24 orang, termasuk honorer. Tahun itu juga, ketika libur sekolah, semua guru berangkat ke Sleman. "Ternyata, memang banyak yang dipelajari di sana (Sleman, Red)," ujar Sugiyarti.

Misalnya, belajar-mengajar tak melulu dilakukan di kelas. Belajar tentang alam, siswa diajak langsung ke sawah. Belajar tentang aliran air, diajak menyusuri sungai. "Di sekolah negeri, guru dan siswa terlibat dalam objek, belum banyak dilakukan," katanya.

Sugiyarti juga mengundang beberapa guru senior SD Mangunan ke hotel tempat mereka menginap. "Saya minta para guru mendengarkan, kemudian menerapkannya ketika kembali ke Surabaya. Awalnya mereka bingung. Tapi, saya yakin bisa diterapkan," jelasnya.

Untuk mengembangkan kelas rintisannya itu, Sugiyarti rela pontang-panting mencari tambahan materi pelajaran untuk siswanya. Waktu itu, di Surabaya sedang populer metode kumon dan mega-brain. Untuk mengetahui metode tersebut, dia mengajak cucunya ke tempat bimbingan itu. "Saya menyamar sebagai pendaftar. Padahal, saya ingin terapkan metode tersebut di kelas kreatif," ungkapnya.

Tertarik, dia pun menggandeng guru khusus untuk mengajarkan dua materi tersebut. Dia juga melibatkan teman-temannya, para dosen Unesa, sebagai konsultan. Sekali waktu, para guru mendapatkan pengarahan dari mereka. Langkah itu dilakukan untuk memastikan perubahan paradigma pengajaran di kelas.

Namun, membangun kelas kreatif bukan persoalan gampang. Tahun pertama kelas kreatif dibuka, sekolah menerima 43 siswa. Tapi, tahun kedua murid baru merosot tajam, hanya 17 orang. "Saya patah arang. Sangat kecewa. Mengapa masyarakat tak mau diajak maju," katanya.

Dia penasaran, kemudian mencari penyebabnya. Melibatkan para guru, kepala sekolah itu mencari informasi ke warga sekitar. Mengapa para orang tua tidak tertarik lagi belajar di SD Ngagel Rejo III? Jawabannya mengejutkan. Di kalangan warga berkembang pandangan bahwa sekolah yang dipimpinnya tersebut mahal.

Sugiyarti pun bergerak untuk menangkal isu itu. Dia dan para guru gencar berpromosi dari kampung ke kampung. Tentang pengajaran di sekolahnya, tentang biayanya. Setiap kampung punya gawe, SD Ngagel Rejo III selalu menyumbangkan acara seperti tari-tarian. "Sampai drum band keliling pun kami lakukan agar wali murid tahu bahwa di sekolah kami bisa belajar banyak hal," tegasnya.

Kini, enam tahun setelah studi banding di SD Mangunan, Kali Tirto, Kecamatan Berbah, Sleman, Jogjakarta, Sugiyarti dan para guru merasakan hasilnya. Saat ini, sudah banyak warga Ngagel Rejo yang memercayakan pendidikan anak-anaknya di SD Ngagel Rejo III. Tiap tahun, murid baru yang mendaftar sesuai pagu, 33 siswa.

Tak jarang para siswa itu belajar di luar kelas. Waktu pelajaran berhitung misalnya, mereka diajak ke pasar tradisional. Di situ, siswa bisa berbelanja dan menghitung uang kembalian. "Belajar tentang matematika, anak-anak juga langsung saya kirim ke bank, meski sekadar menyaksikan," jelasnya.

Untuk menjelaskan air laut pasang, siswa diajak ke Pantai Kenjeran. "Pokoknya, jangan sampai guru ngoceh terus di depan kelas," ujarnya.

Wanita berambut keriting itu juga tak segan membawa akuarium ke kelas. Dia ingin siswa belajar berhitung sekaligus warna ikan dalam akuarium. "Itu juga jembatan bagi siswa untuk menyayangi sesama makhluk hidup," ungkapnya.

Setiap ada siswa yang berulang tahun, mereka boleh membawa koleksi fotonya dan memajang di kelas. "Itu salah satu cara untuk mengapresiasi kegembiraan siswa," katanya.

Hal-hal kecil, termasuk perasaan siswa, tak luput dari perhatian. Karena itu, para guru mengoleksi banyak gambar wajah orang dengan berbagai mimik. Misalnya, senang, sedih, menangis, atau tertawa. Setiap pagi, para siswa harus absen di bawah gambar-gambar tersebut. Misalnya, yang sedang sedih absen di gambar orang sedih atau menangis dan seterusnya.

"Dengan demikian, guru tahu perasaan siswa. Sebagai pendamping belajar, guru akan lebih paham mendekati siswa dengan cara yang ampuh. Siswa kelas satu dan dua kan belum bisa menggambarkan perasaannya dengan jelas," ujarnya. (cfu)

 

Minggu, 24 Februari 2008

[Bali] Day 5 : What A Holiday! Kamipun Terjebak Banjir Bandang di Pasuruan!!


Pagi itu kita ke Sanur berbarengan dengan rombongan SMP something dari Jawa.

Sebelumnya ijinkanlah aku menyebut seseorang, kepada siapa aku mendedikasikan postingan ini, dia yang tak lelah menanyakan kapan aku posting Bali Day 5 walaupun aku sedang nungguin Bea yang 4 hari opname di RS...
Kasihan Mas Yudi (http://yudexelex.multiply.com) yang memang sangat hobi membaca ini, pasti dia sudah benar2 kehabisan bahan bacaan... **menghela napas** :-D
Monggo Mas, meniko postinganipun, mugi dipun midangetaken... :-)

:::::.....
[Bali] Day 5 : What A Holiday! Kamipun Terjebak Banjir Bandang di Pasuruan!!

Rabu, 30 Januari 2008

Selepas Subuh saat anak-anak masih tidur, aku pergi menemani mas Iwan yang pingin hunting foto sunrise di Sanur. Sekembalinya, packing dan ketika jam menunjukkan pukul 9 (WIB) kamipun bertolak untuk kembali ke Surabaya dengan perjalanan darat.

Banyaknya pantai yang kita temui selama perjalanan di pesisir selatan Pulau Bali, hujan deras di sepanjang perjalanan, pengalaman menyeberang dengan ferry yang menyenangkan, anak-anak selam di pelabuhan Gilimanuk yang membuat Abe melongo, beberapa kali anak-anak rewel karena bosan, pemandangan PLTU Paiton di malam hari yang gemerlap dan fantastis, semua seperti sekelebat adegan pembuka untuk dokumentari kami hari itu. Waktu 12 jam, dari jam 9 pagi sampai jam 9 malam serasa bagaikan sedetik saja, ketika kemudian kami memasuki adegan utama kami malam itu. Malam yang terasa panjang, mencekam dan sangat menegangkan!

Hujan masih turun dengan deras. Praktis dari tadi pagi hujan tak berhenti turun. Waktu makan malam di Rawon Nguling menjelang masuk Pasuruan, semangat kami semua yang sebelumnya sempat didera kebosanan dan kelelahan terpompa kembali. Betapa tidak, 2 jam lagi kami akan sampai kerumah. Sudah homesick berat!

Lalu, Metro News di TV RM Rawon Nguling mengabarkan informasi kalau beberapa sungai di Pasuruan meluap malam itu dan jalan-jalan utama sudah mulai tergenang air. Kitapun dengan bergegas beranjak dari tempat makan yang terkenal sampai rawonnya jadi menu rapat kabinet Presiden di Istana Negara itu. Mas Iwan dengan was-was mengambil resiko untuk meneruskan saja perjalanan, mumpung genangan belum tinggi pikirnya. Selain itu, jarak kerumah pun hanya tinggal 2 jam saja perjalanan.

Hujan makin mengkhawatirkan. Sekitar 5 km menjelang kota Pasuruan, jalanan gelap gulita. Rupanya listrik dipadamkan total dimana-mana menyusul banjir. Kita semakin was-was melihat kondisi pemadaman yang panjang, mungkinkah banjir sudah parah??

Dan benar saja, di gang-gang yang kita lewati sudah terlihat aliran air membanjir dengan deras. Di jalan raya banyak titik2 genangan yang semakin lama semakin tinggi. Genangan-genangan ini tidak hanya berupa genangan air tenang, tetapi merupakan aliran deras air yang jelas-jelas bandang!!

Di sekitar BCA Pasuruan, kelihatan jelas ada sungai yang meluber, arusnya benar-benar deras menuju kedua arah samping, dan kejalan! Ngeri sekali lihat arusnya yang deras!!

Waktu sampai di perempatan dekat alun-alun Pasuruan, genangan di jalan sudah sekitar 30 cm, setinggi lutut orang dewasa. Dan airnya masih mbandang!! Bukan permukaan yang tenang, tapi arus yang mengerikan derasnya. Sudah kelihatan suasana panik warga disepanjang jalan yang kita lewati. Juga para pengendara motor, apalagi yang membawa mobil sedan. Untunglah Innova kami cukup tinggi.

Rute ke Surabaya dialihkan ke jalan lain, kami pun mengikuti. Warga sudah banyak berkerumun diluar rumah, beberapa kelihatan mulai mengumpulkan barang-barang untuk diselamatkan. Suasana masih gelap gulita, hanya ada penerangan dari lampu kendaraan yang lewat dengan resah. Rupanya sudah ada komando untuk mengungsi. Duhhh!

Yang paling menakutkan untuk dilihat bukanlah ketinggian air di jalan, tetapi bahwa air itu mengalir dengan arus yang sangat deras! Benar-benar deras!! Sewaktu kecil, sebelum dibangun waduk Niyama, kota kelahiranku Tulungagung dikenal dengan banjirnya. Dan walaupun itu sudah 30 tahun berlalu, aku masih bisa dengan jelas memahami bahwa, INI BENER-BENER BANJIR BANDANG!!!

MASYAALLAH....BENAR-BENAR LENGKAP CERITA LIBURAN KITA YA!!!

Keluar dari jalan utama ke rute yang disarankan, genangan memang menghilang. Timbul sedikit harapan bisa sampai dirumah sebelum tengah malam. Sekarang kita berada sekitar 2 km sebelum Keraton (tempat yang terkenal sebagai pusat mebel kayu Pasuruan itu). Tetapi semenit kemudian jalan macet total!! Dan aneh! Jalur yang berlawanan dengan kita suepiiii...PI!! Nggak tampak sebiji mobil pun melintas!

Mas Iwan pun keluar untuk mengumpulkan informasi. Suasana diluar ramai, banyak yang keluar dari mobil dan terlibat perbincangan serius dalam rangka bertukar informasi. Ternyata apa yang dikhawatirkan Mas Iwan benar, bahwa jauh didepan sana, ada aliran sungai lagi yang meluap! Kabarnya di Keraton air sudah setinggi 2 meter! Sebuah mobil Panther yang menjadi pembawa berita keadaannya sudah dudul, cukup menjadi bukti untuk kita semua.

Di mobil suasana ikut tegang. Untung Bea sudah tidur. Abe tak henti bertanya “ada apa?” dan akupun tak henti menjelaskan dengan nada yang tak pasti bercampur tegang. Rupanya Abe merasakan ketegangan itu, karena setelah satu pertanyaan terjawab, bukannya berhenti tetapi rentetan pertanyaan lain langsung mengikuti.

Sempat ada ide untuk putar balik ke arah Probolinggo untuk menginap saja, tetapi ternyata ada kabar datang bahwa disanapun, tinggi air sudah se-dada orang dewasa.

KITA BENAR-BENAR TERJEBAK!!
Didepan, arah Kraton air sudah 2 meter! Di belakang, arah Probolinggo juga sama! Di kanan adalah pantai yang pasang, sumber segala banjir bandang malam itu. Ke arah kiri, berputar ke Malang kabarnya juga keadaan setali tiga uang karena banyak anak sungai yang harus dilewati dan juga meluap!!

Untunglah kemudian didekat situ, belok sebentar ada Rumah Makan “Kurnia”. Kitapun memutuskan parkir disitu sembari mencari-cari informasi. Didepan RM yang akhirnya memutuskan untuk buka 24 jam malam itu –pemiliknya bener2 baik dan welcome pada kami semua- jalanan sudah lengang, sama sekali tak ada mobil melintas dari 2 arah.

Rencananya, kami akan “menginap” di parkiran RM Kurnia. Besok, atau kalau kita beruntung jam 2 pagi (sesuai perkiraan orang-orang), ketika air laut sudah surut barulah kita lanjutkan perjalanan. Selama ngepos di parkiran itu –bersama sekitar 25 mobil lainnya- banyak hal yang kami jumpai.

Ada satu mobil Kijang berisi satu keluarga yang mengungsi. Rumahnya didekat alun-alun, dan ketika dia mengungsi tinggi air sudah 1 meter! (itu nyaris kira2 hanya 10 menit setelah kami lewat disitu! Masyaallah!!) Mesin mobilnya sudah blebek2 waktu dibuka, beruntung mereka bisa nyampai ditempat itu. Sebuah mobil lagi datang, berisi satu keluarga pengungsi, bercerita bahwa neneknya masih ketinggalan di atas genting rumahnya yang ditengah kota, tanpa mereka berdaya untuk putar balik mengambilnya sekarang. Mereka hanya bisa berdoa supaya si nenek bertahan sampai banjir surut, dan bahwa banjirnya nggak tambah tinggi menenggelamkan atap rumah. Duuhhhh....!!!!

Satu lagi kisah tragis melibatkan mas Iwan yang dudul kumat paranoidnya mempersiapkan pelampung buat anak-anak. Kubilang tragis karena demi itu, dia harus membongkar ludes isi mobil untuk mengambil pelampung anak2 yang berada di paling bawah tumpukan barang2. Persis orang buka pasar kaget di tempat perlindungan bencana jadinya.

Selebihnya, kami mencoba membuat acara menunggu banjir surut bisa tenang dengan cara kita masing-masing. Makan dan ngopi di RM yang seperti mendapat hikmah dari musibah ini, menggelar alas piknik yang baru kita beli di Bali, dan ngobrol sana-sini dengan sesama “korban” yang berlindung disitu. Acara ngobrol yang sangat berguna, karena dari situlah Mas Iwan –nggak tahu gimana caranya- tiba-tiba menginstruksikan kita untuk siap-siap meneruskan perjalanan. Waktu itu hampir Pukul 1.00 dini hari.

Ternyata dia berhasil menggaet seorang satpam yang mengaku tahu jalan alternatif ke Surabaya, lewat jalan tikus yang menuju ke Pandaan. Kabarnya hanya akan melewati satu sungai, dan sungai itu berada di tempat paling jauh dari sumber bandang. Resiko masih besar, karena walaupun sungai itu akan surut paling duluan, toh kita tidak tahu pasti apakah benar-benar sudah surut atau belum.

Kita pun nekad berangkat dengan dipandu Pak Satpam yang bersepeda motor itu. Dag dig dug tentu. Apalagi kemudian kita melihat, dibelakang kita banyak sekali mobil yang ikut, nyaris semua yang menuju Surabaya ikut. Duhhh kalo sampai nanti salah, kita yang harus bertanggungjawab nih.

Lewat jalan kecil dan gang-gang berliku, suasananya sangat mencekam. Listrik masih padam gelap gulita. Di sepanjang jalan, tak ada kendaraan lain kecuali iring2an kita itu. Kemudian Pak Satpam melepas kita, hanya menyisakan tunjukan jarinya ke suatu arah dari sebuah perempatan. Dengan iringan terimakasih dan sejumlah uang dari semua mobil yang ikut, Pak Satpam pun balik, dan kita sekali lagi tambah dag dig dug melewati jalanan yang gelap dan bertabur aura ancaman bencana. Masyaalloh, sungguh mencekam!!

Kita pun akhirnya melewati sungai yang dikhawatirkan, dan alhamduillah sudah surut!! Di sekitar sungai tampak banyak warga berkerumun, juga mobil polisi yang lampu sirinenya menyala tanpa suara. Hati kami semua miris demi mendengar komentar Mas Iwan “kayaknya ada korban yang meninggal disitu”.

Setelah setengah jam yang terasa seperti beberapa tahun, mulai tampaklah tanda arah jalan. Betapa kami bersyukur membaca tulisan “Sukorejo” dan betapa Mas Iwan heran dengan dirinya sendiri, kenapa dia yang selama ini sering pergi Sby-Pandaan-Pasuruan tetapi kok tidak pernah tahu dan lewat daerah ini?? Khas egoistis seorang paranoid-decision maker yang heroik, yang tak akan bisa menerima dan memaafkan ketidaktahuannya akan sesuatu yang bisa jadi penting seperti jalan tembus ini.

Kalimat syukur tak henti kami ucapkan. Akhirnya jalan ke Surabaya terbuka lebar dan aman. Di radio Suara Surabaya FM kami dengar sudah ada rekan dibelakang yang melaporkan rute yang berhasil kita tempuh ini. Supaya pengendara lain yang masih terjebak, bisa mengikuti rute kita menuju ke Surabaya –ataupun Malang.

Sebagai akhir cerita, tepat jam 3.00 pagi akhirnya kita sampai dirumah. Alhamdulillaahhh.... WHAT THE HECK OF A DAY!!! LIBURAN YANG AMAT AMAT BERKESAN!! And now finally, we’re home...save and sound.. Alhamdulillah...Dalam sholat malam itu sebelum kita ambruk di tempat tidur, tuntas segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah melindungi perjalanan kita.

:::::.....

Besoknya, masih ditengah ributnya telpon dari/ke Abah/Mbah Sul dan Kakung/Uti membahas cerita terjebak banjir kemarin, ketika ditanya “Siapa mau pergi ke Bali lagi??”

“Sayaaaaa....!!!” jawab Abe dan Bea.
“Okeeeee insyaalloh kalo sakit pinggang Ibuk udah sembuh, kita ke Bali lagi yeeee”..sahut Ibuk sambil mbatin heran “Nggak ada mati2nye nih anak2” :-D

Subhanallohh
:::::.....

Salah satu berita tentang banjir itu bisa dibaca disini:
http://www.media-indonesia.com/berita.asp?id=157553 (by googling)

TAMAT
(pffhh...akhirnya....) :D

Rabu, 20 Februari 2008

[Sambungan] Sekolah Sayang, Sekolah Ma...hal..

[Sambungan] Sekolah Sayang, Sekolah Ma...hal..

 

Masih malam2 sepi di RS. Bea tidur sudah tanpa selang infus dan aku sangat rindu ngobrol berdua dengan Mas Iwan.. ^_^

 

Dari postingan http://cikicikicik.multiply.com/journal/item/89 sebelumnya, ternyata topik berkembang lebih lanjut. Ada beberapa komentar yang rasanya menarik juga untuk dibahas ya. Masih dengan keprihatinan tentang biaya pendidikan Indonesia bila dihubungkan dengan HAK setiap anak Indonesia untuk mendapat pendidikan yang layak, dan juga masih dengan semangat memeluk impian tentang suatu masa ketika semua anak2 Indonesia bisa bersekolah dengan sebaik-baiknya!

 

Semoga sedikit banyak bermanfaat untuk menambah sedikit wawasan kita dalam soal pendidikan ini. Komentar dan diskusi lebih lanjut? Wahhh justru itu yang sangat kuharapkan, karena ini semua adalah demi kepentingan anak2 kita semua juga.

 

Mamal http://bulatpenuh.multiply.com muncul berkomentar tentang ide SUBSIDI SILANG. Semua orang (aku juga!! aku juga!!:-D) pasti setuju bahwa cara inilah yang memang ampuh dalam rangka menjadi jembatan kesenjangan dan dalam rangka pemerataan. Dalam bidang apa saja! Pelayanan kesehatan, sosial, apa saja!

 

Nah, khusus dalam hal sekolah, permasalahannya ternyata musti ditelaah lebih jauh lagi dan dilihat dari banyak sisi. Di Sekolah Al Hikmah sendiri, program ini sudah lama dilakukan. Hanya mekanismenya yang mungkin agak panjang. Pertama, anak-anak dari semua guru/karyawan sekolah mendapat beasiswa dari Yayasan untuk bersekolah di Al Hikmah (kalau nggak salah, mereka hanya perlu membayar SPP sejumlah 10 % saja). Sebagai tambahan, para guru/karyawan dengan jangka waktu kerja tertentu mendapat tunjangan perumahan, melakukan penelitian bahkan umroh dan naik haji secara gratis dari yayasan.

 

Kemudian, kalau menyangkut anak-anak asuh yang kurang mampu, mereka tidak kemudian langsung mendapat beasiswa untuk sekolah gratis di Al Hikmah. Tidak. Kenapa? Banyak pertimbangan, terutama untuk mengantisipasi aspek kesenjangan pergaulan antar siswa. Dengan latar belakang ekonomi yang jauh berbeda, mencampur mereka dalam satu sekolah (dan pergaulan) sama saja dengan memberi hadiah pasang AC gratis kepada orang yang rumahnya hanya punya daya listrik 900 watt saja. Kelihatannya menolong, tetapi dibelakang malah akan memunculkan masalah-masalah baru. Malah kasihan.

 

Al Hikmah dalam hal ini mempunyai program Mitra Sekolah. Sekarang ini sudah banyak sekolah didaerah sekitar yang menjadi mitra, mereka umumnya adalah sekolah2 yang kurang mampu dan minim fasilitas. Dari TK sampai SMA. Maka kesinilah semua “subsidi silang” tadi disalurkan. Dana2 subsidi pemerintah (seperti Bantuan Operasional Sekolah atau BOS) dan infak harian para siswa Al Hikmah (percayalah, kalau melihat jumlahnya perbulan, pasti akan banyak yang terkejut dan merasa bangga dengan anak-anak :-D), secara rutin dan berkala semua diprogramkan untuk memberi bantuan pengadaan/perbaikan fasilitas dan juga biaya SPP bagi siswa2 tak mampu di sekolah-sekolah mitra tersebut. Kita juga sering mengadakan acara (misalnya ketika peringatan hari besar Islam) dengan mengundang siswa-siswa dari sekolah tersebut, sehingga mereka mempunyai kesempatan beraktivitas bersama siswa2 Al Hikmah, untuk menjalin hubungan pertemanan, untuk –misalnya- melakukan pertandingan sepakbola, basket atau lomba-lomba kesenian. Atau sekedar buka puasa bersama dikala Ramadhan.

 

:::::.....

 

Harlia http://harlia.multiply.com malah muncul dengan cerita yang sangat inspiratif.

“waktu itu baca dimana ya...majalah apa gitu...ada ustad.. (payah deh gw.. lupa.. ^^;; )
dia mau masukin anaknya ke sekolah islam terkenal dan tentunya, mahal...
tapi setelah bolak-balik menghitung...uang yang tadinya mau dipakai buat menyekolahkan anak malah dijadikan modal buat bikin sekolah di rumah mereka.
walhasil, anak mereka bisa sekolah di tempat yang sesuai..beserta anak-anak di sekeliling mereka... ^_^

 

Hebat ya. Aku pribadi sangat jauh dari sanggup punya pemikiran ini. Salut sama ustad itu (duh kamu kok ya pake lupa nama to Har..:-D) semoga Allah selalu melimpahi perjuangannya dengan semangat dan kemudahan, amin. Kita sangat perlu orang2 seperti ini, dan sejuta saja ada orang kaya gini, makmur deh dunia pendidikan anak-anak Indonesia.

 

Oya, menyangkut hal ini, ada sambutan salah satu Bapak Ketua Yayasan Al Hikmah yang menarik untuk disimak. Intinya begini. Selalu ada banyak jenis medan pertempuran dalam berjihad. Tentu saja adalah satu hal yang luar biasa bila kita –misalnya- bisa membangun banyak sekolah gratis untuk anak-anak yang kurang mampu. Tetapi dalam rangka kepentingan syiar agama, keberadaan sekolah berbasis Islam yang dikelola dengan bagus, maju, modern, bahkan kalau perlu megah, adalah sesuatu yang juga penting. Ibaratnya, inilah salah satu panji Islam yang harus dikibarkan.

 

Ketika dalam rapat tiga jalur ada seorang walimurid mengungkapkan kekhawatirannya bahwa jangan2 Al Hikmah menjadi sekolah yang –bhs jawanya- “puo puo” (berlebihan), Pak Ketua Yayasan mengungkapkan, bahwa justru dia merasa bahwa apa yang dicapai Al Hikmah sekarang ini belumlah apa-apa. Semakin banyak dia survey ke sekolah lain (misalnya sekolah2 kristen atau sekolah2 Islam favorit di negara2 maju macam Mesir dan Arab Saudi), semakin dia merasa bahwa “Untuk syiar agama Allah, ini semua belum apa-apa!”

 

Lebih lanjut beliau mengungkapkan, bahwa ternyata diluar sana banyak sekali orangtua2 muslim yang lebih dari mampu untuk membiayai anaknya sekolah dengan biaya yang tinggi. Ini artinya apa? Bahwa tersedia potensi umat yang amat besar dan harus digarap! Ada alasan kenapa Rasulullah menyerukan bahwa umat muslim tidak boleh menjadi umat yang miskin. Umat muslim harus bekerja keras, dan menjadi kaya raya supaya bisa mendukung jihad dijalan Allah dengan harta mereka. Nah, sekolah-sekolah ini lah salah satu wadahnya. Anak-anak dan generasi yang dihasilkan dari sekolah seperti Sekolah Al Hikmah, harus menjadi generasi kuat yang terpelihara iman dan jihadnya di jalan Allah. Lewat sekolah semacam ini, jangan sampai mereka hanya akan menjadi penghuni menara gading anak-anak yang hidup dengan bergelimang harta orangtua, tanpa tahu dan terbiasa menyadari bahwa harta itu adalah jalan dan sarana yang harus dan wajib mereka dedikasikan kepada jihad, menuju Allah.

 

(Duhhh suasananya kok jadi patriotik gini sih? Hihihi...memang waktu rapat itu, mendengar uraian Bpk. Ketua Yayasan seperti diatas itu, tak urung dadaku juga mengembang dengan sesak, dan sampai sekarangpun aku tak bisa lupa kata2nya yang (entah kenapa) menyesakkan dada. Sungguh, ternyata harta dan anak yang dititipkan kepada kita adalah amanah yang sangat amat besar pertanggungjawabannya dihadapan Allah SWT ya...hikss)

 

:::::.....

 

Ya Allah yang Maha Memiliki, aku mohon, tetapkanlah selalu hatiku hanya kepadaMu... ^_^ 

 

Selasa, 19 Februari 2008

Sekolah Sayang, Sekolah Ma...hal...

Setiap tahun, pengumuman pendaftaran dan penerimaan murid baru di lingkungan Sekolah Al Hikmah Surabaya selalu menjadi perbincangan tersendiri. Bukan hanya di kalangan kami orangtua murid yang anaknya sekolah disitu, tetapi praktis semua orang. Aku sering dijadikan jujugan saudara, teman2 dan siapa saja untuk ngomongin sekolah ini. Yang utama dan selalu menarik rasa ingin tahu semua orang tentu saja adalah “Berapa biaya masuk tahun ini???”

 

Entah darimana asalnya rumor ini, kami sudah dibuat yakin bahwa tiap tahun, YLPI (Yayasan Lembaga Pendidikan Islam) Al Hikmah sudah membuat semacam komitmen bahwa setiap tahun biaya pendidikan akan mengalami kenaikan. Bukan hanya biaya masuk, tetapi juga SPP dan uang kegiatan. Sebab lainnya (yang ini bukan rumor lagi), untuk sekolah Islam di Surabaya, Al Hikmah saat ini memegang rekor biaya termahal dibanding sekolah-sekolah Islam full-day lainnya. Karena itu setiap memasuki bulan Februari (waktunya sekolah2 swasta membuka pendaftaran murid baru), isu ini biasanya jadi rasan2 hangat di kalangan ibu-ibu.

 

Tahun ini waktunya untukku terlibat karena Bea akan masuk TK. Lebih tepatnya, Mas Iwan yang terlibat karena sampai sekarang aku masih harus nungguin Bea yang opname di RS. (Ini nulis postingannya juga malam-malam di RS, waktu Bea udah tidur hehehe)

 

Minggu lalu, brosur yang ditunggu-tunggu resmi keluar. Aku comot sebagian ya, bagian lengkapnya bisa dilihat di www.alhikmahsby.com

 

 

INFORMASI PENDAFTARAN MURID BARU
KB-TK-SD-SMP-SMA AL HIKMAH
TAHUN AJARAN 2008 - 2009

 

I. Waktu dan Tempat

--delete--

 

II. Persyaratan

1. Membayar biaya pendaftaran :
     ­ KB Rp. 150.000,-
     ­ TK-SD-SMP-SMA Rp. 200.000,-

2. Usia minimum per tanggal 01 Juli 2008 :
     ­ KB : 2 tahun 8 bulan
     ­ TK : 3 tahun 8 bulan
     ­ SD : 5 tahun 8 bulan

3. dst –-delete--

 

III. Seleksi

A. Tes Psikologi

 

TK - SD

SMP - SMA

Mengungkap Tingkat Intelegensia

Mengetahui Potensi Intelegensi Siswa

Mengungkap Kepribadian & Perkembangan Mental

Mengetahui Bakat dan Minat Siswa

Mengungkap Perkembangan Motorik & Spontanitas

Mengetahui Kepribadian Siswa

Mengungkap Kematangan Sosial

-

 

B. Tes Al Qur’an

 

SD

SMP - SMA

Membaca
Al Qur'an

Hafalan Juz 'Amma

Hafalan wajib

Hafalan pilihan surat panjang

Hafalan pilihan surat pendek

An Naba’

- An Naazi’at
- Al Muthoffifin
- Al Infithar
- ‘Abasa
- Al Buruuj

- Ad Dhuha
- Al Qori’ah
- Al Qodr
- Al Insyirah
- At Takatsur
- Quraisy
- At Tiin
- Al Humazah
- Al ‘Aadiyat
- An Nasr

 

C. Tes Akademik

 

SMP

SMA

Materi SD kelas 4 dan 5

Materi SMP kelas 1, 2 dan 3 semester 1

Tes Tulis :
 - Bahasa Indonesia
 - IPA
 - Matematika

Tes Tulis :
 - Bahasa Indonesia
 - IPA
 - Matematika
 - Bahasa Inggris
 - IPS

 

E. Pelaksanaan Seleksi

--delete--

 

IV. Pengumuman
    Sabtu, 29 Maret 2008, di sekolah masing-masing

 

V. Biaya

 

Jenjang

Infaq Jariyah
( setelah diterima )

Dana Pengembangan Pendidikan per tahun

Dana Penyelenggaran Pendidikan (DPP) per bulan

KB

Rp. 6.000.000,-

Rp. 600.000,-

Rp. 475.000,-

TK1

Rp. 8.000.000,-

Rp. 800.000,-

Rp. 500.000,-

TK2

Rp. 8.000.000,-

Rp. 800.000,-

Rp. 600.000,-

SD

Rp. 13.500.000,-

Rp. 900.000,-

Rp. 700.000,-

SMP

Rp. 13.500.000,-

Rp. 2.250.000,-

Rp. 910.000,-

SMA

Rp. 13.500.000,-

Rp. 2.250.000,-

Rp. 960.000,-

 

VI. Lain-lain :
Uang seragam dan Perlengkapan sekolah, dapat berhubungan langsung dengan Toko Sekolah Al Hikmah Telp. (031) 8290216

 

:::::…..

 

Rasanya setiap orang yang masih waras dan sadar betapa susahnya cari duit, pasti sedikit banyak akan melongo lihat daftar diatas (terutama bagian nomor V itu). Aku dan Mas Iwan juga sampai sekarang setiap menyaksikan anak-anak miskin yang tidak mampu sekolah, selalu tak bisa menghalang rasa bersalah yang timbul mengingat berapa uang yang kami keluarkan untuk pendidikan anak-anak kami.

 

Juga rasa prihatin yang muncul tak terbendung setiap melihat orangtua yang dengan bangga penuh rasa mampu seakan bilang “Aku bisa lho menyekolahkan anakku di Al Hikmah yang paling mahal itu” tanpa tahu sesungguhnya apa alasan utama Sekolah Al Hikmah pantas meminta biaya sebegitu besar dari para orangtua murid. Mereka mungkin akan bisa kembali jadi manusia lagi begitu tahu bahwa di Jakarta, biaya Sekolah Islam sekelas Al Hikmah bisa-bisa 3-4 kali dari ini! Betul nggak Mbak Irma? ;-)

 

Lalu kenapa dulu kami memutuskan menyekolahkan anak-anak kesini? Semoga saja diatas segalanya, semua hanya karena Allah. Yang lainnya, beberapa adalah alasan berikut ini :

Pertama, karena Allah sudah menitipkan harta yang cukup untuk kami memperjuangkan pendidikan anak-anak di sekolah ini. Mas Iwan meyakinkan bahwa kalau sampai kita menyia-nyiakan kesempatan ini, maka sama saja kami tidak bersyukur. Dan Anda boleh percaya, kalau saja kondisi keuangan kami tidak memungkinkan untuk memasukkan anak-anak di sekolah ini, dengan ijin Allah, kami sebagai orangtua tidak akan kehabisan akal untuk berusaha menyediakan pendidikan yang terbaik buat anak-anak. Om Andrea Hirata pasti akan setuju dengan ini! :-D

 

Kedua, ada satu hal yang membuat kami tidak merasa rugi membayar mahal, yaitu apa yang disebut BUDAYA SEKOLAH. Budaya yang sepenuhnya Islami, yang hanya akan bisa dirasakan bila kita menghabiskan waktu bergaul di lingkungan sekolah. Slogan yang “Berbudi dan Berprestasi” sudah jelas visinya. Budi dulu, baru urusan prestasi. Dan slogan ini, kami sudah membuktikan prakteknya di lapangan. Dan karena itulah kami merasa visinya sama dengan visi keluarga kami. Dari masuk gerbang sekolah sampai pulang, insyaalloh anak-anak selalu berada dalam lingkungan yang berbudi dan Islami.

 

Ketiga, SPP mahal ternyata membawa konsekuensi yang tidak selamanya negative. Yang kumaksud adalah kesejahteraan para guru dan karyawan di sekolah. Dengan kesejahteraan yang memadai, para guru di Al Hikmah terbukti relative lebih focus  dan sabar dalam mengajar dan mendidik anak-anak. Walaupun urusan ini tentu saja bergantung pada karakter pribadi masing-masing guru, tetapi yang jelas urusan kesejahteraan (baca:gaji) merupakan factor yang juga sangat penting.

 

Keempat, semua yang aku sukai dan setujui tentang system sebuah sekolah, ada di Al Hikmah.

  • Tak adanya tetek bengek ranking2an dikelas
  • Libur wiken yang 2 hari (Sabtu-Minggu),
  • Tak ada PR (karena full day tugas2 dikerjakan secara mandiri di sekolah),
  • Pendekatan system pengajaran yang disesuaikan dengan karakter anak-anak. Anak2 dibagi dalam 3 karakter kelas yaitu : logis matematis (anak2 otak kiri para ahli rumus itu), linguistic (anak2 yang tak bias berhenti bicara dan kemampuan bahasanya luar biasa) dan kinestetik (anak2 yang aktif dan terus bergerak, Abe ada dikelas ini dan sebelum bias duduk tenang menerima pelajaran dikelas, anak2 ini biasanya diajak lari2 dulu keliling lapangan basket untuk menyalurkan energi yang berlebih)
  • Karena anak-anak dibagi menjadi 3 karakter, begitu pula para guru walikelas. Kesimpulannya, guru yang cerewet memegang anak2 yang cerewet, guru2 kinestetik yang nggak bias diam bergerak juga memegang anak2 yang aktif juga. Tujuannya jelas : nggak akan pernah ada walikelas yang akan merasa muridnya nakal, atau terlalu cerewet dlsb.
  • Individual differences sangat terperhatikan tanpa mengorbankan adab2 kesopanan Islami. 
  • banyak hal lain yang belum bisa kutulisdisini sekarang :-D

Kelima, setelah 2 tahun bergabung di Komite Sekolah (PTA) dan berkegiatan bersama ibu2/bpk2 walimurid lain yang sangat dermawan dan secara ekonomi sangat potensial ini, idealisme jadi ikut membara bersemangat menapaki ladang amal bersama-sama (cielah  astaghfirullah gayanya…hihihi). Tapi bener kok, urusan mengajak bakti social, orangtua asuh, menyumbang korban bencana alam, dan lain sebagainya itu, paling enak deh kalo mengajak bapak2/ibu2 walimurid Al Hikmah! Mau ijin apa-apa, ada Bapak Walikota. Mau perlu barang2, banyak yang punya pabrik. Mau perlu bus untuk kegiatan, ada yang nyumbang gratis! Urusan konsumsi apalagi, lengkap dari pemilik catering, bakery sampai restoran2 ternama di Surabaya, semua ada di Al Hikmah! Subhanalloh…Allahu Akbar! Hehe…

 

:::::…..

 

Bagi yang sudah dengan sabar membaca sampai habis, semoga Anda mendapat limpahan rahmat dari Yang Maha Kuasa dan dosa penulis yang tega posting blog sepanjang ini akan mendapat ampunanNya….hikss…amiinnnn!

 

Maklum lagi celingukan di RS tak tahu mau ngerjain apa, nungguin Bea yang malam ini udah mulai tidur nyenyak, dan menulis akan selalu menjadi tempatku kembali :D. Pilihan topiknya pun juga penting nggak penting, kebetulan saja tadi barusan ngisi formulir pendaftaran TK untuk Bea, jadi sekali lagi, mohon maaf…